Hidangan abad pertengahan

artikel daftar Wikimedia

Masakan abad pertengahan mencakup makanan, kebiasaan makan, dan cara memasak dari berbagai kebudayaan Eropa selama Abad Pertengahan, suatu masa dalam kurun waktu sekitar abad ke-5 sampai abad ke-16. Selama periode ini, pola makan dan memasak lebih sedikit mengalami perubahan di Eropa dibanding pada awal periode modern (sebelum Revolusi Industri) yang lebih singkat, di mana perubahan-perubahan itu berperan meletakkan fondasi bagi masakan Eropa modern. Sereal masih merupakan bahan pokok terpenting sepanjang awal Abad Pertengahan sebab beras diperkenalkan belakangan ke Eropa dan kentang baru diperkenalkan pada tahun 1536, yang mana baru di kemudian hari dikenal secara luas. Jelai, oat dan gandum hitam bagi kaum miskin, dan gandum bagi kaum penguasa, dimakan sebagai roti, bubur, bubur sumsum dan pasta oleh semua lapisan masyarakat. Kara oncet dan sayuran merupakan suplemen penting untuk pola makan yang berbasis sereal dari kelas yang lebih rendah. (polong-polongan Phaseolus, sekarang Phaseolus vulgaris, berasal dari Dunia Baru dan diperkenalkan setelah Pertukaran Kolumbia pada abad ke-16)

Sekelompok petani berbagi makanan sederhana yang berupa roti dan minuman; Livre du roi Modus et de la reine Ratio, pada abad ke-14. (Bibliothèque nationale)

Daging lebih mahal, lebih bergengsi, dan dalam bentuk permainan berburu biasanya hanya sebagai konsumsi kaum bangsawan. Yang paling umum dijual oleh tukang daging adalah daging babi, ayam, dan unggas domestik lainnya; sapi, yang mana membutuhkan investasi lahan lebih besar, lebih jarang dijumpai. Ikan kod dan haring menjadi andalan di daerah bagian utara; bahan makanan tersebut dikeringkan, diasap atau diasinkan oleh mereka yang tinggal di pedalaman, tetapi berbagai ikan air tawar dan ikan air asin lainnya juga dikonsumsi oleh mereka.

Teknik pengawetan makanan (terutama pengeringan, pengasinan, pengasapan, dan pengasaman) dan waktu pengangkutan yang lama menjadikan perdagangan jarak jauh atas banyak jenis makanan sangatlah mahal. Karena itu, makanan kaum bangsawan lebih cenderung terpengaruh bangsa asing dibanding dengan masakan kaum miskin; ini bergantung pada rempah-rempah eksotis dan biaya impor yang mahal. Sebagaimana setiap lapisan masyarakat mengikuti salah satu hal di atas, inovasi-inovasi dari perdagangan internasional dan peperangan dengan bangsa asing sejak abad ke-12 dan seterusnya secara bertahap tersebar luas melalui kelas menengah atas di kota-kota abad pertengahan. Selain tidak tersedianya barang mewah — seperti rempah-rempah — secara ekonomis, ada berbagai ketetapan yang melarang konsumsi makanan tertentu di kelas-kelas sosial tertentu dan hukum yang membatasi konsumsi berlebihan (demi publisitas) pada golongan orang kaya baru. Norma sosial juga menetapkan bahwa makanan kelas pekerja harus lebih sederhana, karena diyakini ada kemiripan alamiah antara pekerjaan dan makanan seseorang; pekerja kasar perlu makanan yang lebih kesat, yang lebih murah.

Suatu jenis masakan olahan dikembangkan pada Abad Pertengahan Akhir yang mana menjadi norma kalangan bangsawan di seluruh Eropa. Bumbu-bumbu penyedap yang umum dalam perbendaharaan asam-manis yang sangat berbumbu khas makanan abad pertengahan kelas atas meliputi jus masam (verjuice), anggur, dan vinegar dikombinasikan dengan rempah seperti lada hitam, kuma-kuma, dan jahe. Semua itu, seiring dengan meluasnya penggunaan gula atau madu, memberi rasa asam-manis pada banyak hidangan. Almond sangat populer sebagai pengental dalam sup, rebusan, dan saus, terutama sebagai susu almond.

Norma diet

Masakan dari kebudayaan Mediterania (daerah di sekitar Laut Tengah) sejak zaman dahulu telah menjadikan sereal, terutama berbagai jenis gandum, sebagai bahan pokok. Bubur, dan kemudian roti, menjadi makanan pokok dasar yang menghasilkan asupan kalori utama bagi sebagian besar penduduk. Dari abad ke-8 hingga 11, proporsi berbagai sereal dalam pola makan (diet) meningkat dari sekitar menjadi ¾.[1] Ketergantungan pada gandum tetap signifikan sepanjang abad pertengahan, dan menyebar ke bagian utara seiring dengan maraknya Kekristenan. Namun pada daerah yang beriklim lebih dingin umumnya gandum tidak terjangkau bagi kebanyakan penduduk, dan hanya dihubungkan dengan kelas-kelas yang lebih tinggi. Peran sentral roti dalam ritus keagamaan seperti Ekaristi menjadikan pamornya sangat tinggi di antara semua bahan pangan. Hanya minyak (zaitun) dan anggur (minuman) yang nilainya dapat dibandingkan, tetapi keduanya tetaplah cukup eksklusif di luar daerah beriklim panas tempat tumbuhnya pohon zaitun dan anggur. Peranan simbolis roti sebagai kelangsungan hidup dan esensi digambarkan dalam suatu khotbah yang dibawakan oleh Santo Agustinus:[1]

"Roti ini menceritakan kembali sejarahmu ... Kamu dibawa ke tempat perontokan Tuhan dan kamu dirontokkan ... Saat katekumenat, kamu bagaikan biji-bijian yang disimpan dalam lumbung ... Pada bejana baptis kamu diremas ke dalam satu adonan. Dalam tempat pemanggangan Roh Kudus kamu dipanggang menjadi roti sejati Allah."

Gereja

 
Para suster bersantap dalam keheningan sambil mendengarkan pembacaan Alkitab. Perhatikan bahwa isyarat tangan digunakan untuk berkomunikasi; The Life of Blessed Saint Humility karya Pietro Lorenzetti, 1341.

Gereja Katolik Roma dan Ortodoks Timur, serta kalender liturgi mereka, membawa pengaruh besar terhadap kebiasaan makan; konsumsi daging tidak diperbolehkan selama sepertiga tahun penuh bagi kebanyakan umat Kristiani dan semua produk hewani (selain ikan), termasuk telur dan produk susu, umumnya dilarang selama masa puasa dan Prapaskah. Selain itu, menjadi kebiasaan bagi semua masyarakat untuk berpuasa sebelum menerima Ekaristi dan puasa ini terkadang dilakukan selama satu hari penuh sambil berpantang total.

Semua Gereja Timur dan Barat menetapkan bahwa hari raya dan puasa harus bergantian. Di sebagian besar Eropa hari Jumat adalah hari puasa dan berpuasa dilakukan pada berbagai hari lain dan masa tertentu, termasuk Prapaskah dan Adven. Daging dan produk hewani seperti susu, keju, mentega, dan telur tidaklah diperbolehkan, kecuali ikan. Puasa tersebut dimaksudkan untuk mematikan keinginan tubuh dan menghidupkan jiwa serta untuk mengenang pengosongan diri Kristus melalui pengorbanan-Nya bagi umat manusia. Tujuannya bukan untuk mendeskripsikan bahwa makanan tertentu adalah najis, melainkan lebih kepada pembelajaran rohani dalam pengekangan diri melalui abstinensi. Selama hari-hari puasa tertentu yang berat, waktu makan dalam sehari hanyalah satu kali. Sekalipun kebanyakan orang menghormati berbagai pembatasan ini dan biasanya melakukan silih ketika melanggarnya, tetapi juga ada berbagai cara untuk menghindarinya; suatu konflik antara hal yang ideal dan praktiknya diringkas oleh penulis Bridget Ann Henisch:[2]

"Adalah sifat manusia untuk membangun sangkar peraturan yang paling rumit yang mana untuk menjerat dirinya sendiri, dan kemudian, dengan semangat dan kecerdikan yang sama, memutar otaknya pada permasalahan bagaimana untuk keluar kembali dengan penuh kemenangan. Prapaskah adalah sebuah tantangan; permainan ini adalah menemukan celah-celahnya."

 
Selama Abad Pertengahan ada kepercayaan bahwa ekor beaver sifatnya seperti ikan sehingga dapat dimakan pada hari-hari puasa; Livre des simples médecines, c.1480.

Selagi produk-produk hewani dihindari selama masa silih, kompromi pragmatis sering kali menang. Definisi "ikan" sering diperluas pada hewan-hewan laut dan semi-akuatik seperti ikan paus, angsa teritip, burung puffin, dan bahkan beaver. Pilihan bahan ramuan mungkin terbatas, tapi tidak berarti bahwa porsi makanan menjadi lebih sedikit. Tidak ada pembatasan untuk makan yang manis-manis atau minum (secukupnya). Jamuan makan yang diadakan pada 'hari-hari ikan' bisa saja megah, dan ada kesempatan-kesempatan umum untuk menghidangkan makanan khayalan yang meniru daging, keju, dan telur dalam berbagai cara yang cerdas; ikan dapat dibentuk agar terlihat seperti daging rusa, telur tiruan bisa dibuat dengan mengisi kulit telur kosong dengan telur ikan dan susu almond serta memasaknya di atas bara api. Sementara otoritas gereja Bizantium menggunakan pendekatan garis keras, dan menyurutkan setiap perbaikan kuliner bagi para klerus, rekan-rekan Barat mereka jauh lebih lunak.[3] Gerutu di kaum awam perihal kerasnya puasa juga tidak berkurang. Selama masa Prapaskah, para raja dan anak sekolah, rakyat jelata dan bangsawan, semuanya mengeluh tentang kurangnya daging selama minggu-minggu yang keras dan lama untuk perenungan khusyuk atas dosa-dosa mereka. Saat Prapaskah, para pemilik peternakan bahkan diperingatkan untuk mengawasi akan adanya anjing-anjing lapar yang frustasi karena suatu "blokade keras oleh Prapaskah dan tulang-tulang ikan".[4]

Kecenderungan dari abad ke-13 dan seterusnya adalah ke arah penafsiran puasa yang lebih legalistik. Kaum bangsawan berhati-hati untuk tidak makan daging pada hari-hari puasa, tetapi tetap menyantap makanan dalam gaya mereka; ikan menggantikan daging, sering kali berupa tiruan ham dan bacon; susu almond menggantikan susu hewani sebagai suatu alternatif produk bukan susu yang mahal; telur tiruan yang dibuat dari susu almond dimasak dalam kulit telur kosong, dibumbui dan diwarnai dengan rempah-rempah istimewa. Dalam beberapa kasus, kemewahan meja bangsawan tersebut kalah dengan biara-biara Benediktin yang menghidangkan sebanyak 16 menu selama hari-hari raya tertentu. Pengecualian untuk berpuasa sering dibuat bagi kelompok-kelompok yang telah didefinisikan secara luas. St Thomas Aquinas (c. 1225-1274) meyakini bahwa dispensasi harus diberikan bagi anak-anak, orang lanjut usia, peziarah, pekerja, dan pengemis, tetapi tidak termasuk kaum miskin yang masih memiliki tempat tinggal.[5] Ada banyak kisah dari anggota-anggota ordo monastik yang memandang rendah peraturan puasa melalui penafsiran Alkitab secara cerdas. Karena orang sakit dibebaskan dari kewajiban berpuasa, sering berkembang gagasan bahwa aturan berpuasa hanya diterapkan pada ruang makan utama, dan banyak friar (biarawan mendikan) Benediktin yang menyantap makanan saat hari puasa di tempat yang saat itu disebut misericord ketimbang di ruang makan biasa (refektorium).[6] Para pimpinan biara Katolik yang baru menjabat berusaha untuk mengubah masalah penghindaran puasa tidak hanya dengan kecaman moral tetapi juga dengan memastikan bahwa hidangan selain daging, yang telah disiapkan dengan baik, tersedia pada hari-hari berpuasa.[3]

Pembatas kelas

Masyarakat abad pertengahan sangatlah berjenjang. Saat bencana kelaparan umum terjadi dan hierarki sosial dipaksakan secara keras, makanan menjadi satu tanda penting status sosial dengan cara yang tiada bandingnya pada saat ini di sebagian besar negara maju. Menurut norma ideologis, masyarakat terdiri dari tiga kelas: rakyat biasa, yakni kelas pekerja —sebagai kelompok terbesar, rohaniwan, dan bangsawan. Hubungan antar kelas sangatlah hierarkis, dengan kaum bangsawan dan rohaniwan mengklaim penguasaan duniawi dan rohani atas rakyat biasa. Dalam kelas bangsawan dan rohaniwan juga ada sejumlah tingkatan mulai dari para raja dan paus sampai adipati, uskup dan para pembantu mereka, seperti para imam. Seseorang diharapkan untuk tetap dalam kelas sosialnya dan menghormati otoritas dari kelas-kelas yang berkuasa. Kekuatan politik ditunjukkan bukan hanya dengan peraturan, tetapi juga dengan menunjukkan kekayaan. Kelas bangsawan menikmati makanan mereka, setelah permainan berburu, dengan dibumbui rempah-rempah eksotis dan menunjukkan kesopanan tata krama di meja makan; para pekerja kasar dapat mencukupkan diri dengan roti gandum kasar, daging babi yang digarami dan polong-polongan, serta tidak dituntut untuk menunjukkan etiket makan. Bahkan rekomendasi pola makannya berbeda: pola makan kalangan atas dianggap sebesar kebutuhan persyaratan fisik mereka yang baik sebagai suatu tanda realitas ekonomi. Sistem pencernaan seorang penguasa ditetapkan secara lebih diskriminatif dibanding dengan bawahannya di pedesaan dan menuntut makanan yang lebih baik.[7]

Pada akhir Abad Pertengahan, meningkatnya kemakmuran para saudagar dan pedagang kelas menengah berarti bahwa rakyat jelata mulai menyamai para aristokrat, dan merupakan ancaman pendobrakan beberapa pembatas simbolis antara kaum bangsawan dan kelas yang lebih rendah. Tanggapan atasnya timbul dalam dua bentuk: peringatan berupa karya sastra didaktik tentang bahaya atas pola makan yang tidak pantas untuk kelas seseorang,[8] dan hukum-hukum yang membatasi kemewahan jamuan makan dari rakyat jelata.[9]

Komposisi makanan

Ilmu kedokteran pada Abad Pertengahan berpengaruh besar terhadap apa yang dianggap sehat dan bergizi di kalangan masyarakat kelas atas. Gaya hidup seseorang — termasuk pola makan, olahraga, perilaku sosial yang sesuai, dan obat-obatan medis yang telah disetujui — merupakan cara untuk meraih kesehatan yang prima, dan semua jenis makanan memiliki sifat-sifat tertentu yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Semua bahan makanan juga diklasifikasikan dalam skala, yang berkisar dari yang sifatnya panas sampai dingin dan dari yang lembap sampai kering, menurut teori humoralisme yang diajukan Galen serta mendominasi ilmu kedokteran Barat sejak zaman dahulu sampai dengan abad ke-17.

Para cendekiawan abad pertengahan menganggap pencernaan manusia seperti sebuah proses yang serupa dengan memasak. Pengolahan makanan pada lambung dilihat sebagai suatu kelanjutan dari persiapan yang dilakukan oleh sang juru masak. Agar makanan benar-benar "matang" dan nutrisi terserap dengan baik, adalah hal penting bahwa perut (lambung) diisi dengan cara yang tepat. Makanan yang mudah dicerna dikonsumsi pertama kali, diikuti secara bertahap dengan hidangan-hidangan yang lebih berat. Apabila pola ini tidak dituruti, diyakini bahwa makanan-makanan berat akan tenggelam di dasar lambung sehingga menghalangi saluran pencernaan; dengan demikian makanan akan lambat sekali dicerna, menyebabkan pembusukan, dan menarik cairan-cairan buruk ke dalam lambung. Juga merupakan hal yang sangat penting bahwa makanan dari sifat-sifat yang berbeda tidak digabungkan.[10]

Sebelum menyantap makanan, perut lebih baik "dibuka" dengan sebuah aperitif (dari bahasa Latin aperire, "membuka") yang sebaiknya bersifat panas dan kering: makanan manis yang terbuat dari rempah-rempah berlapis gula — atau madu — seperti misalnya jahe, jintan dan biji adas manis, adas atau jintan putih, anggur (minuman) dan minuman susu dengan pemanis. Setelah perut dibuka, maka seharusnya "ditutup" pada akhir santapan dengan bantuan sebuah pencerna, biasanya dragée, yang mana selama Abad Pertengahan terdiri atas gumpalan gula yang dibumbui, atau hippocras, beraroma anggur, bersama dengan keju tua. Sebuah hidangan makanan yang ideal diawali dengan buah yang mudah dicerna, misalnya apel. Kemudian diikuti dengan sayuran seperti selada, kubis, gelang biasa, herbal, buah-buahan lembap, daging yang mudah dicerna seperti ayam atau kambing muda, dengan potage dan kaldu. Setelah itu dilanjutkan dengan daging "berat", seperti babi dan sapi, disertai dengan sayuran dan kacang-kacangan, termasuk pir dan kastanye, yang mana keduanya dianggap sulit dicerna. Merupakan hal yang populer, dan direkomendasikan oleh ahli medis, untuk mengakhiri hidangan makan dengan keju tua dan berbagai pencerna.[11]

Makanan yang paling ideal adalah yang paling mendekati keadaan cairan (humor) tubuh manusia, yakni cukup hangat dan lembap. Makanan sebaiknya juga dicincang dengan halus, ditumbuk dan disaring untuk mendapatkan sebuah campuran yang benar dari semua bahan. Anggur putih diyakini lebih bersifat dingin dibandingkan anggur merah (red wine) dan pembedaan yang sama diterapkan untuk cuka putih dan merah. Susu bersifat cukup hangat dan lembap, tetapi susu dari hewan yang berbeda sering kali diyakini berbeda. Kuning telur dianggap hangat dan lembap, sementara putih telur dianggap dingin dan lembap. Juru masak yang terampil diharapkan untuk menyesuaikan diri dengan aturan pengobatan humoral tersebut. Bahkan seandainya hal ini membatasi kombinasi makanan yang dapat mereka siapkan, masih ada banyak ruang untuk variasi artistik oleh sang koki.[12]

Susunan kalori

Struktur dan kandungan kalori atas pola makan pada abad pertengahan bervariasi dari waktu ke waktu, di setiap daerah, dan di setiap kelas. Namun, bagi kebanyakan orang, pola makannya cenderung berkarbohidrat tinggi, dengan sebagian besar anggaran dibelanjakan untuk sereal dan minuman beralkohol (seperti bir) —yang mana juga memasok sebagian besar kalori. Walau daging sangat bernilai bagi semua kalangan, masyarakat kelas bawah sering tidak sanggup membelinya, atau tidak diperbolehkan oleh gereja untuk dikonsumsi setiap hari. Di Inggris pada abad ke-13, daging hanya memberi sangat sedikit kontribusi kalori dalam pola makan para pekerja panen pada umumnya; namun porsinya meningkat setelah Wabah Hitam, dan pada abad ke-15 menyumbangkan sekitar 20% dari keseluruhan.[13] Bahkan di kalangan bangsawan awam di Inggris pada abad pertengahan biji-bijian menyumbang 65-70% kebutuhan kalori pada awal abad ke-14,[14] meski ada suatu ketentuan yang lunak atas konsumsi daging dan ikan; konsumsi daging di kalangan mereka meningkat paska musibah Wabah Hitam. Dalam suatu rumah tangga aristokrat Inggris pada awal abad ke-15 yang mana catatan rincinya tersedia (dari seorang Earl of Warwick), anggota ber-"darah biru" dari keluarga tersebut mendapat 1,7 kilogram (kg) dari berbagai macam daging dalam satu hidangan daging biasa di musim gugur dan 1,1 kg di musim dingin, di samping 0,41 kg roti dan 1,1 liter (L) bir atau mungkin anggur (dan ada 2 hidangan daging setiap hari, 5 hari setiap minggu, kecuali selama Prapaskah). Dalam rumah tangga Henry Stafford pada tahun 1469, anggota keluarga bangsawan menerima 0,95 kg daging setiap kali makan, dan yang lainnya menerima 0,47 kg, serta setiap orang menerima 0,18 kg roti dan 1,1 L minuman beralkohol.[15] Selain dari yang telah disebutkan, beberapa anggota rumah tangga ini (biasanya seorang minoritas) makan pagi tanpa termasuk daging, tetapi sangat mungkin termasuk tambahan 1,1 L bir; roti dan ale dalam kuantitas yang tidak tentu bisa saja dikonsumsi di antara waktu makan.[16] Pola makan dari sang kepala rumah tangga agak berbeda dari susunan ini, mencakup lebih sedikit daging merah, lebih banyak ikan segar, buah, anggur, dan daging hasil buruan berkualitas tinggi.[17]

Di biara-biara, struktur dasar dari pola makan tersebut diatur oleh Peraturan Santo Benediktus pada abad ke-7 dan diperketat oleh Paus Benediktus XII pada tahun 1336, tetapi (sebagaimana telah disebutkan di atas) para rahib ahli dalam "menyiasati" aturan-aturan ini. Anggur dibatasi sekitar 280 mL setiap hari, tetapi tidak ada batasan terkait untuk bir, dan di Westminster Abbey setiap rahib diberikan kelonggaran hingga 4,5 L bir setiap hari.[14] Daging "binatang berkaki empat" sama sekali dilarang sepanjang tahun bagi semua orang kecuali bagi mereka yang sangat lemah dan orang sakit. Hal ini disiasati pertama-tama dengan menyatakan bahwa jeroan, dan berbagai makanan olahan seperti bacon, bukanlah daging. Kedua, biara-biara Benediktin memiliki sebuah ruangan yang disebut misericord, di mana Peraturan Santo Benediktus tidak berlaku di sana, tempat di mana sejumlah besar rahib menyantap makanan mereka. Setiap rahib akan dikirim secara berkala baik ke misericord tersebut atau ke refektorium (ruang makan biasa). Ketika Paus Benediktus XII menetapkan bahwa minimal separuh dari seluruh rahib harus diwajibkan untuk makan di refektorium pada hari tertentu, para rahib menanggapinya dengan mengecualikan orang sakit dan mereka yang diundang makan di meja sang abbas.[18] Secara keseluruhan, seorang rahib di Westminster Abbey pada akhir abad ke-15 diijinkan untuk menikmati 1,02 kg roti per hari; 5 butir telur per hari, kecuali pada hari Jumat dan saat Prapaskah; 0,91 kg daging per hari, 4 hari/minggu (selain Rabu, Jumat, Sabtu), kecuali dalam masa Adven dan Prapaskah; serta 0,91 kg ikan per hari, 3 hari/minggu dan setiap hari selama masa Adven dan Prapaskah.[19] Stuktur kalori ini mencerminkan status kelas yang tinggi pada biara-biara masa abad pertengahan akhir di Inggris, dan sebagian tercermin pada Westminster Abbey, yang merupakan salah satu biara paling berkelimpahan di negara tersebut; pola makan para rahib di biara-biara lainnya mungkin lebih sederhana.

Ada beberapa perdebatan mengenai asupan kalori secara keseluruhan. Salah satu perkiraan umum adalah seorang petani laki-laki dewasa membutuhkan 2.900 kalori setiap hari, dan seorang wanita dewasa membutuhkan 2.150 kalori.[20] Perkiraan yang lebih rendah dan lebih tinggi telah diusulkan. Mereka yang terlibat dalam pekerjaan fisik yang sangat berat, seperti pelaut dan tentara, mungkin mengkonsumsi 3.500 kalori atau lebih setiap hari. Konsumsi para aristokrat mungkin mencapai 4.000 sampai 5.000 kalori setiap hari.[21] Rahib mengkonsumsi 6.000 kalori setiap hari pada hari-hari "normal", dan 4.500 kalori setiap hari saat berpuasa. Sebagai konsekuensi dari kelebihan ini, obesitas adalah hal yang umum di kalangan kelas atas.[22] Para rahib terutama sering menderita kondisi yang berhubungan dengan obesitas (dalam beberapa kasus) seperti artritis.[23]

Keragaman daerah

Spesialisasi masing-masing daerah, yang adalah sebuah kekhasan masakan kontemporer dan modern awal, tidaklah terbukti dalam dokumentasi yang sangat jarang dan masih ada hingga saat ini. Sebaliknya masakan abad pertengahan dapat dibeda-bedakan melalui sereal dan minyak yang membentuk norma diet dan melintasi batasan etnis serta, kemudian, batas-batas negara. Variasi geografis dalam hal makan terutama merupakan akibat dari perbedaan iklim, administrasi politik, dan adat istiadat setempat yang beragam di seluruh benua tersebut. Meskipun generalisasi seharusnya dihindari, sedikit banyak wilayah yang berbeda di mana bahan makanan tertentu mendominasi dapat dilihat. Di Kepulauan Britania, Prancis utara, Negara-Negara Dataran Rendah, wilayah berbahasa Jerman di bagian utara, Skandinavia, dan Baltik iklimnya secara umum terlalu berat untuk budidaya anggur dan zaitun. Di bagian selatan, anggur merupakan minuman yang umum bagi orang kaya maupun miskin (meski rakyat jelata harus puas dengan anggur perasan kedua yang murah); sementara bir merupakan minuman rakyat biasa di bagian utara, di mana anggur adalah barang impor yang mahal. Buah jeruk (walau bukan jenis yang paling umum pada saat ini) dan delima biasa dijumpai di sekitar Mediterania. Kurma dan ara kering tersedia di utara, tetapi hanya digunakan secukupnya untuk masakan.[24]

Minyak zaitun adalah sebuah bahan yang dapat dijumpai di mana-mana di sekitar Mediterania, tetapi tetap merupakan bahan impor yang mahal di bagian utara di mana minyak dari bunga poppy, kenari, dan kacang hazel merupakan alternatif-alternatif yang paling terjangkau. Mentega dan lemak babi, terutama setelah kematian mengerikan selama Wabah Hitam menjadikannya sedikit langka, digunakan dalam jumlah yang cukup besar di bagian utara dan barat laut, khususnya di Negara-Negara Dataran Rendah. Hampir umum pada masakan kelas menengah dan atas di seluruh Eropa mengandung almond, yang terkandung dalam susu almond yang dijumpai di mana-mana dan sangat serbaguna; almond juga digunakan sebagai pengganti telur atau susu dalam hidangan, meski pelbagai jenis almond yang getir juga digunakan jauh di kemudian hari.[25]

Hidangan makanan

 
Jamuan yang diadakan di Paris pada 1378 oleh Charles V dari Prancis (tengah, biru) untuk Karl IV, Kaisar Romawi Suci (kiri) dan anaknya Wenceslaus IV dari Bohemia. Setiap orang mendapat dua pisau, sebuah wadah garam, serbet, roti dan piring; karya Jean Fouquet, 1455–1460.

Eropa pada umumnya menerapkan dua kali makan sehari: dinner (di Indonesia sering diterjemahkan "makan malam") pada pertengahan hari dan supper (makan malam) pada sore hari. Sistem dua kali makan tersebut tetap konsisten sepanjang Abad Pertengahan akhir. Adanya hidangan makanan yang lebih ringan di antara keduanya adalah hal biasa, tetapi menjadi masalah status sosial, sebagaimana mereka yang tidak perlu melakukan pekerjaan fisik dapat meninggalkannya.[26] Kaum moralis mengerutkan dahi akan hal berbuka puasa, yang dilakukan semalaman, yang terlalu cepat; para jemaat gereja dan bangsawan, yang mengikuti budaya, menghindari hal itu. Untuk alasan praktis, para pekerja pria tetap melakukan sarapan (makan pagi), dan juga dapat ditoleransi bagi anak kecil, wanita, orang lanjut usia, dan orang sakit. Karena ajaran gereja menentang kerakusan dan kelemahan jasmani (keinginan daging) lainnya, kaum pria cenderung merasa malu yang mengakibatkan rendahnya praktik makan pagi. Jamuan makan pada tengah hari (dinner) dan larut malam (late supper, reresopers, dari bahasa Oksitan: rèire-sopar) yang mewah dengan jumlah minuman beralkohol yang cukup banyak dianggap tidak bermoral. Ini terutama dikaitkan dengan adanya perjudian, bahasa kasar, mabuk-mabukan, dan perilaku tidak senonoh.[27] Makanan kecil dan makanan ringan adalah hal umum (meski juga tidak disukai oleh gereja), dan para pekerja umumnya mendapat tunjangan atau uang saku dari majikan mereka untuk membeli nuncheon, potongan-potongan kecil untuk dimakan selama waktu istirahat.[28]

Tata krama

Seperti juga hampir semua bagian kehidupan masyarakat pada zaman itu, sebuah hidangan makanan abad pertengahan pada umumnya merupakan suatu urusan bersama (komunal). Segenap bagian rumah tangga, termasuk para pelayan, idealnya akan makan bersama-sama. Diam-diam memisahkan diri untuk membentuk kumpulan tersendiri dianggap sebagai suatu sikap egotisme (sering kali disamakan dengan egoisme) yang angkuh dan tidak efisien dalam suatu dunia di mana masyarakat memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Pada abad ke-13 Robert Grosseteste, seorang uskup Inggris, menasihati Margaret de Quincy, Countess of Lincoln: "hindarilah makan siang dan makan malam di luar aula, secara rahasia dan di ruang pribadi, sebab ini menimbulkan kemubasiran dan tidak ada kehormatan bagi sang tuan dan nyonya." Ia juga merekomendasikan untuk mengawasi para pelayan agar tidak membawa pergi sisa-sisa makanan untuk berpesta saat larut malam, bukannya mendermakannya.[27] Menjelang akhir Abad Pertengahan, orang-orang kaya semakin berusaha untuk lepas dari pengaruh kolektivisme yang keras ini. Bila memungkinkan, tuan rumah yang kaya akan menarik diri dengan istrinya ke kamar-kamar pribadi di mana makanan dapat dinikmati dengan privasi dan eksklusivitas yang lebih besar. Diundang ke sebuah kamar tuan rumah (bangsawan) merupakan suatu kehormatan besar dan dapat dimanfaatkan sebagai salah satu cara untuk menghargai teman-teman dan sekutu serta untuk menimbulkan kekaguman bawahan. Ini memungkinkan para bangsawan untuk mengambil jarak lebih jauh lagi dari rumah tangganya dan untuk menikmati perlakuan yang lebih mewah, sementara hidangan makanan yang lebih rendah diberikan pada seisi rumah lainnya yang menikmati makanan di aula utama. Pada jamuan makan dan acara penting, bagaimanapun, sang tuan dan nyonya rumah umumnya makan di aula utama bersama dengan yang lainnya.[29] Meski ada deskripsi mengenai etiket (tata krama) makan pada kesempatan-kesempatan khusus, hanya sedikit yang diketahui mengenai rincian kebiasaan makan sehari-hari dari kaum elit ataupun mengenai cara makan (table manners) rakyat biasa dan kaum miskin. Namun dapat diasumsikan bahwa tidak ada kemewahan berlebihan dalam kesempatan makan sehari-hari, seperti bermacam menu makanan yang disajikan secara berurutan (multicourse meal), rempah-rempah yang mewah atau mencuci tangan dengan air beraroma.[30]

 
John, Adipati Berry sedang menikmati makan mewah. Sang adipati duduk di meja tinggi di depan perapian, dan para pelayannya sibuk melayani. Di atas meja sebelah kanan adalah sebuah tempat garam dari emas berbentuk sebuah kapal; Très Riches Heures du Duc de Berry, c. 1410.

Berbagai hal adalah berbeda bagi orang kaya. Sebelum makan dan di antara penyajian setiap menu makanan, para tamu disodorkan baskom kecil dan handuk linen agar mereka dapat mencuci tangan, sebab kebersihan ditekankan. Aturan-aturan sosial membuat para wanita sulit untuk menegakkan kerapian tanpa cela yang ideal sambil menikmati kelezatan makanan, sehingga istri tuan rumah sering kali makan secara pribadi dengan rombongannya atau hanya makan sedikit sekali saat pesta. Ia kemudian bisa bergabung lagi dalam acara makan hanya setelah ia selesai berurusan dengan makanannya yang berpotensi membuat kacau. Secara keseluruhan, jamuan makan resmi (fine dining) adalah sebuah urusan yang didominasi kaum pria, dan bukanlah hal umum bagi siapa pun untuk membawa istrinya —kecuali tamu kehormatan. Karakter hierarkis dari masyarakat diperkuat oleh etiket di mana yang tingkatannya lebih rendah diharapkan untuk membantu yang lebih tinggi, yang muda membantu yang lebih tua, dan pria diharapkan memaklumi wanita jika reputasi dan pakaian ternodai akibat penanganan makanan yang tidak semestinya. Cangkir-cangkir minum yang digunakan bersama adalah hal umum bahkan pada perjamuan mewah bagi semua orang yang duduk di "meja tinggi" (high table), sebagaimana juga ada etiket standar memecahkan roti dan mengiriskan daging untuk sesamanya.[31]

Kebanyakan makanan disajikan di piring atau di pot rebusan (periuk-belanga), dan orang-orang akan mengambil bagian mereka dari pinggan dan menempatkannya di atas trencher (berfungsi sebagai piring makan) yang terbuat dari roti, kayu atau logam dengan bantuan sendok atau tangan kosong. Di rumah tangga kelas bawah umumnya menyantap makanan langsung dari meja. Pisau digunakan di meja, tetapi kebanyakan orang diharapkan membawa pisau masing-masing; hanya tamu-tamu yang sangat favorit saja yang diberikan pisau. Sebuah pisau biasanya digunakan bersama dengan setidaknya satu orang tamu lain, kecuali orang tersebut tingkatannya sangat tinggi atau kenalan akrab sang tuan rumah. Garpu makan tidak digunakan secara luas di Eropa sampai awal periode modern (sebelum Revolusi Industri) dan pada awalnya terbatas di Italia saja. Bahkan di sana garpu baru pada abad ke-14 menjadi umum di antara orang-orang Italia dari segala kelas sosial. Perubahan perilaku tersebut dapat diilustrasikan dengan reaksi atas cara makan Theodora Doukaina, seorang puteri Bizantium, di akhir abad ke-11. Ia adalah istri Domenico Selvo, seorang Doge Venesia, dan menyebabkan kecemasan cukup besar di antara orang-orang Venesia yang tulus hati. Sikap keras permaisuri asing tersebut, yang menginginkan makanannya dipotong-potong oleh orang-orang kasim yang menjadi pelayannya dan kemudian menyantap potongan makanannya dengan garpu emas, begitu mengejutkan dan membuat risau orang-orang lain sehingga ada yang mengklaim bahwa Petrus Damianus, Uskup Ostia, kemudian menafsirkan tata krama luar yang ditunjukkannya sebagai kesombongan dan menyebutnya "istri Doge-nya orang Venesia, yang mana tubuhnya, setelah kenikmatannya yang berlebihan, sepenuhnya membusuk".[32] Namun hal ini meragukan sebab Petrus Damianus meninggal tahun 1072 atau 1073,[33] dan perkawinan mereka (Theodora dan Domenico) terjadi pada tahun 1075.

Penyiapan makanan

 
Seorang koki di depan tungku dengan sendok khasnya; ilustrasi dari Kuchenmaistrey, buku masak pertama yang dicetak di Jerman, cukilan kayu,1485.

Semua jenis masakan melibatkan penggunaan api secara langsung. Kompor belum ada sampai abad ke-18, dan para koki perlu mengetahui bagaimana memasak secara langsung di atas api terbuka. Oven digunakan, tetapi pembuatannya mahal dan hanya ada di tukang roti dan rumah tangga yang cukup besar. Merupakan hal yang umum bagi suatu komunitas untuk berbagi kepemilikan atas sebuah oven untuk memastikan bahwa pemanggangan roti yang penting bagi semua orang dibuat secara komunal, bukannya secara pribadi. Ada juga oven portabel yang dirancang untuk diisi dengan makanan dan kemudian dipendam dalam bara api, dan bahkan yang lebih besar dengan roda yang digunakan untuk berjualan pai di jalan-jalan kota abad pertengahan. Tetapi bagi kebanyakan orang hampir semua masakan menggunakan pot rebusan yang sederhana; hal ini merupakan praktik penggunaan kayu bakar yang paling efisien dan tidak membuang sari masakan dengan percuma, sehingga potage dan rebusan adalah hidangan yang paling umum.[34] Secara keseluruhan, sebagian besar bukti menunjukkan bahwa masakan abad pertengahan memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi, atau paling tidak ketika bahan yang mengandung lemak mampu dibeli. Hal ini dianggap kurang menjadi masalah pada suatu masa yang membutuhkan kerja keras luar biasa, bencana kelaparan, dan penerimaan yang lebih besar — bahkan hasrat — untuk menjadi gemuk; hanya kaum miskin atau sakit, dan asketik yang saleh, yang bertubuh kurus.[35]

Buah-buahan mudah dikombinasikan dengan daging, ikan, dan telur. Resep Tart de brymlent, sebuah pai ikan dari koleksi resep Forme of Cury, memuat perpaduan dari ara, kismis, apel, dan pir dengan ikan (salmon, kod kecil atau haddock) dan bintik-bintik prem merah keunguan di bawah puncak lapisan.[36] Merupakan hal yang dianggap penting untuk memastikan bahwa hidangan makanan sesuai dengan standar kedokteran dan ahli gizi terkini. Ini berarti bahwa makanan harus diperlakukan menurut sifatnya dengan suatu kombinasi yang tepat saat penyiapan dan pencampuran rempah-rempah, bahan penyedap, dan ramuan tertentu; ikan dianggap bersifat dingin dan lembap, dan paling baik dimasak dengan cara dipanaskan dan dikeringkan, seperti digoreng atau dipanggang dengan oven, serta dibumbui dengan rempah-rempah yang panas dan kering; daging sapi bersifat kering dan panas, dan oleh karena itu seharusnya dididihkan; daging babi bersifat panas dan lembap, dan seharusnya selalu dibakar.[37] Dalam beberapa koleksi resep, ramuan-ramuan alternatif digunakan dengan lebih mempertimbangkan sifat humoral daripada apa yang seorang juru masak modern akan pertimbangkan untuk menjadi masakan yang memiliki kesamaan rasa. Dalam sebuah resep pai quince, kubis dikatakan dapat digunakan sama baiknya, dan di lain pihak lobak cina dapat digantikan dengan buah pir.[38]

Pai shortcrust yang benar-benar dapat dimakan tidak terdapat dalam resep-resep hingga abad ke-15. Sebelum itu pastri tersebut terutama digunakan sebagai sebuah wadah memasak dalam suatu teknik yang dikenal sebagai "huff paste". Koleksi resep yang masih ada menunjukkan bahwa seni memasak pada Abad Pertengahan Akhir berkembang secara signifikan. Teknik-teknik baru, seperti pai shortcrust dan kejelasan uraian atas jeli dengan putih telur, mulai tampak pada resep-resep di akhir abad ke-14 dan resep-resep mulai memasukkan petunjuk rinci di samping menjadi sekadar bantuan pengingat untuk seorang koki yang sudah terampil.[39]

Dapur abad pertengahan

 
Unggas dipanggang dengan sebuah tusukan, Di bawahnya adalah sebuah wadah untuk menampung tetesan sarinya yang digunakan sebagai saus atau olesan daging tersebut; The Decameron, Flandria, 1432.

Dalam kebanyakan rumah tangga, memasak dilakukan pada sebuah tungku api terbuka di tengah-tengah ruang tengah utama demi efiensi penggunaan panas. Hal ini merupakan penataan yang paling umum, bahkan dalam rumah tangga orang kaya, pada sebagian besar periode Abad Pertengahan, di mana dapur digabungkan dengan ruang makan. Menjelang Abad Pertengahan Akhir mulai berkembang adanya area dapur yang terpisah. Langkah pertama adalah memindahkan perapian ke dinding ruang utama, dan kemudian membangun sebuah sayap atau bangunan terpisah yang khusus berisikan area dapur, sering kali dipisahkan dari bangunan utama dengan gang beratap (arcade) tertutup. Dengan cara ini maka asap, bau, dan suara dari dapur dapat dijauhkan dari perhatian para tamu, serta berkurangnya risiko kebakaran.[40]

Banyak ragam peralatan masak yang tersedia saat ini, seperti alat penggorengan, ceret, dan pemanggang wafel, beragam wadah untuk memanggang dan memasak (seperti panci), telah ada, meski alat-alat tersebut sering kali terlalu mahal bagi rumah tangga miskin. Alat-alat lain yang lebih spesifik untuk memasak di atas api terbuka adalah tusukan daging (umumnya sekarang berupa alat panggang listrik) dari berbagai ukuran dan bahan pendukungnya untuk memanggang apa pun mulai dari burung puyuh sampai seekor lembu utuh. Ada juga pengerek dengan kait yang dapat disesuaikan sehingga pot dan kaldron dapat diayunkan menjauh dari api untuk menjaga dari pembakaran atau pendidihan berlebihan. Peralatan sering kali dipegang secara langsung di atas api atau ditempatkan di atas bara api dengan bantuan tripod. Untuk membantu sang koki ada juga berbagai macam pisau, sendok untuk mengaduk, sendok sayur, dan parutan. Dalam rumah tangga orang kaya, salah satu alat yang paling umum adalah lesung dan ayakan, karena banyak resep abad pertengahan menuliskan makanan yang bahannya perlu disaring, ditumbuk, dicincang halus, dan dibumbui baik sebelum atau sesudah dimasak. Hal ini berdasarkan pada suatu keyakinan di kalangan dokter bahwa semakin halus makanan semakin efektif penyerapan nutrisinya oleh tubuh. Selain itu juga memberi kesempatan bagi koki terampil untuk membentuk hasilnya secara rinci. Makanan bertekstur halus juga dikaitkan dengan kekayaan; misalnya, tepung yang digiling halus harganya mahal, sementara roti kaum jelata biasanya berwarna coklat dan kesat. Suatu prosedur yang khas adalah farcing (dari bahasa Latin farcio, "menjejalkan"), menguliti dan mengeluarkan organ dalam seekor binatang buruan, menggiling dagingnya dan mencampurnya dengan rempah-rempah dan ramuan lainnya, kemudian memasukkannya kembali ke kulitnya sendiri atau membentuknya dalam rupa seekor binatang yang sama sekali berbeda.[41]

Staf dapur dari kerajaan atau bangsawan besar terkadang berjumlah ratusan: staf kamar sepen, tukang roti, tukang wafer, penyiap saus, larderer, tukang daging, pengiris daging, pageboy, wanita pemerah susu, butler, dan banyak sekali asisten pembantu koki. Sementara rata-rata suatu rumah tangga petani sering semaksimal mungkin memanfaatkan kayu bakar yang dikumpulkan dari hutan sekitar, dapur-dapur utama rumah tangga tersebut harus mengatasi permasalahan logistik untuk pengadaan sehari-hari setidaknya dua kali makan untuk beberapa ratus orang. Pedoman tentang bagaimana mempersiapkan suatu jamuan makan dua hari dapat ditemukan di buku masak Du fait de cuisine, yang ditulis tahun 1420 sebagai bagian dari persaingan dengan Kadipaten Burgundia,[42] oleh Maistre Chiquart, kepala koki Amadeus VIII, Adipati Savoy.[43] Chiquart merekomendasikan bahwa kepala juru masak seharusnya memiliki persediaan di tangan setidaknya 1.000 gerobak penuh kayu bakar kering dan baik serta satu lumbung besar batu bara.[44]

Pengawetan

Metode pengawetan makanan pada dasarnya sama dengan yang telah digunakan sejak zaman dahulu, dan tidak banyak berubah sampai ditemukannya pengalengan pada awal abad ke-19. Metode yang paling umum dan sederhana adalah memaparkan bahan makanan terhadap panas atau angin untuk menghilangkan kelembaban, sehingga memperpanjang daya tahan — sekalipun bukan cita rasanya — hampir semua jenis makanan dari sereal hingga daging; pengeringan makanan tersebut bekerja dengan mengurangi secara drastis aktivitas berbagai mikroorganisme, yang bergantung pada air, yang menyebabkan pembusukan. Pada daerah beriklim hangat kebanyakan dilakukan dengan cara menjemur makanan di bawah sinar matahari, dan pada daerah beriklim dingin dengan cara dipaparkan pada angin yang kuat (terutama sering dilakukan pada proses penyiapan ikan kering), atau dalam oven hangat, gudang bawah tanah, loteng, dan terkadang bahkan dalam ruang tempat tinggal. Proses kimiawi seperti pengasapan, pengasinan (hanya menggunakan air dan garam saja), pembuatan selai buah, atau fermentasi juga membuat makanan lebih bertahan lama. Sebagian besar metode ini memiliki keuntungan proses persiapan yang lebih singkat dan untuk memperkenalkan rasa-rasa baru. Pengasapan atau pengasinan hewan ternak yang disembelih saat musim gugur merupakan suatu strategi bagi rumah tangga pada umumnya untuk menghindari memberi makan lebih banyak ternak daripada yang diperlukan selama musim dingin. Mentega cenderung dibuat tinggi kadar garamnya (5-10%) supaya tidak rusak. Sayuran, telur, atau ikan juga sering kali diasamkan dalam kemasan toples, mengandung air garam dan cairan asam seperti: jus lemon, jus masam (verjuice) atau vinegar. Metode lainnya adalah dengan menciptakan semacam pelindung di sekitar makanan dengan memasaknya dalam gula, madu, atau lemak untuk kemudian disimpan. Meski demikian modifikasi mikrobial juga dianjurkan oleh sejumlah metode; biji-bijian, buah-buahan dan anggur diubah menjadi minuman beralkohol sehingga semua patogen mati, dan susu difermentasi serta dikentalkan menjadi berbagai macam keju atau susu mentega.[45]

Masakan profesional

 
Sang koki dengan reputasi buruk dari The Canterbury Tales karya Geoffrey Chaucer. Perhatikan pengait daging yang panjang di tangan kirinya, salah satu alat masak seorang koki yang paling umum selama Abad Pertengahan; naskah Ellesmere, c. 1410.

Mayoritas penduduk Eropa sebelum industrialisasi hidup dalam komunitas pedesaan, atau rumah tangga dan pertanian yang terpencil. Normanya adalah kemandirian dengan hanya sebagian kecil produksi yang diekspor atau dijual di pasar. Kota-kota besar merupakan pengecualian dan memerlukan daerah pedalaman di sekitarnya untuk menunjang mereka dengan makanan dan bahan bakar. Populasi perkotaan yang padat dapat menunjang berbagai macam perusahaan makanan untuk melayani berbagai kelompok sosial. Banyak warga dari kota miskin yang harus hidup dalam kondisi sulit tanpa akses ke sebuah dapur atau bahkan sebuah tungku api, dan banyak yang tidak memiliki peralatan memasak. Membeli makanan dari penjajanya, dalam kasus seperti ini, adalah pilihan satu-satunya. Rumah makan dapat menjual makanan panas yang sudah jadi, suatu bentuk awal makanan siap saji, ataupun menawarkan jasa memasak sementara pelanggan menyediakan beberapa atau semua bahannya. Wisatawan, seperti peziarah yang dalam perjalanan ke sebuah tempat suci, memanfaatkan juru masak profesional untuk menghindari keharusan membawa bekal bagi mereka. Bagi kalangan berada, ada banyak jenis spesialis yang dapat menyediakan beragam makanan dan bumbu bagi mereka: pedagang keju, pembuat pai, penjual saus, pembuat wafer, dan sebagainya. Warga mampu yang memiliki sarana untuk memasak di rumah, dalam acara-acara khusus, dapat menyewa tenaga profesional ketika staf atau dapur mereka sendiri tidak dapat menangani beban berat mengadakan suatu perjamuan besar.[46]

Rumah makan di perkotaan yang melayani para pekerja atau orang miskin dianggap sebagai tempat kotor dan buruk di mata orang kaya, dan koki yang bekerja di sana cenderung mendapat reputasi jelek. Hodge dari Ware, koki London dalam The Canterbury Tales karya Geoffrey Chaucer, digambarkan sebagai seorang pemasok makanan tidak enak yang curang. Dalam khotbahnya Jacques de Vitry, seorang kardinal Prancis pada awal abad ke-13, menggambarkan para penjual daging matang sebagai suatu bahaya kesehatan terang-terangan.[47] Sementara kebutuhan akan jasa sang juru masak terkadang diakui dan dihargai, mereka sering kali diremehkan karena mereka melayani kebutuhan dasar jasmani manusia ketimbang pertumbuhan rohani. Stereotip seorang juru masak dalam karya seni dan sastra adalah laki-laki, mudah marah, rentan terhadap kemabukan, dan sering kali digambarkan menjaga periuk-belanganya agar tidak dicuri oleh manusia maupun binatang. Pada awal abad ke-15 John Lydgate, seorang rahib Inggris, mengungkapkan keyakinan banyak orang pada zamannya dengan menyatakan dalam puisinya: "Tiupan api dan asap banyak membuat seorang juru masak marah."[48]

Sereal

 
Seorang tukang roti yang tertangkap saat menipu konsumennya dihukum dengan cara diseret pada jalanan kota di atas sebuah kereta luncur dengan roti bukti penipuannya terkalungkan di lehernya.

Dalam periode antara c. tahun 500 dan 1300 dijumpai suatu perubahan besar dalam pola makan yang mempengaruhi sebagian besar Eropa. Pertanian yang lebih intensif pada areal yang terus meningkat mengakibatkan pergeseran dari produk-produk hewani, seperti daging dan susu, ke berbagai jenis biji-bijian dan sayuran sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat.[49] Sebelum abad ke-14 roti tidaklah umum di kalangan masyarakat kelas bawah, terutama di daerah utara di mana gandum lebih sulit untuk tumbuh. Pola makan berbasis roti secara bertahap menjadi umum selama abad ke-15 dan menggantikan makanan hangat yang berbasis bubur atau bubur sumsum. Roti beragi lebih umum pada daerah tempat tumbuhnya gandum di daerah selatan, sementara roti datar (flatbread) tanpa ragi yang terbuat dari jelai, gandum hitam atau oat tetap lebih umum di daerah utara dan dataran tinggi; roti tanpa ragi umumnya juga menjadi perbekalan untuk tentara.[26]

Biji-bijian serealia yang paling umum adalah gandum hitam, jelai, buckwheat, milet, dan oat. Beras tetaplah sebuah barang impor yang cukup mahal untuk sebagian besar periode Abad Pertengahan, dan tumbuh di Italia bagian utara hanya menjelang akhir periode tersebut. Gandum umum dijumpai di seluruh Eropa dan dianggap sebagai yang paling bergizi di antara semua biji-bijian, tetapi lebih bergengsi dan karenanya lebih mahal. Tepung putih yang disaring dengan halus, yang paling diakrabi masyarakat Eropa modern, hanya diperuntukkan bagi roti untuk masyarakat kelas atas. Turun ke kelas sosial yang lebih rendah, roti menjadi lebih kesat, lebih gelap, dan kandungan bekatulnya lebih banyak. Pada masa kelangkaan biji-bijian atau bencana kelaparan langsung, biji-bijian dapat ditambahkan dengan pengganti yang lebih murah dan kurang diinginkan seperti kastanye, kacang-kacangan dan polong-polongan kering, biji pohon ek, tumbuhan paku, dan berbagai macam sayuran yang lebih atau kurang bergizi.[50]

Salah satu unsur yang paling umum dari sebuah hidangan makanan abad pertengahan, baik sebagai bagian dari suatu jamuan makan atau sebagai makanan kecil, adalah sop, potongan roti yang dicelupkan dalam suatu cairan seperti anggur (minuman), sup, kaldu, atau saus sebelum dimakan. Pemandangan umum lainnya di atas meja makan zaman abad pertengahan adalah frumenty, sebuah bubur gandum kental yang sering kali direbus dengan kaldu daging dan dibumbui dengan rempah-rempah. Bubur juga dibuat dari semua jenis biji-bijian dan dapat disajikan sebagai hidangan penutup, atau hidangan untuk orang sakit jika dididihkan dengan susu (atau susu almond) dan diberi gula. Pai isi daging, telur, sayuran, atau buah merupakan hal umum di seluruh Eropa, seperti juga turnover, gorengan, donat, dan banyak kue pastri lainnya yang serupa. Pada Abad Pertengahan Akhir, biskuit (kue kering di Amerika Serikat) dan khususnya wafer – yang dimakan sebagai hidangan penutup – telah menjadi makanan dengan prestise tinggi serta tersedia dalam banyak variasi. Biji-bijian, baik yang dijadikan remah roti atau tepung, juga merupakan pengental sup dan rebusan yang paling umum, entah disajikan tersendiri atau dikombinasikan dengan susu almond.

 
Seorang tukang roti dengan asistennya. Sebagaimana terlihat pada gambar, roti bundar termasuk yang paling umum.

Pentingnya roti sebagai makanan pokok sehari-hari membuat para tukang roti memainkan peranan penting dalam komunitas abad pertengahan manapun. Konsumsi roti yang tinggi di sebagian besar Eropa Barat terjadi pada abad ke-14. Perkiraan konsumsi roti di berbagai daerah kurang lebih serupa: sekitar 1 - 1,5 kg roti per orang per hari. Di antara berbagai serikat pekerja perkotaan, yang pertama-tama diorganisir adalah serikat tukang roti; undang-undang dan peraturan disahkan untuk menjaga harga roti tetap stabil. Statuta Inggris Assize of Bread and Ale yang dibuat tahun 1266 mencantumkan tabel-tabel komprehensif di mana ukuran, berat, dan harga sepotong roti diatur dalam kaitannya dengan harga biji-bijian. Marjin keuntungan seorang tukang roti yang ditetapkan dalam tabel-tabel tersebut kemudian ditingkatkan akibat kesuksesan lobi London Baker's Company dengan menambahkan segala macam biaya mulai dari kayu bakar dan garam sampai dengan anjing, rumah, dan istri sang tukang roti. Karena roti merupakan sebuah bagian sentral dari pola makan pada abad pertengahan, penipuan oleh mereka yang dipercaya menyediakan komoditas berharga tersebut pada komunitas dianggap sebagai suatu pelanggaran serius. Tukang roti yang tertangkap memanipulasi berat (pada timbangan) atau memalsukan adonan dengan bahan yang lebih murah dapat dikenakan hukuman berat. Hal ini menimbulkan adanya "baker's dozen" (lusinan tukang roti): seorang tukang roti akan memberikan 13 roti dengan harga 12 roti, sebagai semacam jaminan untuk meyakinkan konsumen agar tidak dianggap sebagai penipu.[51]

Buah dan sayuran

 
Pemanenan kubis; Tacuinum Sanitatis, abad ke-15.

Sementara biji-bijian merupakan unsur utama sebagian besar hidangan makanan; sayuran seperti kubis, buah bit (varietas dari bit gula), bawang bombai, bawang putih, dan wortel termasuk kelompok bahan makanan yang umum. Banyak darinya menjadi makanan sehari-hari kaum pekerja dan petani, tetapi kurang bergengsi dibandingkan daging. Buku masak yang muncul di akhir Abad Pertengahan, yang utamanya dimaksudkan bagi kalangan mampu, hanya berisikan sejumlah kecil resep yang menggunakan sayuran sebagai bahan utama. Minimnya resep untuk banyak hidangan yang mengandung sayuran pokok, seperti potage, tidak ditafsirkan sebagai ketiadaannya dalam hidangan kaum bangsawan, melainkan bahwa sayuran-sayuran itu dianggap begitu mendasar sehingga tidak perlu dicatat.[52] Wortel tersedia dalam banyak varian selama Abad Pertengahan: di antaranya varietas berwarna ungu kemerahan yang lezat, dan jenis berwarna kuning hijau yang kurang bergengsi. Berbagai legume (kacang-kacangan dan polong-polongan) seperti kacang arab, kara oncet, dan kacang polong juga merupakan sumber protein yang penting dan umum, terutama di kalangan masyarakat kelas bawah. Legume, selain kacang polong, sering dipandang dengan beberapa kecurigaan oleh para ahli gizi yang memberi saran kepada kaum berada, antara lain karena cenderung menyebabkan flatulensi dan juga karena dikaitkan dengan makanan kasar para petani. Pentingnya sayuran bagi masyarakat umum digambarkan dalam laporan dari Jerman pada abad ke-16 yang menyatakan bahwa banyak petani yang makan sauerkraut 3 - 4 kali sehari.[53]

Buah-buahan juga populer dan dapat disajikan dalam kondisi segar, dikeringkan, atau diawetkan, dan merupakan suatu bahan umum pada banyak hidangan yang dimasak.[54] Karena mahalnya gula dan madu, berbagai jenis buah umumnya disertakan dalam hidangan makanan yang membutuhkan bahan pemanis atau semacamnya. Buah-buahan pilihan di daerah selatan adalah sitrun, jeruk sukade, jeruk pahit (jenis yang manis tidak termasuk sampai beberapa ratus tahun kemudian), delima, quince, dan tentu saja anggur. Sementara di daerah utara, apel, pir, prem, dan stroberi lebih umum. Ara dan kurma dimakan di seluruh Eropa, tetapi tetap merupakan buah impor yang cukup mahal di bagian utara.[55]

Bahan makanan yang umum dan sering menjadi bahan dasar banyak masakan Eropa modern seperti kentang, kacang merah besar, kakao, vanilla, tomat, cabai, dan jagung tidak tersedia bagi orang-orang Eropa sampai akhir abad ke-15 setelah Eropa bersentuhan dengan benua Amerika, dan bahkan selanjutnya pun sering membutuhkan waktu yang cukup lama bagi bahan-bahan makanan baru untuk dapat diterima masyarakat luas.[56]

Produk olahan susu

 
Mempersiapkan dan menghidangkan keju; Tacuinum Sanitatis, ilustrasi abad ke-14.

Susu adalah suatu sumber protein hewani yang penting bagi mereka yang tidak mampu membeli daging. Sebagian besar susu berasal dari sapi, tetapi yang berasal dari kambing dan domba juga umum ditemui. Susu segar polos (plain milk) tidak dikonsumsi oleh orang dewasa selain orang miskin atau orang sakit, dan biasanya disediakan untuk orang yang sangat muda atau lanjut usia. Orang dewasa yang miskin terkadang minum susu mentega, whey, atau susu yang sudah masam atau encer.[57] Susu segar secara keseluruhan kurang umum dibandingkan produk susu hasil olahan karena minimnya teknologi yang dapat mempertahankan susu supaya tidak rusak. Sesekali susu digunakan di dapur masyarakat kelas atas dalam rebusan, tetapi sulit untuk menjaganya tetap segar dalam jumlah banyak dan sebagai gantinya biasa digunakan susu almond.[58]

Keju jauh lebih penting sebagai sebuah bahan makanan, terutama bagi rakyat biasa, dan telah direkomendasikan bahwa keju merupakan pemasok protein hewani yang utama bagi masyarakat kelas bawah selama berbagai periode.[59] Banyak jenis keju yang dikonsumsi saat ini, seperti keju Edam Belanda, keju Brie Prancis Utara, dan keju Parmesan Italia, telah ada dan sangat terkenal pada akhir abad pertengahan. Ada juga keju whey, seperti ricotta, yang merupakan produk sampingan dari produksi keju yang lebih keras. Keju digunakan dalam pembuatan pai, dan sup yang kemudian menjadi berbagai makanan umum di daerah berbahasa Jerman. Mentega, produk susu lainnya yang juga penting, telah populer penggunaannya di daerah Eropa Utara yang mengkhususkan diri dalam peternakan sapi pada paruh kedua Abad Pertengahan, yakni di Negara-Negara Dataran Rendah dan Skandinavia Utara. Sementara sebagian besar daerah lain menggunakan minyak atau lemak babi sebagai lemak untuk memasak, mentega merupakan sarana memasak yang dominan di daerah-daerah ini. Produksinya juga memungkinkan sebagai suatu komoditas ekspor yang menguntungkan sejak abad ke-12 dan seterusnya.[60]

Daging

 
Sebuah toko daging abad ke-14. Seekor babi besar tercurah darahnya saat disiapkan untuk disembelih. Babi yang telah disembelih dan potongannya digantung di sebuah rak, dan berbagai potongan sedang disiapkan untuk seorang pelanggan.

Sementara segala bentuk perburuan hewan liar populer di kalangan mereka yang dapat melakukannya, kebanyakan daging berasal dari hewan domestik. Hewan pekerja domestik yang tidak lagi mampu bekerja lalu disembelih, tetapi sangat tidak membangkitkan selera dan karenanya kurang dihargai sebagai daging. Daging sapi tidaklah umum seperti sekarang karena beternak sapi merupakan usaha padat karya, membutuhkan padang rumput dan pakan, lagipula lembu dan sapi jauh lebih berharga sebagai hewan pekerja dan penghasil susu. Daging kambing dan daging domba juga cukup umum, khususnya di daerah industri wol yang cukup besar, sebagaimana juga daging sapi muda.[61] Yang jauh lebih umum adalah daging babi, karena babi domestik tidak membutuhkan banyak perhatian dan pakannya lebih murah. Babi-babi domestik sering dibiarkan bebas berkeliaran, bahkan di kota-kota, dan dapat diberi makan dengan hampir segala sampah organik; anak babi yang masih menyusui juga banyak diminati karena kelezatannya. Hampir setiap bagian dari tubuh babi dimakan, termasuk telinga, moncong, ekor, lidah, dan perutnya. Usus, kandung kemih, dan perut babi dapat digunakan sebagai selubung (casing) untuk sosis atau bahkan makanan tiruan seperti telur raksasa. Di antara daging-daging yang saat ini jarang ditemukan atau bahkan dianggap tidak layak untuk dikonsumsi manusia adalah landak susu dan landak, yang terkadang disebutkan pada koleksi resep abad pertengahan akhir.[62] Kelinci tetap merupakan suatu komoditas yang langka dan sangat dihargai. Di Inggris, kelinci diperkenalkan secara hati-hati pada abad ke-13 dan koloninya dilindungi dengan penuh perhatian.[63] Di daerah selatan, kelinci peliharaan (kelinci domestik) biasa diternakkan untuk diambil daging dan bulunya. Mereka memiliki nilai tertentu bagi biara-biara, karena kelinci yang baru lahir diduga dinyatakan sebagai ikan (atau, setidaknya, bukan daging) oleh gereja dan karenanya dapat dimakan selama masa Prapaskah.[64]

Berbagai macam unggas dikonsumsi, termasuk angsa, merak, burung puyuh, partridge, bangau, burung jenjang, lark, linnet, dan burung berkicau lainnya yang dapat dijebak dengan jaring, serta hampir semua burung liar lainnya yang dapat diburu. Angsa dan merak dipelihara sampai taraf tertentu, tetapi hanya dimakan golongan elit sosial, dan lebih dipuja karena tampilannya yang baik sebagai hidangan hiburan yang menakjubkan, yakni entremet (hidangan penutup), daripada dagingnya. Sebagaimana hari ini, angsa berleher pendek dan bebek juga telah dipelihara walau tidak sepopuler ayam, unggas yang disetarakan dengan babi.[65] Anehnya ada keyakinan bahwa angsa teritip tidak berkembangbiak dengan bertelur sebagaimana burung lainnya, tetapi tumbuh dalam teritip, dan karenanya dianggap sebagai makanan yang diperbolehkan saat masa puasa dan Prapaskah. Tetapi pada Konsili Lateran IV (tahun 1215), Paus Innosensius III secara eksplisit melarang konsumsi angsa teritip selama Prapaskah, dengan alasan bahwa mereka hidup dan makan layaknya bebek dan begitu pula sifatnya sama dengan burung lainnya.[66]

Daging lebih mahal dibandingkan dengan makanan nabati. Meskipun daging kaya protein, rasio kalori terhadap beratnya lebih rendah daripada tanaman pangan. Harga daging bisa 4 kali lebih mahal dari roti. Ikan bisa sampai 16 kali lebih mahal, dan juga mahal bahkan pada masyarakat pesisir. Dengan demikian puasa dapat berarti pola makan yang sangat sedikit dan tidak lengkap bagi mereka yang tidak mampu membeli bahan pangan alternatif dari daging dan produk hewani seperti susu dan telur. Hanya setelah Wabah Hitam telah memusnahkan hingga separuh populasi Eropa, daging menjadi lebih umum bahkan untuk orang miskin. Penurunan drastis di banyak daerah padat penduduk menyebabkan kekurangan tenaga kerja, yang berarti bahwa upah melonjak naik. Hal ini juga menyebabkan wilayah lahan pertanian yang luas tidak diperhatikan lagi, menjadikan ketersediaan lahan untuk penggembalaan hewan dan menyediakan lebih banyak daging di pasaran.[67]

Ikan dan hidangan laut

 
Memancing lamprey di sebuah sungai; Tacuinum Sanitatis, ilustrasi abad ke-15.

Meskipun kurang bergengsi dibanding daging hewan lainnya, dan sering dipandang hanya sebagai alternafif dari daging saat hari-hari puasa, hidangan laut menjadi andalan banyak masyarakat pesisir. "Ikan" bagi masyarakat abad pertengahan juga merupakan nama umum untuk hewan apa pun yang tidak dipandang selayaknya hewan yang hidup di atas tanah, termasuk mamalia laut seperti paus dan porpoise (terkait dengan lumba-lumba). Juga termasuk beaver, karena memiliki ekor yang bersisik dan menghabiskan cukup banyak waktu dalam air, serta angsa teritip, karena diyakini perkembangbiakannya di bawah air dalam bentuk teritip.[68] Makanan-makanan tersebut juga dianggap sesuai saat hari-hari puasa, meskipun klasifikasi angsa teritip sebagai ikan — yang tampaknya mengada-ada itu — tidak diterima secara umum. Kaisar Romawi Suci Frederik II melakukan pemeriksaan terhadap teritip dan menyatakan bahwa tidak ada bukti embrio seperti burung di dalamnya; sekretaris Leo dari Rozmital menuliskan reaksi skeptisnya atas penyajian angsa teritip pada suatu jamuan makan pada hari puasa tahun 1456.[69]

Yang teristimewa penting adalah perdagangan dan penangkapan ikan herring dan kod di Samudra Atlantik dan Laut Baltik. Signifikansi ikan herring belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian sebagian besar Eropa Utara, dan merupakan salah satu komoditas paling umum yang diperdagangkan oleh Liga Hansa, sebuah serikat dagang yang kuat dari aliansi Jerman utara. Kipper (suatu bentuk ikan asap) dari herring yang ditangkap di Laut Utara dapat ditemukan di pasar sampai sejauh Konstantinopel.[70] Sementara sejumlah besar ikan dimakan selagi segar, tetapi banyak juga yang diasinkan, dikeringkan, dan sebagian kecil diasapkan. Ikan kering (stockfish), dari ikan kod yang dibelah tengah dan dijemur pada gantungan rak, merupakan hal yang sangat umum, meski penyiapannya dapat menyita waktu: ikan yang sudah dikeringkan dipukul-pukul dengan pemukul kayu sebelum merendamnya dalam air. Beragam moluska termasuk tiram, mussel (salah satu spesiesnya yaitu kupang), dan scallop dimakan oleh masyarakat yang tinggal di pesisir dan sekitar sungai; sedangkan lobster air tawar dipandang sebuah alternatif yang diminati sebagai pengganti daging selama "hari-hari ikan". Dibandingkan dengan daging, ikan jauh lebih mahal bagi penduduk pedalaman, khususnya di Eropa Tengah, dan karenanya bukan suatu pilihan bagi kebanyakan dari mereka. Ikan air tawar yang umum misalnya ikan tombak, karper (salah satu spesiesnya yaitu ikan mas), bream, perch, lamprey, dan trout.[71]

Minuman

 
Seorang pengurus konsumsi di biara sedang mencoba anggur. Dari salinan Li livres dou santé karya Aldobrandino dari Siena.

Di zaman modern, air dipandang sebagai suatu pilihan umum untuk diminum bersamaan dengan sebuah hidangan makanan. Namun pada Abad Pertengahan, kekhawatiran terhadap kemurniannya, rekomendasi medis dan nilai prestis yang rendah membuatnya kurang disukai, dan minuman beralkohol senantiasa disukai. Minuman alkohol dipandang lebih bergizi dan lebih bermanfaat untuk pencernaan dibandingkan air, dengan bonus tak ternilai sebagai minuman yang kurang rentan terhadap putrefaksi (pembusukan protein) karena kandungan alkoholnya. Anggur (wine) dikonsumsi setiap hari di sebagian besar wilayah Prancis dan di seluruh Mediterania Barat di mana pun anggur dibudidayakan. Lebih jauh ke utara, anggur tetap menjadi minuman pilihan kaum borjuis dan bangsawan yang mampu membelinya, dan jauh lebih tidak umum di kalangan petani dan pekerja. Minuman rakyat biasa di bagian utara benua ini terutama adalah bir atau ale.[72]

Jus, serta wine, dari berbagai macam buah dan beri telah dikenal setidaknya sejak zaman Romawi Kuno dan masih tetap dikonsumsi pada zaman Abad Pertengahan: wine delima, blackberry dan murbei, perry, dan cider yang mana sangat populer di daerah utara di mana apel dan pir berlimpah. Minuman abad pertengahan yang bertahan hingga sekarang misalnya prunellé dari plum liar (sekarang slivovitz), gin murbei dan wine blackberry. Banyak varian mead yang ditemukan di resep-resep abad pertengahan, dengan atau tanpa kandungan alkohol. Namun minuman berbasis madu tersebut menjadi kurang umum sebagai sebuah minuman meja menjelang akhir periode abad pertengahan dan akhirnya digunakan untuk pengobatan.[73] Mead telah sering ditampilkan sebagai minuman umum bangsa Slavia. Hal ini benar dalam taraf tertentu karena mead memberi nilai simbolis yang besar pada acara-acara penting. Ketika ada kesepakatan atas berbagai perjanjian dan urusan penting lain dari negara, mead sering disajikan sebagai sebuah hadiah seremonial. Itu juga terjadi pada perayaan pesta pernikahan dan pembaptisan, walau dalam jumlah terbatas karena harganya yang tinggi. Pada abad pertengahan di Polandia, mead memiliki sebuah status yang setara dengan kemewahan barang impor seperti rempah-rempah dan wine.[74] Kumis, hasil fermentasi susu kuda atau unta, dikenal di Eropa, tetapi — sama seperti mead — umumnya sebagai minuman yang diresepkan oleh dokter.[75]

Susu polos (plain milk) tidak dikonsumsi oleh orang dewasa selain mereka yang sakit atau kaum miskin, diperuntukkan bagi anak kecil atau lanjut usia, dan kemudian biasanya berupa susu mentega atau whey. Susu segar secara keseluruhan kurang umum dibandingkan hasil lainnya dari peternakan susu karena minimnya teknologi yang dapat menjaganya supaya tidak rusak.[76] Teh dan kopi, yang mana keduanya berasal dari tanaman yang ditemukan di Dunia Lama, populer di Asia Timur dan dunia Muslim sepanjang Abad Pertengahan. Namun tak satu pun dari minuman sosial yang non-alkohol itu dikonsumsi di Eropa sebelum akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.

Wine

 
Seorang wanita mendemonstrasikan bagaimana seharusnya memperlakukan dan menyimpan wine.

Anggur (wine) umumnya memabukkan dan juga dianggap sebagai pilihan yang sehat dan paling bergengsi. Menurut ilmu gizinya Galen, wine dianggap bersifat panas dan kering namun dapat diatasi jika diencerkan. Tidak seperti air atau bir, yang dianggap bersifat dingin dan lembap, konsumsi wine secukupnya (terutama anggur merah atau red wine) diyakini —antara lain— membantu pencernaan, menghasilkan darah yang baik, dan mencerahkan suasana hati.[77] Kualitas wine berbeda-beda secara signifikan tergantung pada tempat atau tahun pembuatan (vintage), jenis anggur, dan yang lebih penting adalah banyaknya pemerasan. Perasan pertama dibuat menjadi wine yang terbaik dan merupakan wine paling mahal yang mana diperuntukkan bagi masyarakat kelas atas. Perasan kedua dan ketiga menghasilkan kualitas dan kandungan alkohol yang lebih rendah. Kebanyakan orang biasanya harus puas dengan rosé atau anggur putih yang lebih murah dari perasan kedua atau ketiga, yang berarti dapat dikonsumsi cukup banyak tanpa menyebabkan mabuk berat. Bagi kalangan yang lebih miskin (atau yang paling saleh), vinegar encer (serupa dengan posca Romawi Kuno) — yang kandungan utamanya adalah cuka — sering menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia.[78]

Penuaan red wine yang berkualitas tinggi membutuhkan pengetahuan khusus sekaligus peralatan dan tempat penyimpanan yang mahal, serta menghasilkan produk akhir yang bahkan lebih mahal. Dilihat dari saran yang diberikan dalam banyak dokumen abad pertengahan mengenai cara menyelamatkan wine yang menunjukkan tanda-tanda memburuk, pemeliharaan tentu saja suatu masalah umum. Sekalipun vinegar merupakan bahan minuman yang umum, hanya jumlah terbatas saja yang dapat digunakan (untuk dikonsumsi). Dalam buku masak abad ke-14, Le Viandier, terdapat beberapa metode untuk menyelamatkan wine yang mulai rusak; pastikan bahwa tong berisi wine selalu terisi penuh atau tambahkan campuran biji anggur putih yang telah direbus dan dikeringkan dengan abu dari endapan white wine yang telah dibakar dan dikeringkan, di mana keduanya adalah bakterisida yang efektif, sekalipun proses kimiawi tersebut tidak dipahami pada saat itu.[79] Wine dengan campuran rempah-rempah (mulled wine, spiced wine) tidak hanya populer di kalangan orang kaya, tetapi juga dinilai sangat sehat oleh para dokter. Wine diyakini berperan sebagai semacam alat penguap dan penyalur bahan pangan lainnya ke seluruh bagian tubuh; tambahan rempah-rempah yang harum dan eksotis bahkan membuatnya lebih berfaedah. Spiced wine umumnya dibuat dari campuran (red) wine biasa dengan gabungan beragam rempah seperti jahe, kapulaga, piper (salah satu spesiesnya yaitu lada), Aframomum melegueta (salah satu spesies dari temu-temuan), pala, cengkih, dan gula. Campuran rempah ini terdapat dalam kantong kecil untuk dicelupkan dalam wine atau dituangkan dengan wine agar menghasilkan hippocras. Pada abad ke-14, kantong berisi campuran rempah yang siap pakai dapat dibeli di pedagang rempah-rempah.[80]

Bir

Sementara wine merupakan minuman meja yang paling umum di sebagian besar Eropa, tetapi tidak demikian dengan daerah-daerah utara di mana anggur tidak dibudidayakan. Mereka yang mampu membelinya akan meminum wine impor, tetapi bagi kalangan bangsawan di daerah-daerah ini, minum bir atau ale adalah hal yang umum, khususnya pada masa menjelang akhir Abad Pertengahan. Di Inggris, Negara-Negara Dataran Rendah, Jerman, Polandia, dan Skandinavia, bir dikonsumsi setiap hari oleh orang-orang dari semua umur dan kelas sosial. Pada pertengahan abad ke-14, jelai, suatu sereal yang dikenal agak kurang cocok untuk pembuatan roti namun sangat baik untuk pembuatan bir, memiliki kontribusi 27% dari seluruh lahan sereal di Inggris.[81] Namun pengaruh kuat dari budaya Arab dan Mediterania pada ilmu kedokteran (terutama karena Reconquista dan masuknya naskah-naskah berbahasa Arab) menjadikan bir sering kali tidak disukai. Bagi kebanyakan orang Eropa pada Abad Pertengahan, bir adalah minuman yang sederhana dibandingkan dengan bahan makanan dan minuman dari selatan yang umum seperti wine, lemon, dan minyak zaitun. Bahkan produk yang relatif eksotis seperti susu unta dan daging gazel umumnya mendapat perhatian yang lebih positif dalam naskah-naskah kedokteran. Bir hanyalah suatu alternatif yang dapat diterima dan dikaitkan dengan berbagai hal negatif. Pada tahun 1256, Aldobrandino, seorang dokter dari Siena mendeskripsikan bir sebagai berikut:[82]

"Tetapi dari apapun bir dibuat, baik dari oat, jelai, atau gandum, bir membahayakan kepala dan perut, menyebabkan bau mulut dan merusak gigi, memenuhi perut dengan gas yang buruk, dan menyebabkan cepat mabuk bagi orang yang meminumnya bersamaan dengan wine; namun bir memiliki sifat membantu buang air kecil dan membuat tubuh seseorang putih dan halus."

Efek memabukkan dari bir dipercaya lebih lama dibanding wine, tapi diakui juga bahwa bir tidak membuat "rasa haus palsu" yang dikaitkan dengan wine. Meskipun kurang menonjol di bagian utara, bir dikonsumsi di utara Prancis dan daratan Italia. Mungkin sebagai konsekuensi dari penaklukan Normandia dan perjalanan para bangsawan antara Prancis dan Inggris, sebuah varian dari Prancis yang dideskripsikan dalam buku masak abad ke-14 Le Menagier de Paris disebut godale (kemungkinan besar berasal dari Inggris: "good ale") dan dibuat dari jelai dan spelt, tetapi tanpa hop. Di Inggris ada juga varian poset ale, terbuat dari susu panas dan ale dingin serta brakot atau braggot, yakni hidangan ale yang dicampur dengan rempah serupa dengan hippocras.[83]

Bahwa hop dapat digunakan untuk memberi aroma pada bir telah dikenal setidaknya sejak zaman dinasti Karoling, tetapi diadopsi secara bertahap dikarenakan sulitnya merumuskan proporsi yang tepat. Sebelum meluasnya penggunaan hop, gruit (suatu campuran berbagai herbal) telah digunakan. Gruit memiliki sifat mempertahankan yang sama seperti hop, walau kurang dapat diandalkan karena tergantung pada herbal yang dikandungnya, dan hasil akhirnya sangat bervariasi. Metode lain untuk memberi aroma adalah menaikkan kandungan alkohol, tetapi metode ini jauh lebih mahal dan bir tersebut akan menjadi minuman yang membuat mabuk berat dan cepat. Kemungkinan hop telah digunakan secara luas di Inggris pada abad ke-10; ditanam di Austria pada tahun 1208 dan di Finlandia pada 1209, atau mungkin juga jauh sebelumnya.[84]

Sebelum hop populer sebagai sebuah bahan pembuatan bir, sulit untuk menjaga minuman ini agar tahan lama, dan karenanya kebanyakan bir dikonsumsi saat masih segar.[85] Konsumsinya tanpa disaring terlebih dulu, sehingga berwarna keruh, dan kemungkinan memiliki kandungan alkohol lebih rendah dibanding dengan yang ada pada zaman modern pada umumnya. Banyaknya konsumsi bir oleh penduduk Eropa pada Abad Pertengahan, seperti yang tercatat dalam literatur masa kini, jauh melebihi konsumsi di dunia modern. Sebagai contoh, para pelaut di Inggris dan Denmark pada abad ke-16 menerima jatah 4,5 L bir per hari. Sementara petani di Polandia mengkonsumsi sampai dengan 3 L bir per hari.[86]

Pada Abad Pertengahan Awal, bir terutama dibuat dalam biara-biara dan dalam skala yang lebih kecil di rumah tangga masing-masing. Sementara pada Abad Pertengahan Tinggi, tempat pembuatan bir di kota-kota baru zaman abad pertengahan di utara Jerman mulai mengambil alih produksi. Meski kebanyakan tempat pembuatan bir merupakan bisnis keluarga kecil-kecilan (homebrewing) yang mempekerjakan paling banyak 8 - 10 karyawan, produksi reguler dimungkinkan dengan investasi dalam peralatan yang lebih baik dan memperbanyak eksperimen dengan teknik pembuatan bir dan resep baru. Usaha ini kemudian menyebar ke Belanda pada abad ke-14, kemudian ke Flandria dan Brabant, dan sampai ke Inggris pada abad ke-15. Bir yang mengandung hop menjadi sangat populer dalam beberapa dekade terakhir pada Abad Pertengahan Akhir. Di Inggris dan Negara-Negara Dataran Rendah, konsumsi tahunan per kapita sekitar 275 - 300 liter, dan bir dikonsumsi dengan hampir setiap hidangan makanan: bir dengan kadar alkohol rendah untuk sarapan, dan yang lebih tinggi pada siang atau sore hari. Ketika disempurnakan sebagai sebuah bahan baku, hop dapat membuat bir bertahan hingga 6 bulan atau lebih, dan memungkinkannya untuk diekspor secara luas.[87] Di Inggris pada Abad Pertengahan Akhir, kata "bir" diartikan sebagai suatu minuman yang mengandung hop, sedangkan "ale" artinya menjadi minuman yang tidak mengandung hop. Selanjutnya, ale atau bir diklasifikasikan menjadi "kuat" dan "ringan"; yang "ringan" kurang memabukkan, dianggap sebagai minuman untuk orang-orang yang tenang (mampu menahan diri) dan cocok untuk dikonsumsi anak-anak. Pada tahun 1693, John Locke menyatakan bahwa satu-satunya minuman yang ia anggap cocok untuk anak-anak segala usia adalah bir ringan, sambil mengkritik praktik yang sepertinya umum di kalangan orang Inggris pada saat itu yang memberikan anak-anak mereka wine dan alkohol berkadar tinggi.[88]

Menurut standar modern, proses pembuat bir tersebut relatif tidak efisien, tetapi mampu menghasilkan alkohol yang cukup kuat apabila dikehendaki. Salah satu upaya terkini untuk menciptakan kembali "ale yang kuat" dari Inggris abad pertengahan dengan menggunakan resep dan teknik saat itu (meski dengan penggunaan galur khamir modern) telah menghasilkan minuman beralkohol dengan berat jenis asli 1,091 (sesuai dengan potensi kandungan alkohol di atas 9%) dan " rasa yang menyenangkan, seperti apel".[89]

Hasil penyulingan

Bangsa Romawi Kuno dan Yunani Kuno mengetahui teknik penyulingan (distilasi), tetapi tidak dilakukan dalam skala besar di Eropa sampai pada abad ke-12, yakni ketika inovasi dari Arab dalam bidang tersebut yang dikombinasikan dengan alembic dengan kaca berpendingin air mulai diperkenalkan. Distilasi diyakini oleh para cendekiawan abad pertengahan dapat memproduksi intisari dari cairan yang dimurnikan, dan istilah "air kehidupan" (aqua vitae) digunakan sebagai istilah umum untuk menyebut semua jenis hasil sulingan.[90] Ada beragam variasi dalam penggunaan awal berbagai hasil penyulingan, baik beralkohol atau tidak, tetapi terutama digunakan untuk kuliner atau pengobatan. Sirup anggur yang dicampur dengan gula dan rempah-rempah diresepkan untuk berbagai penyakit ringan; air mawar digunakan sebagai parfum, bahan masakan, dan untuk mencuci tangan. Hasil penyulingan yang mengandung alkohol terkadang juga digunakan untuk membuat entremet (sejenis hidangan hiburan setelah suatu set menu) yang "bernapas api" dan mempesonakan dengan merendam sepotong kapas dalam minuman keras tersebut. Kapas tersebut lalu ditempatkan di mulut hewan yang telah berisi campuran ramuan dan gilingan dagingnya, dimasak, dan terkadang dibumbui kembali, kemudian dinyalakan dengan api menjelang kreasi tersebut disajikan.[91]

Aqua vitae, dalam beragam bentuknya yang mengandung alkohol, sangat dipuja oleh para dokter abad pertengahan. Pada tahun 1309, Arnaldus de Villa Nova dalam tulisannya menyebutnya: "memperpanjang kesehatan yang baik, membuang cairan tak berguna, menghidupkan jantung kembali dan menjaga tetap awet muda".[92] Pada Abad Pertengahan Akhir, produksi moonshine mulai meningkat, terutama di daerah-daerah berbahasa Jerman. Pada abad ke-13, Hausbrand (maknanya kurang lebih: "wine hasil distilasi yang dibakar") adalah minuman yang umum, dan menandai asal mula brendi. Menjelang Abad Pertengahan Akhir, konsumsi minuman keras menjadi sedemikian mendarah daging bahkan di kalangan masyarakat umum sehingga pembatasan terhadap penjualan dan produksinya mulai terlihat di akhir abad ke-15. Pada tahun 1496 kota Nürnberg, di Bavaria, mengeluarkan aturan pembatasan penjualan minuman keras pada hari Minggu dan hari libur resmi.[93]

Herbal, rempah, bumbu

 
Pemanenan lada; naskah Prancis dari Perjalanan Marco Polo, awal abad ke-15.

Rempah-rempah termasuk produk yang paling mewah yang ada pada Abad Pertengahan; yang paling umum adalah lada hitam, kayu manis (dan alternatifnya yang lebih murah: cassia), jintan putih, pala, jahe, dan cengkih. Semua rempah tersebut harus diimpor dari perkebunan di Asia dan Afrika, yang mana menjadikannya sangat mahal, dan memberinya cap sosial sedemikian sehingga lada -misalnya- diperlakukan seperti emas batangan: ditimbun, diperdagangkan, dan dijadikan objek sumbangan secara mencolok. Diperkirakan sekitar 1.000 ton (bukan ton metrik) lada dan 1.000 ton rempah-rempah umum lainnya diimpor ke Eropa Barat setiap tahun selama akhir Abad Pertengahan. Nilai dari semua barang ini setara dengan pasokan biji-bijian serealia untuk 1,5 juta orang.[94] Meskipun lada merupakan rempah yang paling umum, yang paling eksklusif (walau bukanlah yang paling tidak jelas asalnya) adalah kuma-kuma dan dimanfaatkan warna merah-kuningnya yang hidup sebagaimana juga aromanya, karena menurut humor, warna kuning menandakan panas dan kering, kualitas-kualitas yang bernilai;[95] kunyit tersedia sebagai pengganti warna kuning, dan sentuhannya sebagai sepuhan makanan dalam jamuan makan memberi kesan cinta abad pertengahan pada acara pamer dan tradisi pola makan ala Galen: pada perjamuan mewah bulan Juni 1473 yang diadakan Kardinal Pietro Riario untuk putri Raja Napoli, roti-roti disepuh dengan kunyit.[96] Di antara rempah-rempah yang sekarang sudah tidak jelas penggunaannya adalah Aframomum melegueta (salah satu spesies temu-temuan), salah satu kerabat dari kapulaga yang hampir sepenuhnya digantikan dengan lada dalam masakan di utara Prancis pada akhir abad pertengahan, cabe jawa, pala, minyak narwastu, galangal (biasanya saat ini merujuk ke lengkuas), dan kemukus. Gula, tidak seperti sekarang ini, dianggap sebagai suatu jenis rempah-rempah karena kualitas-kualitas humoral dan harganya yang mahal.[97] Beberapa hidangan makanan tidak hanya menggunakan satu jenis rempah atau herbal, tapi cenderung menggunakan kombinasi beberapa rempah yang berbeda. Bahkan sekalipun suatu hidangan didominasi satu aroma saja namun biasanya dipadukan dengan lainnya untuk menghasilkan suatu rasa yang kompleks, misalnya peterseli dan cengkih atau lada dan jahe.[98]

Tumbuhan herbal yang umum seperti sage, sesawi (bukan sawi), dan peterseli ditanam dan digunakan untuk memasak di seluruh Eropa, seperti juga jintan, mint, adas sowa, dan adas. Banyak dari tanaman-tanaman ini yang tumbuh di seluruh Eropa atau juga dibudidayakan di kebun, dan menjadi alternatif yang lebih murah dari rempah-rempah eksotis. Mustar (terbuat dari biji tanaman sesawi) terutama populer jika disandingkan dengan produk daging, dan digambarkan oleh Hildegard dari Bingen (1098-1179) sebagai makanannya orang miskin. Tanaman herbal lokal kurang bergengsi dibanding rempah-rempah, tetapi masih tetap digunakan dalam masakan kelas atas meski kemudian pada umumnya kurang menonjol atau hanya digunakan sebagai pewarnaan. Adas manis digunakan untuk memberi aroma pada hidangan ayam dan ikan, dan bijinya dijadikan comfit (kacang-kacangan, biji-bijian, atau buah kering yang dilapisi gula).[99]

 
Memilih-milih anggur hijau untuk dibuat jus masam (verjuice); Tacuinum Sanitatis, ilustrasi tahun 1474.

Resep-resep zaman abad pertengahan yang masih bertahan sering menyebut perasa dari sejumlah cairan masam yang tajam. Wine, vinegar yang terbuat dari verjuice (jus buah-buahan atau anggur yang belum masak), dan jus berbagai macam buah, terutama yang mengandung asam tartarat, nyaris umum digunakan dan menjadi suatu ciri khas masakan pada akhir abad pertengahan. Dalam paduan dengan pemanis dan rempah-rempah, hasilnya adalah suatu rasa buah-buahan yang tajam dan khas. Yang sama umumnya, dan digunakan sebagai pelengkap bau yang keras dari bahan-bahan ini, adalah almond (manis). Biasanya almond digunakan dalam berbagai cara: secara utuh, baik dikupas ataupun tidak, dipotong-potong, digiling halus, dan yang paling utama adalah diolah menjadi susu almond. Macam terakhir berupa produk susu nabati ini mungkin adalah bahan tunggal yang paling umum dalam masakan pada akhir abad pertengahan, memadukan aroma rempah-rempah dan cairan asam dengan suatu rasa yang lembut dan tekstur putih kekuningan.[100]

Garam (salt) dapat ditemukan di mana-mana dan sangat diperlukan untuk memasak pada abad pertengahan. Pengasinan dan pengeringan merupakan bentuk pengawetan makanan yang paling umum; ikan dan daging, khususnya, sering diasinkan dengan kuat. Banyak resep abad pertengahan secara khusus memperingatkan agar tidak melakukan penggaraman secara berlebihan dan ada rekomendasi untuk merendam produk tertentu dalam air untuk membuang kelebihan garam.[101] Garam hadir sepanjang kesempatan-kesempatan makan yang lebih kompleks atau mewah. Semakin kaya tuan rumahnya, dan semakin prestisius para tamunya, wadah garam yang digunakan akan semakin "rumit", kualitas dan harga garamnya juga semakin tinggi. Para tamu kaya duduk di tempat kehormatan ("above the salt"), sementara lainnya duduk di tempat biasa ("below the salt"), di mana tempat garam pada tempat kehormatan itu terbuat dari pewter (logam campuran dengan kandungan utama timah), logam berharga atau bahan berkualitas baik lainnya, dan sering kali dihias dengan rumit. Pangkat atau tingkatan tamu pada jamuan makan tersebut juga menentukan seberapa putih dan seberapa halus garamnya. Garam untuk memasak, mengawetkan, atau untuk penggunaan masyarakat umum, lebih kasar; garam laut atau "garam teluk", khususnya, lebih tidak murni dan dideskripsikan dalam warna mulai dari hitam sampai hijau. Sedangkan garam yang mahal tampaknya sama seperti garam komersial yang umum digunakan saat ini.[102]

Gula-gula dan hidangan penutup

Istilah "dessert" (hidangan penutup, pencuci mulut) berasal dari bahasa Prancis Kuno desservir, "untuk membersihkan sebuah meja", dan berawal dari zaman Abad Pertengahan. Hidangan tersebut biasanya terdiri dari dragée (semacam gula-gula) dan mulled wine (wine dengan campuran rempah-rempah) didampingi dengan keju tua; pada Abad Pertengahan Akhir bisa juga mencakup buah segar yang dilapisi gula, madu, atau sirup, dan pasta buah yang telah dimasak. Gula, sejak kemunculan pertamanya di Eropa, banyak dipandang sebagai sebuah obat daripada sebagai bahan pemanis; reputasi yang panjang selama abad pertengahan sebagai suatu kemewahan yang eksotis mendorong kemunculannya dalam konteks elit dengan menyertai daging dan menu lainnya yang mana untuk selera modern lebih memilih rasa gurih yang alami. Ada berbagai macam gorengan, crêpe dengan gula, dariole dan custard manis, susu almond dan telur dalam sebuah kue pastri yang juga dapat berisikan buah-buahan dan terkadang bahkan sumsum tulang atau ikan.[10] Daerah berbahasa Jerman memiliki kesukaan tertentu pada krapfen, yaitu kue pastri yang digoreng, terbuat dari adonan berbagai bahan yang manis dan gurih. Marzipan dalam berbagai bentuknya terkenal di Italia dan selatan Prancis pada sekitar tahun 1340-an, dan diasumsikan berasal dari Arab. Buku masak bangsa Anglo-Norman dipenuhi berbagai resep untuk tart, saus, potage, dan custard yang manis dan gurih berisikan stroberi, ceri (buah dari beragam tanaman genus Prunus), apel, dan plum. Para koki Inggris juga gemar menggunakan berbagai kelopak bunga seperti bunga mawar, violet, dan sambucus. Salah satu bentuk awal dari quiche dapat ditemukan dalam The Forme of Cury, sebuah koleksi resep dari abad ke-14, yakni berupa Torte de Bry berisi keju dan kuning telur.[103]

Di utara Prancis, berbagai macam wafel dan wafer dimakan dengan keju dan hippocras atau malvasia yang manis sebagai "keberangkatan dari meja" (issue de table). Jahe, ketumbar, adas manis, maupun rempah lainnya yang telah bersalut gula selalu tersedia dan disebut sebagai "rempah-rempah ruangan" (épices de chambre), serta digunakan untuk membantu pencernaan di akhir hidangan makanan untuk "menutup" perut.[104] Sebagaimana rekan-rekan Muslim mereka di Spanyol, para penakluk dari Arab di Sisilia memperkenalkan berbagai macam hidangan penutup dan gula-gula yang baru yang pada akhirnya menyebar ke seluruh Eropa. Sama seperti Montpellier, Sisilia pernah terkenal karena comfit (kacang-kacangan, biji-bijian, atau buah kering yang dilapisi gula), permen nougat (torrone, atau turrón dalam bahasa Spanyol), dan almond bersalut gula (confetti). Dari selatan, bangsa Arab juga membawa seni pembuatan es krim yang menghasilkan sorbet (beda dengan serbat di Indonesia), beberapa kue pastri dan bolu (cake) yang manis; cassata alla Siciliana (dari bahasa Arab qas'ah, istilah untuk mangkuk terakota yang digunakan untuk membuat kue tersebut), terbuat dari marzipan, kue sponge, ricotta yang dimaniskan, dan cannoli alla Siciliana, aslinya cappelli di turchi ("topi-topi Turki"), yaitu gulungan kue pastri berisi keju manis yang digoreng dan kemudian didinginkan.[105]

Historiografi dan sumber

Penelitian terhadap produksi dan konsumsi makanan terkait aspek budaya, sosial, dan ekonomi (atau disebut juga foodways) sampai sekitar tahun 1980 merupakan bidang studi yang banyak diabaikan. Kesalahpahaman dan kekeliruan secara langsung umum dilakukan di kalangan sejarawan, dan masih ada sebagai suatu bagian pandangan populer bahwa Abad Pertengahan merupakan suatu periode barbar, primitif, dan terbelakang. Masakan abad pertengahan digambarkan sebagai pemberontakan karena seringnya kombinasi aroma yang tidak biasa, anggapan atas kurangnya sayuran, dan penggunaan rempah-rempah secara bebas.[106] Banyaknya penggunaan rempah-rempah telah menjadi alasan populer untuk mendukung klaim bahwa rempah-rempah digunakan untuk menyamarkan aroma dari daging yang telah rusak, suatu kesimpulan tanpa dukungan fakta sejarah dan sumber masa kini.[107] Daging segar dapat diperoleh sepanjang tahun bagi mereka yang mampu membelinya. Teknik-teknik pengawetan telah ada pada saat itu dan sudah sangat memadai, walau sangat sederhana dibandingkan dengan standar sekarang. Biaya yang sangat besar dan prestise yang tinggi dari rempah-rempah, dan karenanya berpengaruh pada reputasi sang tuan rumah, akan terbuang sia-sia jika dihamburkan pada makanan yang murah dan ditangani dengan buruk.[108]

Metode umum yang digunakan untuk menggiling dan menumbuk bahan makanan menjadi pasta dan berbagai potage serta saus digunakan sebagai suatu argumen untuk menjelaskan mengapa kebanyakan orang dewasa di kalangan bangsawan abad pertengahan kehilangan gigi mereka pada usia dini, sehingga karenanya terpaksa tidak makan apapun selain bubur, sup, dan daging yang dihaluskan. Gambar para bangsawan yang sedang mengunyah bubur tanpa gigi mereka sepanjang hidangan makanan dengan beragam menu tersiar pada masa itu bersamaan dengan penampakan yang kontradiktif dari "gerombolan orang berperangai kasar (menyamar sebagai bangsawan-bangsawan terhormat) yang, jika tidak saling melempar sendi-sendi daging berlemak berukuran besar di ruang jamuan makan, sedang sibuk merobek-robeknya dengan kelengkapan gigi-gigi seri, taring, geraham depan dan belakang yang sehat sempurna".[109]

Berbagai deskripsi jamuan makan (banquet) dari akhir Abad Pertengahan lebih terkonsentrasi pada peragaan kemewahan acara tersebut dibanding rincian makanannya, yang mana tidaklah sama bagi kebanyakan tamu atau peserta jamuan —seperti adanya entremet pilihan yang tersaji di meja tinggi (high table). Hidangan makanan saat perjamuan tersebut berbeda dengan masakan normal yang umum dan sejarawan Maguelonne Toussant-Samat menggambarkan bahwa jamuan makan besar lebih bertujuan pada kepentingan politik dibanding tata boga itu sendiri, baik dahulu maupun sekarang.[110]

Buku masak

 
Resep "drepee", burung dimasak setengah matang dengan almond dan bawang goreng, dan bagian pertama resep "mawmenee", ayam kebiri atau burung pegar direbus dengan kayu manis, jahe, cengkih, kurma, dan kacang pinus, serta diwarnai dengan cendana; Forme of Cury, akhir abad ke-14.

Buku masak, atau secara lebih spesifik, koleksi resep, yang disusun pada Abad Pertengahan adalah salah satu sumber sejarah yang paling penting untuk mendapatkan informasi mengenai masakan abad pertengahan. Buku-buku masak pertama mulai tampak pada akhir abad ke-13. Liber de Coquina, mungkin berasal dari daerah dekat Napoli, dan Tractatus de modo preparandi telah ditangani penyunting modern Marianne Mulon, dan sebuah buku masak dari Assisi yang ditemukan di Châlons-sur-Marne telah disunting oleh Maguelonne Toussaint-Samat.[111] Meskipun buku-buku tersebut dianggap menggambarkan hidangan makanan yang sebenarnya, para ahli makanan tidak percaya kalau buku-buku itu digunakan sebagai sebuah buku masak sama seperti yang mungkin diterapkan saat ini, yakni sebagai suatu panduan langkah demi langkah mengenai prosedur memasak yang dapat dipegang di tangan sambil menyiapkan sebuah hidangan. Hanya sedikit orang yang berada di dapur pada masa tersebut yang mampu membaca, dan naskah yang digunakan untuk bekerja kecil kemungkinannya dapat bertahan hingga sekarang.[112]

Resep-resep itu banyak yang ditulis secara singkat dan tidak menyebut kuantitas dengan tepat. Suhu dan lamanya waktu untuk memasak jarang ditetapkan karena tidak tersedianya jam portabel yang akurat dan semua kegiatan memasak dilakukan dengan api terbuka. Kalaupun ada, lama waktu memasak ditetapkan menurut waktu yang dibutuhkan untuk mengucapkan sejumlah doa tertentu atau berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berjalan di sekitar bidang tertentu. Para juru masak profesional mempelajari ketrampilan profesinya melalui magang dan pelatihan praktis, untuk menapaki karier dalam hierarki dunia dapur yang sudah sangat pasti. Seorang juru masak abad pertengahan dalam sebuah rumah tangga besar sangat mungkin mampu merencanakan dan menghasilkan suatu hidangan makanan tanpa bantuan resep atau instruksi tertulis. Karena naskah-naskah yang masih ada umumnya dalam kondisi baik, sejarawan makanan Terence Scully mengajukan gagasan bahwa naskah-naskah itu merupakan catatan praktik kehidupan berumahtangga yang dimaksudkan untuk orang kaya dan terpelajar (dapat menulis dan membaca) dalam suatu rumah tangga, misalnya Le Ménagier de Paris dari akhir abad ke-14. Lebih dari 70 koleksi resep abad pertengahan masih ada dan terlestarikan hingga sekarang, ditulis dalam beberapa bahasa utama di Eropa.[113]

Perbendaharaan instruksi pengelolaan rumah tangga yang tertulis dalam naskah seperti Ménagier de Paris juga mencakup banyak rincian mengenai pengaturan persiapan yang benar di dapur. Menjelang awal periode modern, pada tahun 1474, pustakawan Vatikan Bartolomeo Platina menuliskan De honesta voluptate et valetudine ("Tentang kesehatan dan kenikmatan yang terhormat") dan Iodocus Willich, seorang dokter, menyunting kumpulan resep Romawi Apicius di Zürich pada tahun 1563.

Barang langka dan rempah-rempah eksotis berstatus tinggi seperti jahe, lada, cengkih, wijen, daun jeruk sukade, dan "bawang dari Ashkelon"[114] tertulis semua dalam sebuah daftar dari abad ke-8 yang berisikan rempah-rempah yang harus dipunyai juru masak dinasti Karoling. Daftar tersebut ditulis oleh Vinidarius, yang mana kutipan-kutipan Apicius[115] itu terdapat dalam sebuah naskah uncial abad ke-8. Vinidarius sendiri mungkin saja hidup jauh sebelum tanggal naskah tersebut.[116]

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ a b Hunt & Murray (1999), hlm. 16.
  2. ^ Henisch (1976), hlm. 41.
  3. ^ a b Henisch (1976), hlm. 43.
  4. ^ Henisch (1976), hlm. 40.
  5. ^ Bynum (1987), hlm. 41; lihat pula Scully (1995), hlm. 58–64 dan Adamson (2004), hlm. 72, 191–92.
  6. ^ Henisch (1976), hlm. 46.
  7. ^ Scully (1995), hlm. 190–92.
  8. ^ Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" dalam Regional Cuisines of Medieval Europe, hlm. 155–59.
  9. ^ Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" dalam Regional Cuisines of Medieval Europe, hlm. 160–59; Scully (1995), hlm. 117.
  10. ^ a b Scully (1995), hlm. 135–136.
  11. ^ Scully (1995), hlm. 126–135.
  12. ^ Terence Scully, "Tempering Medieval Food" dalam Food in the Middle Ages, hlm. 7–12
  13. ^ Dyer (2000), hlm. 85
  14. ^ a b Woolgar (2006), hlm. 11
  15. ^ Hicks (2001), hlm. 15–17
  16. ^ Hicks (2001), pp.10–11
  17. ^ Hicks (2001), hlm. 18
  18. ^ Harvey (1993), hlm. 38–41
  19. ^ Harvey (1993), hlm. 64–65
  20. ^ Dyer (1989), hlm. 134
  21. ^ Hicks (2001), hlm. 8
  22. ^ "Bones reveal chubby monks aplenty". The Guardian. 15 July 2004. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-06-27. Diakses tanggal 2015-07-27. 
  23. ^ J. J. Verlaan (August 2007). "Diffuse idiopathic skeletal hyperostosis in ancient clergymen". Eur Spine J. 16 (8): 1129–35. doi:10.1007/s00586-007-0342-x. PMC 2200769 . PMID 17390155. 
  24. ^ Scully (1995), hlm. 218.
  25. ^ Scully (1995), hlm. 83.
  26. ^ a b Eszter Kisbán, "Food Habits in Change: The Example of Europe" in Food in Change, hlm. 2–4.
  27. ^ a b Henisch (1976), hlm. 17.
  28. ^ Henisch (1976), hlm. 24–25.
  29. ^ Adamson (2004), hlm. 162.
  30. ^ Adamson (2004), hlm. 170.
  31. ^ Adamson (2004), hlm. 161–164.
  32. ^ Henisch (1976), hlm. 185–186.
  33. ^ Howe, John (June 2010). "Did St. Peter Damian Die in 1073 ? A New Perspective on his Final Days". Analecta Bollandiana. 128 (1): 67–86. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-01-06. Diakses tanggal 2015-07-28. 
  34. ^ Adamson (2004), hlm. 55–56, 96.
  35. ^ Dembinska (1999), hlm. 143.
  36. ^ Scully (1995), hlm. 113.
  37. ^ Scully (1995). hlm. 44–46.
  38. ^ Scully (1995), hlm. 70.
  39. ^ Barbara Santich, "The Evolution of Culinary Techniques in the Medieval Era" in Food in the Middle Ages, hlm. 61–81.
  40. ^ Henisch (1976), hlm. 95–97.
  41. ^ Adamson (2004), hlm. 57–62.
  42. ^ Liane Plouvier, "La gastronomie dans les Pays-Bas méridionaux sous les ducs de Bourgogne: le témoignage des livres de cuisine" Publications du Centre Européen d'Etudes Bourguignonnes 47 (2007).
  43. ^ Edited from the Ms. S 103 Bibliothèque Supersaxo, (in the Bibliothèque cantonale du Valais, Sion, by Terence Scully, Du fait de cuisine par Maître Chiquart, 1420 Vallesia, 40, 1985.
  44. ^ Scully (1995), hlm. 96.
  45. ^ Beth Marie Forrest, "Food storage and preservation" in Medieval Science, Technology and Medicine, hlm. 176–77.
  46. ^ Martha Carling, "Fast Food and Urban Living Standards in Medieval England" in Food and Eating in Medieval Europe, hlm. 27–51.
  47. ^ Margaret Murphy, "Feeding Medieval Cities: Some Historical Approaches" in Food and Eating in Medieval Europe, hlm. 40–41.
  48. ^ Henisch (1976), hlm. 64–67.
  49. ^ Hans J. Teuteberg, "Periods and Turning-Points in the History of European Diet: A Preliminary Outline of Problems and Methods" in Food in Change, hlm. 16–18.
  50. ^ Adamson (2004), hlm. 1–5.
  51. ^ Scully (1995), hlm. 35–38.
  52. ^ Scully (1995), hlm. 71.
  53. ^ Kubis dan bahan makanan lain yang umum digunakan oleh kebanyakan orang berbahasa Jerman disebutkan dalam pola makan ala Walther Ryff pada 1549 dan Deutsche Speißkamer karya Hieronymus Bock pada 1550; lihat Melitta Weiss Adamson, "Medieval Germany" dalam Regional Cuisines of Medieval Europe, hlm. 163.
  54. ^ Scully 1995, hlm. 70.
  55. ^ Adamson (2004), hlm. 19–24.
  56. ^ Adamson (2004), chapter 1
  57. ^ Scully (1995), hlm. 14.
  58. ^ Adamson (2004), hlm. 45.
  59. ^ Hans J. Teuteberg, "Periods and Turning-Points in the History of European Diet: A Preliminary Outline of Problems and Methods" in Food in Change, hlm. 18.
  60. ^ Adamson (2004), hlm. 46–7; Johanna Maria van Winter, "The Low Countries in the Fifteenth and Sixteenth Centuries" in Regional Cuisines of Medieval Europe, hlm. 198.
  61. ^ Adamson (2004), hlm. 30–33.
  62. ^ Simon Varey, "Medieval and Renaissance Italy, A. The Peninsula" in Regional Cuisines of Medieval Europe, hlm. 89.
  63. ^ The Rabbit and the Medieval East Anglian Economy, Mark Bailey
  64. ^ All Things Medieval: An Encyclopedia of the Medieval World, Ruth A Johnston, hlm. 19
  65. ^ Adamson (2004), hlm. 33–35.
  66. ^ Lankester, Edwin Ray (1970) [1915]. Diversions of a Naturalist. hlm. 119. ISBN 0-8369-1471-6. 
  67. ^ Adamson (2004), hlm. 164.
  68. ^ Edward Heron-Allen (1928), Barnacles in Nature and in Myth (edisi ke-reprinted in 2003), hlm. 10, ISBN 0-7661-5755-5, diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-23, diakses tanggal 2015-07-31 
  69. ^ Henisch (1976), hlm. 48–49.
  70. ^ Melitta Weiss Adamson, "The Greco-Roman World" in Regional Cuisines of Medieval Europe, hlm. 11.
  71. ^ Adamson (2004), hlm. 45–39.
  72. ^ Adamson (2004), hlm. 48–51
  73. ^ Scully (1995), hlm. 154–157.
  74. ^ Dembinska (1999), hlm. 80.
  75. ^ Scully (1995), hlm. 157.
  76. ^ Adamson (2004), hlm. 48–51.
  77. ^ Scully (1995), hlm. 138–39.
  78. ^ Scully (1995), hlm. 140–42.
  79. ^ Scully (1995), hlm. 143–44.
  80. ^ Scully (1995), hlm. 147–51.
  81. ^ B. M. S. Campbell, Mark Overton (1991), Land, labour, and livestock: historical studies in European agricultural productivity, hlm. 167
  82. ^ Quoted in Scully (1995), hlm. 152.
  83. ^ Scully (1995), hlm. 151–154.
  84. ^ Unger (2007), hlm. 54
  85. ^ Meski ada referensi tentang penggunaan hop dalam bir pada awal tahun 822; Eßlinger (2009), hlm. 11.
  86. ^ Hanson (1995), hlm. 9
  87. ^ Richard W. Unger, "Brewing" in Medieval Science, Technology and Medicine, hlm. 102–3.
  88. ^ John Locke (1693), "Some Thoughts Concerning Education", §16–19
  89. ^ "Recreating Medieval English Ales (a recreation of late 13th – 14th c. unhopped English ales)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-02-17. Diakses tanggal 2015-08-01. 
  90. ^ Scully (1995), hlm. 158–59.
  91. ^ Scully (1995), hlm. 162, 164–65
  92. ^ Quoted in Scully (1995), hlm. 162.
  93. ^ Scully (1995), hlm. 163–64.
  94. ^ Adamson (2004), hlm. 65. Sebagai perbandingan, perkiraan penduduk Britania pada 1340, tepat sebelum Maut Hitam, adalah 5 juta, dan pada 1450 hanya 3 juta; lihat J.C Russel "Population in Europe 500–1500" dalam The Fontana Economic History of Europe: The Middle Ages, hlm. 36.
  95. ^ Scully mencatat pentingnya penampilan pada masakan abad pertengahan, yang menghargai makanan yang dikuningkan dengan kuma-kuma; Scully (1995), hlm. 114. Lihat juga The Appetite and the Eye: Visual aspects of food and its presentation within their historic context. Anne Wilson (ed.) Edinburgh University Press, Edinburgh. 1991.
  96. ^ Dickie (2008), hlm. 63.
  97. ^ Adamson (2004), hlm. 15–19, 28.
  98. ^ Scully (1995), hlm. 86.
  99. ^ Adamson (2004), hlm. 11–15.
  100. ^ Scully (1995), hlm. 111–12.
  101. ^ Adamson (2004), hlm. 26–27.
  102. ^ Henisch (1976), hlm. 161–64.
  103. ^ Adamson (2004), hlm. 97.
  104. ^ Adamson (2004), hlm. 110.
  105. ^ Habeeb Saloum, "Medieval and Renaissance Italy: B. Sicily" in Regional Cuisines of Medieval Europe, hlm. 120–121.
  106. ^ Constance B. Hieatt, "Making Sense of Medieval Culinary Records: Much Done, But Much More to Do" in Food and Eating in Medieval Europe, hlm. 101–2
  107. ^ Menurut Paul Freedman, gagasan ini disajikan sebagai suatu fakta bahkan oleh beberapa ahli modern, terlepas dari kurangnya dukungan kredibel; Freedman (2008), hlm. 3–4
  108. ^ Scully (1995), hlm. 84–86
  109. ^ Scully (1995), hlm. 174
  110. ^ Toussanit-Samat (2009)
  111. ^ Mulon, "Deux traités d'art culinaire médié", Bulletin philologique et historique, 1958.
  112. ^ Naskah-naskah dari cetakan buku-buku awal jarang ada yang bertahan hingga sekarang, sebagaimana ditunjukkan hasil pemindaian bahan-bahan pengantar dalam Loeb Classical Library, dan buku bacaan anak yang lama termasuk koleksi langka.
  113. ^ Scully (1995), hlm. 7–9, 24–25.
  114. ^ Dalam ilmu botani modern, Allium dari Ashkelon di Palestina adalah bawang merah, A. ascalonensis (W.F. Giles, "Onions and other edible Alliums" Journal of the Royal Horticultural Society 68: (1943) pp 193–200.
  115. ^ Istilah generik pada zaman Romawi untuk buku masak, seperti Webster untuk kamus-kamus Amerika.
  116. ^ Daftar tersebut, bagaimanapun, mencakup silphium yang telah punah selama berabad-abad, sehingga mungkin saja disertakan semata-mata sebagai kesusastraan; Toussaint-Samat (2009), hlm. 434.

Referensi

  • Adamson, Melitta Weiss (editor), Food in the Middle Ages: A Book of Essays. Garland, New York. 1995. ISBN 0-85976-145-2
  • Adamson, Melitta Weiss (editor), Regional Cuisines of Medieval Europe: A Book of Essays. Routledge, New York. 2002. ISBN 0-415-92994-6
  • Adamson, Melitta Weiss, Food in Medieval Times. Greenwood Press, Westport, CT. 2004. ISBN 0-313-32147-7
  • Bynum, Caroline, Holy Feast and Holy Fast: The Religious Significance of Food to Medieval Women. University of California Press, Berkeley. 1987. ISBN 0-520-05722-8
  • Carlin, Martha & Rosenthal, Joel T. (editors), Food and Eating in Medieval Europe. The Hambledon Press, London. 1998. ISBN 1-85285-148-1
  • Carnevale Schianca, Enrico, La cucina medievale. Lessico, storia, preparazioni. Olschki, Firenze. 2011. ISBN 978-88-222-6073-4
  • Dembinska, Maria, Food and Drink in Medieval Poland: Rediscovering a Cuisine of the Past. translated by Magdalena Thomas, revised and adapted by William Woys Weaver. University of Pennsylvania Press, Philadelphia. 1999. ISBN 0-8122-3224-0
  • Dickie, John, Delizia! The epic history of the Italians and their food. 2008.
  • Dyer, Christopher, Everyday life in medieval England, Continuum International Publishing Group, 2000
  • Eßlinger, Hans Michael (editor), Handbook of Brewing: Processes, Technology, Markets. Wiley-VCH, Weinheim. 2009. ISBN 978-3-527-31674-8
  • Fenton, Alexander & Kisbán, Eszter (editors), Food in Change: Eating Habits from the Middle Ages to the Present Day. John Donald Publishers, Edinburgh. 1986. ISBN 0-85976-145-2
  • The Fontana Economic History of Europe: The Middle Ages. Fontana, London. 1972. ISBN 0-00-632841-5
  • Freedman, Paul Out of the East: Spices and the Medieval Imagination. Yale University Press, New Haven. 2008. ISBN 978-0-300-11199-6
  • Hanson, Davd J. Preventing alcohol abuse: alcohol, culture, and control. Greenwood Publishing Group, Westport. 1995. ISBN 0-275-94926-5
  • Harvey, Barbara F., Living and dying in England, 1100-1540: the monastic experience, Oxford University Press, 1993
  • Henisch, Bridget Ann, Fast and Feast: Food in Medieval Society. The Pennsylvania State Press, University Park. 1976. ISBN 0-271-01230-7
  • Hicks, Michael A., Revolution and consumption in late medieval England, Boydell & Brewer, 2001
  • Hunt, Edwin S. & Murray, James H., A history of business in Medieval Europe, 1200-1550. Cambridge University Press, Cambridge. 1999. ISBN 0-521-49923-2
  • Glick, Thomas, Livesey, Steven J. & Wallis, Faith (editors), Medieval Science, Technology, and Medicine: an Encyclopedia. Routledge, New York. 2005. ISBN 0-415-96930-1
  • (Prancis) Mulon, "Deux traités d'art culinaire médié", Bulletin philologique et historique. Comité des travaux historiques et scientifiques, Paris. 1958.
  • Scully, Terence, The Art of Cookery in the Middle Ages. The Boydell Press, Woodbridge. 1995. ISBN 0-85115-611-8
  • Toussant-Samat, Maguelonne, The History of Food. 2nd edition (translation: Anthea Bell) Wiley-Blackwell, Chichester. 2009. ISBN 978-1-4051-8119-8
  • Unger, Richard W., Beer in the Middle Ages and the Renaissance. University of Pennsylvania Press, Philadelphia. 2007. ISBN 978-0-8122-1999-9
  • Woolgar, C.M., Food in medieval England: diet and nutrition, Oxford University Press, 2006
  • Rambourg, Patrick, Histoire de la cuisine et de la gastronomie françaises, Paris, Ed. Perrin (coll. tempus n° 359), 2010, 381 pages. ISBN 978-2-262-03318-7

Pranala luar