Pengguna:FelixJL111/Test3
Sejarah
Periode prasejarah
Kepulauan Indonesia terbentuk melalui berbagai aktivitas tektonis yang sangat kompleks sejak awal masa Senozoikum (sekitar 66 juta tahun lalu) dan mulai mencapai bentuknya yang sekarang ketika memasuki kala Pleistosen (sekitar 2,58 juta tahun lalu).[1] Pada kala tersebut, permukaan laut global saat itu rata-rata lebih rendah 130 meter daripada permukaan laut global sekarang,[2] sehingga muncul Daratan Sunda (Sundaland) yang terhubung dengan daratan utama Asia dan saat ini mencakup Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan lautan-lautan di antaranya,[3][4] serta Benua Sahul yang saat ini mencakup Pulau Papua, Australia, dan Laut Arafura.[5][6] Kedua daratan tersebut diantarai oleh Kepulauan Wallacea yang saat ini mencakup Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku.[7] Sekitar 74.000 tahun yang lalu, letusan dahsyat berskala VEI-8 terjadi pada Gunung Toba (sekarang menjadi Danau Toba). Letusan tersebut konon menjadi letusan gunung berapi terbesar yang berhasil diteliti. Perubahan iklim yang ditimbulkannya diperkirakan menjadi penyebab populasi manusia modern dunia hampir seluruhnya musnah dan pergerakan migrasi manusia sempat terhenti pada subkala Pleistosen Akhir.[8][9] Lalu pada akhir periode glasial terakhir (sekitar 12.000 tahun lalu), permukaan laut naik setinggi 60 meter hanya dalam kurun waktu lima milenium.[10] Akibatnya, daratan yang lebih rendah terendam dan membentuk perairan dangkal, sementara daratan yang lebih tinggi terpisah-pisah menjadi pulau-pulau yang lebih kecil. Pulau-pulau tersebut membentuk kepulauan Indonesia seperti sekarang ini.[11]
Dari kumpulan fosil manusia purba Homo erectus (atau manusia Jawa) dan Homo floresiensis ("manusia Flores") yang pernah menetap di Indonesia, kuat dugaan bahwa kepulauan Indonesia telah dihuni oleh manusia purba tersebut sekurang-kurangnya antara dua juta sampai 500.000 tahun yang lalu. Manusia purba tersebut kemudian berangsur-angsur punah seiring dengan kedatangan manusia modern (Homo sapiens) di kepulauan Indonesia.[12][13]
Gelombang migrasi manusia modern pertama kali sampai di kepulauan Indonesia melalui jalur darat sekitar 60.000 tahun yang lalu. Gelombang pertama ini menjadi nenek moyang dari bangsa Melanesia.[14][15] Kemudian sekitar 3.500–1.500 SM, bangsa Austronesia yang berasal dari Taiwan tiba melalui jalur laut dan menetap di kepulauan Indonesia. Sebagian bangsa Melanesia yang telah ada lebih dahulu terdesak ke wilayah-wilayah timur jauh, sementara sebagian lagi berasimilasi dengan pendatang tersebut.[14][16][17] Manusia yang menetap tersebut kemudian mengembangkan budaya bercocok tanam dan melaut.[18]
Periode monarki
Kerajaan Hindu-Buddha
Kandis diduga merupakan kerajaan tertua di Nusantara (kepulauan Indonesia) yang berdiri pada abad ke-1 SM dan terletak di daerah yang saat ini menjadi wilayah Provinsi Riau, tetapi keberadaannya masih sering diperdebatkan oleh para sejarawan, karena tidak adanya bukti yang jelas atas kerajaan ini.[19] Keberadaan Salakanagara yang berdiri pada abad ke-1 Masehi di daerah sekitar Cianjur, Jawa Barat juga masih menjadi perdebatan oleh para ahli karena kurangnya bukti-bukti sejarah, meskipun kerajaan ini merupakan cikal bakal Tarumanagara.[19]
Dua kerajaan tertua Nusantara yang memiliki bukti-bukti sejarah adalah Kutai Martapura di wilayah Kalimantan Selatan saat ini dan Tarumanagara di wilayah barat Pulau Jawa, yang sama-sama berdiri pada abad ke-4 Masehi.[20] Kedua kerajaan tersebut dibuktikan memiliki corak Hindu-Buddha, sehingga dapat dipastikan bahwa Agama Hindu dan Agama Buddha telah berkembang di Nusantara sekurang-kurangnya dari abad ke-4 M.[21] Banyak kerajaan bercorak Hindu-Buddha lainnya yang kemudian terbentuk setelah itu.
Sriwijaya, yang berbentuk kedatuan dan bercorak Buddha, berdiri di Nusantara pada abad ke-7 Masehi, kemudian berkembang menjadi salah satu kemaharajaan terbesar di Nusantara, serta negara monarki dengan masa berdiri terlama di Asia Tenggara.[22] Pada masa kejayaannya, Sriwijaya melingkupi Sumatra, Malaya, Kra, Jawa, Kalimantan, Kamboja, dan Vietnam,[23] serta berkuasa dalam mengendalikan aktivitas pelayaran dan perdagangan di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran penting di dunia. Banyak budaya asing yang mempengaruhi dan berasimilasi dengan budaya-budaya lokal.[24] Sejak diperintah oleh Balaputradewa pada pertengahan abad ke-9, Sriwijaya juga berada di bawah kekuasaan Wangsa Sailendra.[25] Nama Sriwijaya diperkirakan mulai meredup dan runtuh pada awal abad ke-11 dan digantikan oleh Dharmasraya, lalu oleh Pagaruyung pada abad ke-14.[26]
Medang, yang diperintah oleh Wangsa Sailendra, berdiri di wilayah Jawa Tengah saat ini pada abad ke-8.[27][28] Pada abad ke-10, pusat pemerintahannya dipindahkan ke Jawa Timur dan para penguasa setelah kepindahan tersebut dikelompokkan dalam Wangsa Isyana.[29] Pada tahun 1016, Medang runtuh akibat pemberontakan yang menewaskan raja terakhir beserta banyak kerabatnya.[30] Airlangga, menantu raja tersebut, membangun ulang kerajaan dan mendirikan negara Kahuripan pada tahun 1019,[31] yang kemudian terpecah menjadi Kadiri dan Janggala pada tahun 1042. Janggala lalu ditaklukkan oleh Kadiri pada tahun 1135. Ken Arok dari Wangsa Rajasa kemudian menaklukkan Kadiri dan mendirikan Singasari pada tahun 1222. Singasari runtuh pada tahun 1292 akibat pemberontakan yang dipimpin oleh Jayakatwang (sisa Wangsa Isyana), tetapi berhasil ditumpas setahun kemudian oleh Raden Wijaya.[28][29]
Raden Wijaya dari Wangsa Rajasa mendirikan Majapahit yang bercorak Syiwa-Buddha pada tahun 1293, yang kemudian berkembang menjadi kemaharajaan terbesar di Nusantara dan juga di Asia Tenggara, serta menjadi negara agraris dan jalur perdagangan dunia.[32] Majapahit mencapai masa kejayaannya pada masa kejayaannya pemerintahan Hayam Wuruk dengan patihnya, Gajah Mada (terkenal dengan sunpahnya yang bernama Sumpah Palapa),[32] dengan wilayah kekuasaan meliputi Sumatra, Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua.[29] Majapahit mengalami kemunduran seiring menguatnya pengaruh Islam di Nusantara, lalu akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Demak pada tahun 1527.
Masih banyak negara bercorak Hindu-Buddha lain yang pernah berdiri di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang pernah berdiri di Kalimantan, misalnya, antara lain negara Tanjungpura, Kuripan, Nan Sarunai, Selimbau, Negara Dipa, dan Negara Daha. Kemudian, beberapa kerajaan Hindu-Buddha lainnya yang pernah ada di Jawa, misalnya Kalingga, Sunda, dan Kanjuruhan. Lalu, kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha lain yang pernah terbentuk di Sumatra, misalnya, yaitu negara Melayu, Tulang Bawang, Keritang, dan Jambu Lipo. Beberapa kerajaan bercorak Hindu-Buddha yang masih bertahan hingga masuknya kolonialisme di Nusantara adalah Blambangan di Pulau Jawa bagian timur jauh,[33] serta kerajaan-kerajaan Bali bekas Gelgel, yakni Klungkung, Buleleng, Karangasem, Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, Mengwi, dan Jembrana.[34]
Kesultanan Islam
Islam mulai dibawa masuk ke Nusantara oleh para pedagang dan para ulama berkebangsaan Arab, Persia, Gujarat, dan Tionghoa pada abad ke-7 Masehi.[35][36] Aceh menjadi pusat penyebaran agama Islam pertama di Nusantara,[37] serta menjadi lokasi negara kesultanan pertama yang pernah berdiri di Nusantara, yaitu negara Jeumpa yang berdiri pada abad ke-7 dan menguasai wilayah Kabupaten Bieruen saat ini.[38] Setelah Sriwijaya runtuh pada abad ke-11, Islam mulai menyebar ke berbagai daerah di Sumatra dan membuat beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Sumatra beralih menjadi kesultanan Islam. Aceh (berdiri pada tahun 1496) menjadi kesultanan terbesar di Pulau Sumatra yang mencapai masa kejayaannya di bawah perintah Iskandar Muda (1607–1636).[39] Kesultanan-kesultanan lain yang pernah berdiri di Sumatra adalah Peureulak, Lamuri, Linge, Samudera Pasai, Siguntur, Melaka, Pagaruyung, Jambi, Inderapura, Siak Sri Inderapura, Pedir, Daya, Sungai Pagu, Bungo Satangkai, Asahan, Serdang, Deli, Langkat, Palembang, Lingga, Kota Pinang, Pelalawan, Aru, Barus, Padang, Tamiang, dan Sekala Brak.[40]
Islam mulai diperkenalkan dan menyebar secara luas di kepulauan Indonesia lainnya pada abad ke-15.[41] Setelah keruntuhan Majapahit, kesultanan-kesultanan Islam Nusantara mulai berdiri dan berkembang pesat. Lumajang (berdiri pada akhir abad ke-13) diperkirakan merupakan kesultanan Islam yang paling tua meskipun belum ada bukti-bukti pendukung yang cukup.[42] Kesultanan pertama di Pulau Jawa yang dapat dibuktikan oleh para sejarawan adalah Demak dan Cirebon, yang sama-sama berdiri pada abad ke-15 dan menjadi salah satu negara terbesar di Jawa.[43][44] Mataram, yang didirikan pada tahun 1586 oleh Wangsa Mataram, juga menjadi salah satu negara berpengaruh di Jawa, sebelum akhirnya terpecah melalui Perjanjian Giyanti.[45][46] Beberapa kesultanan yang juga pernah berdiri di Jawa, yaitu Giri, Banten, Kalinyamat, Pajang, Sumedang Larang, Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Surakarta Hadiningrat.[47]
Beberapa kesultanan baru mulai berdiri di Kalimantan sejak abad ke-14 seiring dengan meningkatnya pengaruh Agama Islam. Beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Kalimantan yang kemudian beralih menjadi kesultanan Islam, misalnya Selimbau, Landak, dan Tanjungpura. Brunei berhasil mencapai masa kejayaannya pada abad ke-15 setelah menguasai seluruh pesisir Kalimantan.[48] Banjar (berdiri pada tahun 1520) berkembang menjadi salah satu negara terbesar di Pulau Kalimantan setelah menguasai pesisir selatan Kalimantan,[49] sebelum akhirnya menurun pada abad ke-18 dan dihapuskan oleh pemerintah kolonial pada tahun 1905.[50] Beberapa kesultanan lain yang juga berdiri di Kalimantan adalah Sintang, Mempawah, Kubu, Bangkalaan, Sanggau, Tayan, Kusan, Paser, Kotawaringin, Pagatan, Sambas, Kutai Kertanegara ing Martapura, Berau, Sambaliung, Gunung Tabur, Pontianak, Tidung, dan Bulungan.[47]
Islam diperkirakan mulai berkembang di Sulawesi pada abad ke-16 dan beberapa kerajaan bercorak Hindu-Buddha atau berkepercayaan tradisional berubah menjadi kesultanan.[51] Kesultanan terbesar di Pulau Sulawesi adalah persekutuan negara Gowa–Tallo, yang disebut Makassar oleh para ahli, yang ketika masa kejayaannya mencakup Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, hingga Australia. Beberapa kesultanan lainnya di Sulawesi adalah Bantaeng, Banggai, Buton, Bone, Gorontalo, Bolango, Konawe, Luwu, Tolitoli, Buol, Wajo, Muna, Palu, Parigi, Soppeng, Bungku, Siang, Bolaang Mongondow, Tawaeli, Balanipa, Alitta, Banawa, dan Bolangitang.
Dua kesultanan dengan pengaruh besar di Kepulauan Maluku adalah Ternate dan Tidore, yang berpusat di wilayah Maluku Utara saat ini.[52] Kedua kesultanan ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah, tetapi kemudian mengalami kemunduran semenjak diadu domba oleh bangsa asing dan akhirnya runtuh di tangan VOC.[53] Beberapa kesultanan yang juga pernah berdiri di Kepulauan Maluku, yaitu Jailolo, Bacan, Tanah Hitu, Iha, dan Huamual.
Selain daftar di atas, terdapat beberapa kesultanan yang pernah berdiri di Nusa Tenggara, seperti Bima, Sumbawa, Adonara, Dompu, Selaparang, Sanggar, dan Lamakera. Kemudian, contoh kesultanan di Pulau Papua adalah Sekar, Patipi, Fatagar, dan Kaimana. Kesultanan-kesultanan tersebut mulai menghilang seiring dengan masuknya bangsa-bangsa asing di Nusantara, terutama Belanda yang membentuk Hindia Belanda dan membubarkan hampir seluruh monarki di wilayah kolonialnya.[54]
Kerajaan Kristen
Kekristenan umumnya dibawa oleh para misionaris Barat yang menumpang pada kapal pemerintah kolonial. Katolik awalnya dibawa ke Nusantara oleh bangsa Portugis, sebelum akhirnya sempat dilarang penyebarannya oleh Pemerintah Belanda yang menguasai Hindia Belanda. Setelah Napoleon sempat menguasai Belanda, penyebaran Katolik menjadi lebih leluasa dan misionaris Katolik Belanda melanjutkan misi di Hindia Belanda.[55] Sementara itu, Protestantisme dibawa oleh misionaris Protestan yang juga berasal dari Belanda.[56]
Beberapa kerajaan bercorak Kristen muncul sewaktu para misionaris menyebarkan Kekristenan pada rakyat dan keluarga bangsawan di beberapa wilayah.[57] Kerajaan-kerajaan Kristen yang terbentuk di Pulau Sulawesi adalah Bolaang Mongondow, Manganitu, Manado, Moro, Siau, Soya, dan Tagulandang.[58] Kemudian, beberapa negara yang menjadi kerajaan Katolik adalah Amanatun, Larantuka, dan Sikka.[59]
Periode kolonial
Upaya kolonisasi oleh Portugal
Demi mencari rempah-rempah yang sulit didapatkan setelah jalur perdagangannya terputus akibat jatuhnya Konstantinopel ke tangan bangsa Turki Utsmani pada tahun 1453,[60] armada Portugis di bawah kepemimpinan Afonso de Albuquerque melakukan ekspedisi ke timur Eropa hingga sampai di negara Melaka dan memulai sejarah kolonialisme di Nusantara dengan menyerang dan menduduki negara itu.[61][62] Demak yang merasa terancam lalu mengirim armada laut ke Melaka pada tahun 1453 untuk menyerang balik armada Portugis, tetapi usahanya gagal.[62] Pada tahun 1512, Albuquerque mengirimkan armada laut yang dipimpin oleh António de Abreu dan Francisco Serrão menuju Kepulauan Maluku demi memonopoli perdagangan cengkih dan pala[63] Bayanullah (sultan Ternate saat itu) mengizinkan armada Portugis untuk membangun Benteng Kastela dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Ternate dengan imbalan bantuan militer, karena Ternate pada saat itu sedang bermusuhan dengan Tidore.[62]
Armada Spanyol yang melakukan ekspedisi ke barat Eropa melanjutkan ekspedisi di bawah kepemimpinan Juan Sebastián Elcano setelah kehilangan banyak pasukan di Filipina dan akhirnya tiba di Kepulauan Maluku pada tanggal 8 November 1521, tetapi kedatangannya ditentang oleh armada Portugis yang terlebih dahulu ada di sana dan menganggap Spanyol melanggar Perjanjian Tordesillas. Bangsa Spanyol bersekutu dengan Tidore untuk melawan Ternate dan Portugal.[64] Persaingan kubu Ternate–Portugal vs. Tidore–Spanyol berujung pada meletusnya perang antarkubu, yang berakhir dengan kekalahan kubu Tidore–Spanyol dan penandatanganan Perjanjian Zaragoza pada tanggal 22 April 1529, yang membuat armada Spanyol harus angkat kaki dari Maluku dan kembali ke Filipina.[65]
Sementara itu, armada Portugis ingin meneruskan ambisi memperbesar koloni di Nusantara dengan cara menguasai Selat Sunda dan akhirnya mereka membuat perjanjian dengan Prabu Surawisesa (raja Sunda saat itu) pada tahun 1522, yang mengizinkan pendirian benteng di Banten dan Sunda Kelapa bagi armada Portugis dengan imbalan bantuan militer untuk menghadapi Demak dan Cirebon. Namun, kerja sama tersebut tidak pernah terlaksana, karena armada yang dikirim untuk melaksanakan perjanjian itu terseret dalam badai topan di Teluk Benggala dan beberapa pasukan yang tiba di Sunda dengan selamat diserang oleh pasukan Fatahillah yang sedang menyerbu Sunda, sehingga armada Portugis akhirnya meninggalkan Selat Sunda.[63]
Setelah kepergian Spanyol, bangsa Portugis mulai mencoba untuk memperbesar pengaruh mereka, sementara Ternate mulai menyadari bahwa Portugal sudah terlalu banyak ikut campur urusan internal negara, terutama atas suksesi takhta. Tewasnya Khairun Jamil (sultan Ternate) oleh pasukan Portugis memantik kemarahan rakyat Ternate dan memicu Perang Ternate–Portugal. Ternate dan sekutunya berhasil memenangkan perang dan mengusir sebagian besar pasukan Portugis yang lari menuju Nusa Tenggara.[65] Pengaruh bangsa Portugis di Nusantara semakin berkurang setelah bangsa Belanda mulai masuk ke Nusantara dan akhirnya hanya tersisa di wilayah Pulau Timor bagian timur menurut Perjanjian Lisboa.[66]
Awal kolonisasi Belanda dan monopoli VOC
Berbekal rute pelayaran armada Portugis sebelumnya, armada kapal Belanda di bawah kepemimpinan Cornelis de Houtman memulai ekspedisi pertamanya untuk mencari rempah-rempah di Timur, hingga akhirnya sampai di Banten pada tanggal 27 Juni 1596, serta berhasil menyusuri pesisir utara Jawa hingga ke Bali dalam kurun waktu setahun. Tabiat buruk Houtman dan anak buahnya membuat mereka sering berseteru dengan penduduk lokal di sepanjang perjalanan, meskipun mereka akhirnya sukses membawa serta peti-peti berisi rempah dalam jumlah banyak kembali Belanda.[67] Pada tahun 1598–1600, para pedangang Belanda membentuk rombongan ekspedisi yang dipimpin oleh Jacob Corneliszoon van Neck agar dapat mengulang kesuksesan tersebut. Mereka berusaha menarik hati para penduduk dan penguasa lokal untuk tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan armada Portugis dan rombongan Houtman. Setelah itu, berbagai kapal milik para pedagang Belanda lainnya menyusul untuk memperoleh dan menguasai rempah-rempah di Nusantara.[67]
Dewan Negara Belanda membentuk suatu serikat dagang pada tanggal 20 Maret 1602bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) untuk mengurangi persaingan di antara para pedagang rempah Belanda. Dalam piagam "oktroi" (octrooi), VOC diperbolehkan untuk memiliki angkatan perang sendiri, mencetak mata uang sendiri, serta memonopoli perdagangan dan menekan penguasa-penguasa lokal di kawasan Nusantara.[68] Pada tahun 1603, VOC mulai membangun pos-pos perdagangan di Banten, Ambon, Jayakarta, dan lain-lain. Sejak tahun 1604, VOC bersaing ketat dengan armada Perusahaan Hindia Timur Britania (EIC) yang juga tiba di Nusantara demi tujuan yang sama.[69] Pada tanggal 19 Desember 1610, Pieter Both ditunjuk sebagai gubernur jenderal pertama di Nusantara, yang kemudian menetapkan Ambon sebagai pusat pemerintahan.[68] Pada tanggal 30 Mei 1619, Jan Pieterszoon Coen (gubernur jenderal yang baru) memerintahkan armada kapal VOC untuk menyerang Jayapura dan Banten, serta mendirikan Batavia yang kelak menjadi pusat pemerintahan. Pada tahun 1620, VOC dan EIC membuat perjanjian perdagangan rempah-rempah, tetapi hubungan tersebut putus sejak armada Inggris berangsur-angsur meninggalkan wilayah Nusantara setelah terjadinya Pembantaian Amboina terhadap beberapa orang Inggris pada tahun 1623.[70] Istilah "Hindia Belanda" (Nederlandsch-Indië) mulai digunakan di dalam dokumen resmi VOC sejak awal tahun 1620-an.[71] VOC menjadi badan usaha swasta yang sangat sukses selama abad ke-17 dan bahkan menjadi perusahaan terkaya di dunia pada tahun 1669. VOC lihai dalam melakukan politik adu domba antarkerajaan kecil dan memaksa para penguasa lokal untuk menandatangani perjanjian damai (misalnya Perjanjian Painan). VOC saat itu menguasai Pulau Jawa, Painan, Makassar, Manado, Pulau Seram, dan Pulau Buru.[72]
Pasukan Mataram pernah merencanakan penyerbuan ke markas VOC di Batavia sebanyak dua kali pada tahun 1628 dan 1629, tetapi akhirnya gagal karena kekurangan perbekalan.[73] Sebagai gantinya, VOC beberapa kali mencampuri urusan kerajaan di Mataram berkali-kali, seperti membantu dalam perang takhta melawan pasukan Amangkurat III pada tahun 1704–1708, membantu dalam perang takhta melawan kerabat raja yang memberontak pada tahun 1719–1723, serta ikut campur dalam rangkaian konflik antaranggota keluarga kerajaan Mataram pada tahun 1749–1757. Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) dan Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757) yang ditandatangani bersama pihak VOC membuat negara Mataram terpecah menjadi beberapa negara baru, yaitu Mangkunagaran, Yogyakarta, dan Surakarta.[74]
Mulai tahun 1730, kejayaan VOC mulai merosot akibat korupsi di tubuh VOC, ketidaksiapan dalam memenuhi permintaan pasar yang berubah, serta pergolakan yang terus-menerus terjadi di Eropa dan di Nusantara.[75] Pergolakan di Nusantara, misalnya, yaitu pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia pada tahun 1740 yang dikenal dengan peristiwa Geger Pacinan, yang kemudian memicu Perang Jawa (1741–1743) dan Perang Kuning (1750).[76] Lalu pada tahun 1771–1772, Perang Bayu pecah di Blambangan dan memakan korban jiwa yang sangat besar dari penduduk lokal dan pasukan VOC.[77] Setelah perang melawan Inggris (1780-1784) berakhir, VOC mengalami krisis finansial yang sangat buruk yang membuatnya hampir tidak dapat beroperasi. VOC diambil alih oleh Bataaf (penerus Belanda) sejak tanggal 1 Maret 1796 untuk mengatasi krisis tersebut, tetapi akhirnya gagal. Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC resmi berhenti beroperasi, sementara aset-asetnya (termasuk koloni VOC) diambil oleh Pemerintah Bataaf,[78] sebelum akhirnya jatuh ke tangan Prancis enam tahun kemudian.
Kolonisasi Belanda di bawah kendali Prancis
Napoleon Bonaparte yang menguasai Prancis pada saat itu membubarkan Bataaf (negara pengekor dari Prancis) dan mendirikan negara boneka Hollandia pada bulan Maret 1806, lalu menunjuk Louis (adiknya) sebagai raja pada tanggal 5 Juni.
Louis mengirimkan Herman Willem Daendels berkebangsaan Belanda sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan tiba di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808.[79][80] Daendels kemudian menerapkan aturan yang sangat keras dan kebijakan bertangan besi di Hindia Belanda sebagai persiapan menghadapi ancaman Britania Raya. Daendels membangun banyak fasilitas dan benteng pertahanan, seperti Jalan Raya Pos Anyar–Panarukan yang memakan banyak korban dari pekerja Heerendiensten,[81] Benteng Lodewijk di Surabaya, dan Paleis van Daendels (sekarang Gedung AA Maramis) di Batavia. Daendels juga keras terhadap para penguasa lokal dan keluarganya, serta menjadi penyebab jatuhnya negara Banten.[82] Gaya kepemimpinan tersebut tentu saja menimbulkan kesengsaraan pada penduduk lokal, sehingga pemberontakan yang dipimpin oleh Ronggo Prawirodirjo III akhirnya pecah di Pulau Jawa pada tanggal 20 November – 17 Desember 1810, tetapi cepat diredam oleh pasukan dari militer Hindia Belanda dan dari keraton Yogyakarta.[83]
Daendels turun dari jabatan pada tanggal 15 Mei 1811. Pada bulan Agustus 1811, Britania Raya menyerbu Pulau Jawa dan mengambil alih Hindia Belanda.[84]
Kolonisasi singkat Britania Raya
Armada gabungan Britania Raya dan EIC berangkat menuju Hindia Belanda pada tahun 1809 untuk merebut wilayah tersebut dari Prancis dan aknirnya berhasil menguasai Kepulauan Maluku setahun setelahnya.[85] Pada bulan Agustus 1811, armada Britania mulai menyerbu Pulau Jawa dan menduduki satu per satu pos milik Prancis dan Belanda di Jawa, hingga pasukan Jan Willem Janssens (Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu) yang lari dari Batavia akhirnya angka tangan di Salatiga. Pada tanggal 18 September, Belanda menyerahan kekuasaan atas Hindia Belanda kepada armada Britania melalui Perjanjian Tuntang.[86][87]
Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai Letnan Gubernur Jawa oleh pihak Britania Raya.[88] Raffles merombak aturan Belanda yang memberatkan penduduk lokal, seperti Heerendiensten dan perbudakan, tetapi sebagai gantinya menerapkan sistem land tenure (pajak sewa tanah yang dibayarkan oleh penduduk lokal kepada pemerintah kolonial sebagai "tuan tanah") serta menaikkan pajak perorangan. Raffles juga mengurangi hak-hak penguasa lokal dan membentuk pemerintahan yang lebih terpusat dengankeresidenan sebagai perpanjangan tangan pemerintah kolonial. Dari Buitenzorg (sekarang Istana Bogor), dia menjalankan tugasnya dengan dibantu oleh beberapa orang Britania sebagai petinggi dan tetap mempertahankan para pegawai negeri asal Belanda di tubuh pemerintahannya. Raffles berusaha bernegosiasi dengan para penguasa lokal untuk mencapai keuntungan bersama, tetapi melancarkan operasi militer kepada penguasa yang membangkang, seperti dalam peristiwa Geger Sepehi di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.[89][90] Raffles pun dikenal sebagai peminat sejarah, budaya, dan masyarakat Jawa yang berhasil menyingkap banyak situs kuno yang telah terkubur dan dilupakan pada saat itu, seperti Candi Prambanan (Sleman dan Klaten), Candi Borobudur (Magelang), dan situs-situs Trowulan,[91][92] yang kemudian ditulisnya dalam buku berjudul The History of Java yang terbit pada tahun 1817.[93] Selama pemerintahannya, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa meletus dengan dahsyat mulai pada tanggal 5 April 1815 dan mencapai puncak erupsi pada tanggal 10–11 April dengan perkiraan skala VEI-7, kemudian berangsur-angsur mereda hingga tanggal 17 April.[94][95] Erupsi ini menyebabkan 71 ribu korban jiwa,[94] serta mungkin menyebabkan tahun tanpa musim panas (1816) yang memakan korban belasan ribu jiwa.[96]
Pihak Belanda yang mulai lepas dari pengaruh Prancis menyetujui suatu perjanjian di London bersama pihak Britania pada tahun 1814, yang membuat Britania Raya harus mengembalikan koloni Belanda seperti tanggal 1 Januari 1803. Setelah peperangan Napoleon berakhir pada tahun 1815, Britania Raya menyerahkan kembali Pulau Jawa ke Belanda, yang berhasil memegang kendali penuh atas Pulau Jawa dan bagian-bagian koloni lain di Hindia Belanda setahun setelahnya. Pada tahun-tahun berikutnya, Belanda mengirimkan armada militernya untuk menaklukkan negara-negara lainnya di Nusantara.[97]
Oleh karena wilayah yang dikembalikan merupakan koloni Belanda sebelum tahun 1803, wilayah kolonial di Nusantara yang diklaim oleh Britania Raya dan bukan milik Belanda pada tahun itu secara otomatis masih menjadi milik Britania Raya, termasuk wilayah Bencoolen (sekarang Bengkulu). Raffles dikirim kembali ke Nusantara, tetapi kali ini sebagai Letnan Gubernur Bengkulu, kemudian melakukan ekspedisi ke berbagai tempat, seperti Padang, Achin (Aceh), Rhio (Riau), Melaka, dan Singapura, meskipun ia dan pasukannya beberapa kali berseteru dengan pasukan Belanda yang juga menginginkan wilayah yang sama.[98]
Perluasan wilayah kolonial Hindia Belanda
Setelah Perjanjian Inggris-Belanda pada tanggal 13 Agustus 1814 di London dan berakhirnya peperangan Napoleon, Belanda secara perlahan-lahan mengambil kembali koloninya satu per satu. Pada tanggal 28 Agustus, Belanda membentuk angkatan militer untuk Hindia Belanda yang bernama Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL).[99] Pada tahun 1816, Belanda berhasil mengambil alih seluruh koloni milik Belanda seperti sebelum peperangan Napoleon pecah. Setelah itu, Komisaris Jenderal Hindia Belanda, yaitu badan yang mengatur pengambilalihan wilayah Hindia Belanda, merestrukturisasi pemerintahan di Hindia Belanda dan membentuk Regeringsreglement (Peraturan Pemerintah) yang kemudian mengatur struktur pemerintahan Hindia Belanda selama beberapa dekade ke depan.[100] Peraturan ini menyiratkan pandangan politik yang disebut Pax Nederlandica, yaitu upaya Belanda untuk menguasai dan menduduki wilayah Nusantara dengan praktik kolonisasi yang lebih keras dan pembagian masyarakat ke dalam sistem kasta.[101] Sesuai pandangan tersebut, Belanda mulai mengerahkan KNIL ke wilayah-wilayah lain di Nusantara untuk memperluas wilayah Hindia Belanda.
Ekspansi koloni ke luar Pulau Jawa yang dilakukan oleh Belanda tentu saja mendapat perlawanan penduduk setempat yang diserang oleh armada Belanda.[102] Misalnya, pemberontakan yang dilancarkan oleh rakyat Maluku di bawah kepemimpinan Pattimura mulai pada bulan Mei 1817 terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat kecil. Pemberontakan tersebut berakhir dengan ditangkapnya Pattimura dan beberapa tokoh pejuang lainnya, yang kemudian dihukum gantung di depan Benteng Victoria di Ambon.[103] Lalu pada tahun 1819, Belanda melakukan ekspedisi untuk menguasai negara Palembang, yang disebut Perang Menteng, tetapi dikalahkan oleh pasukan Palembang yang dipimpin oleh Mahmud Badaruddin II, Sultan Palembang saat itu. Kemudian dua tahun setelahnya, Belanda kembali melakukan penyerangan ke Palembang, tetapi kali ini dengan taktik serangan tiba-tiba. Taktik tersebut berhasil mengecoh pasukan Palembang, sehingga Palembang akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh pasukan KNIL. Badaruddin dan keluarganya ditangkap lalu diasingkan ke Ternate, sementara negara Palembang resmi dihapuskan.[104]
Konflik di negeri suku Minangkabau, khususnya di negara Pagaruyung, antara kaum Padri (pendukung penegakan syariat Islam dalam tatanan adat Minangkabau) dan kaum Adat (pendukung adat dan tradisi murni Minangkabau) akhirnya memicu pecahnya Perang Padri yang pecah pada tahun 1803. Setelah Pagaruyung direbut oleh kaum Padri pada tahun 1815, kaum Adat yang terdesak kemudian meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang saat itu baru selesai menstabilkan pemerintahan kolonial di Hindia Belanda, dan akhirnya membuat suatu kesepakatan dengan pihak Belanda. Belanda mulai ikut ambil bagian dalam pertempuran sejak tahun 1821. Perlawanan kaum Adat bersama pasukan KNIL itu sempat mengalami kekalahan akhirnya melakukan gencatan senjata dengan pihak kaum Padri pada tahun 1825, setelah Belanda yang terpecah karena meletusnya Perang Diponegoro.[102][105]
Sementara itu, ekspansi yang dilakukan oleh Belanda juga mendapat perlawanan dari sesama bangsa Eropa, yaitu armada pasukan dari bangsa Inggris yang juga telah mengklaim beberapa wilayah di Nusantara. Perselisihan tersebut diawali dengan pembentukan Singapura sebagai tempat bermarkasnya pasukan Britania, yang ditentang oleh Belanda pada tahun 1819. Oleh karena didesak oleh para pedagang yang menginginkan kejelasan batas wilayah kolonial di Timur Jauh, pihak Belanda dan pihak Britania akhirnya mulai melakukan perundingan pada tanggal 20 Juli 1820. Meskipun begitu, perundingan kemudian ditunda pada tanggal 5 Agustus 1820. Perundingan dilanjutkan pada tanggal 15 Desember 1823, hingga akhirnya perundingan tersebut menghasilkan perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1824, juga di London. Secara garis besar, perjanjian ini menyebutkan bahwa Belanda akan melepaskan seluruh wilayah jajahannya di Semenanjung Malaka, Singapura, dan Anak Benua India kepada Britania Raya, tetapi sebaliknya, Britania Raya akan melepaskan seluruh wilayah jajahannya di Pulau Sumatra, Riau-Lingga (sekarang Kepulauan Riau), dan Banka-Biliton (sekarang Kepulauan Bangka Belitung) kepada Belanda.[100] Perjanjian tersebut secara tegas membagi wilayah kolonial di Nusantara menjadi Malaya Britania (diteruskan oleh Malaysia dan Singapura) dan Hindia Belanda (diteruskan oleh Indonesia). Perjanjian tersebut diratifikasi oleh Britania Raya pada tanggal 30 April 1824 dan oleh Belanda pada 2 Juni 1824. Kedua belah pihak kemudian bertemu kembali di London pada tanggal 8 Juni 1824 untuk saling menukarkan dokumen hasil ratifikasi.[100]
Selama perundingan tersebut, Belanda tetap melakukan misi kolonialisme dan imperialisme di Nusantara. Pada tahun 1823, pemberontakan di Pulau Kalimantan bagian barat oleh orang-orang Tionghoa, karena berselisih paham dengan pemerintah kolonial, berhasil diredam oleh KNIL.[106] Pada tahun 1824, pasukan KNIL yang dipimpin oleh Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen melawat ke negara Bone, yang sebelumnya melakukan hubungan kerja saja dengan Belanda setelah Perjanjian Bungaya, untuk merundingkan pembaruan pengakuan perjajian tersebut dengan pihak Bone. Namun, Bone ternyata ingin tidak ingin lagi melakukan kerja sama dengan pihak Belanda. Belanda yang tidak terima kemudian mengerahkan pasukan KNIL untuk menduduki Sulawesi, tetapi mereka mengalami kekalahan karena kekurangan pasukan, dan bahkan beberapa pos Belanda direbut oleh pasukan Bone. Pada tahun 1925, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan sejumlah besar pasukan beserta beberapa artileri untuk menangkap keluarga kerajaan Bone. Namun, sultan Bone dan pembesar-pembesarnya ternyata telah meninggalkan istana dan mengungsi ke pedalaman. Akibat peperangan yang pecah di Jawa dan Sumatra, pasukan pengejar dari KNIL terpaksa ditarik untuk menyelesaikan pertempuran.[107] Pasukan KNIL kembali dikerahkan setelah Perang Padri selesai pada tahun 1838, dan pada tahun yang sama, pihak Bone akhirnya menyerah dan bersedia mengakui kembali Perjanjian Bungaya.[108]
Di Jawa, pemerintah kolonial Belanda merencanakan pembangunan jalan di sekitar Yogyakarta pada bulan Mei 1825, dengan memasang patok-patok di setiap tanah yang akan dibangun jalan tersebut. Namun, jalan tersebut ternyata melewati lahan makam leluhur Diponegoro di Tegalrejo. Diponegoro yang marah karena keputusan sepihak Belanda, ditambah faktor-foktor lain seperti penindasan sewenang-wenang Belanda terhadap rakyat Jawa dan ikut campur Belanda dalam keluarga keraton, membuatnya mengerahkan pasukan dari rakyat jelata dan beberapa bangsawan yang simpatik untuk memberontak melawan Belanda dan Yogyakarta.[109] Awalnya, mereka menggunakan strategi gerilya yang berhasil mengecoh tentara KNIL. Sayangnya, pemerintah Belanda yang mulai menganggap serius perlawanan pasukan Diponegoro kemudian mengerahkan pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang berhasil melumpuhkan dan memukul mundur pasukan Diponegoro.[110] Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, pasukan KNIL di bawah komando Hendrik Merkus de Kock berhasil menjepit Diponegoro dan membuatnya menyerah. Hampir seluruh penguasa lokal di Jawa tunduk menyerah pada Belanda, sementara Diponegoro yang ditangkap kemudian diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar.[109]
Setelah Belanda menyelesaikan perang di Jawa tersebut, Belanda kembali melanjutkan Perang Padri di tanah Minangkabau pada tahun 1831, dengan memulai operasi militer melawan kaum Padri. Semua berjalan sesuai rencana, hingga kaum Adat, yang tanpa disadari oleh pihak Belanda, mulai bersekongkol dengan pihak kaum Padri dan berkhianat kepada Belanda pada tahun 1833, dengan menyerang beberapa kubu pertahanan dan garnisun Belanda.[111] Melihat hal ini, Belanda mulai menyadari bahwa mereka bukan hanya harus menghadapi kaum Padri, tetapi menghadapi orang Minangkabau secara keseluruhan. Sejak saat itu, Belanda mulai berusaha untuk menarik hati penduduk-penduduk sekitar sembari tetap menyerang pos-pos milik kaum Padri.[102][105] Setelah pertempuran demi pertempuran yang berkepanjangan, Perang Padri akhirnya berakhir pada tanggal 28 Desember 1838,[112] setelah seluruh benteng milik kaum Padri jatuh ke tangan Belanda dan negara Pagaruyung runtuh. Wilayah bekas kerajaan tersebut diserap ke dalam wilayah kolonial Hindia Belanda.[100]
Setelah peperangan dan ekspedisi yang dilakukan oleh KNIL, Hindia Belanda telah mencakup sebagian besar Pulau Jawa, pantai barat Sumatra, Pulau Sumatra bagian selatan, Pulau Bangka dan Pulau Belitung, Makassar dan sekitarnya, bagian ujung utara Pulau Sulawesi, Maluku bagian tengah, dan Kupang. Namun akibatnya, keuangan Belanda semakin menjadi carut-marut dan nyaris di ambang kebangkrutan. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat pada saat itu, yaitu Johannes van den Bosch, mengeluarkan kebijakan yang disebut Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) pada tahun 1830, yang pada intinya mengharuskan pribumi (inlander) memberikan 20% tanah pertanian untuk ditanami tanaman komoditas ekspor Belanda, atau memaksa petani untuk bekerja di tanah pertanian milik pemerintah selama 60 hari per tahun.[113] Kebijakan tersebut terbukti berhasil menstabilkan kas pemerintah kolonial Belanda dan memajukan jumlah ekspor Hindia Belanda ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan ekspor masa VOC, sehingga Belanda terlepas dari jeratan kebangkrutan dan bahkan mampu membayar lunas utang-utang yang tersisa setelah VOC bangkrut. Walaupun demikian, kebijakan tersebut justru membuat keadaan penduduk lokal di Hindia Belanda semakin lama semakin terpuruk, hingga bencana kelaparan hebat dan wabah penyakit bermunculan pada tahun 1840-an.[114] Perlawanan dari rakyat kecil dan bahkan dari para pedagang yang menginginkan sistem pasar bebas akhirnya menghilangkan kebijakan ini pada tahun 1870-an.
Sementara kebijakan Cultuurstelsel diberlakukan, Belanda juga masih tetap melakukan ekspedisi dan penyerangan ke wilayah-wilayah luar Jawa untuk memperluas cakupan wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1831, Belanda mulai mengirimkan pasukan KNIL untuk menyerang wilayah pesisir bagian barat di Sumatra, sebagai respons dari kenekatan orang-orang Aceh yang menduduki pos-pos milik Belanda di wilayah tersebut.[115] Setahun kemudian, Amerika Serikat (AS) juga mengirimkan pasukan ke Aceh, terutama daerah Kuala Batee, untuk membantu pasukan KNIL, karena merasa dirugikan setelah penduduk Kuala Batee merompak kapal Friendship milik AS dan membantai anak buah kapal tersebut.[116] Pertempuran berhenti setelah orang-orang Aceh menyerah.
Akibat kebijakan Cultuurstelsel, rakyat Batipuh yang dihasut oleh oleh Datuk Pamuncak kemudian melakukan pemberontakan terhadap Belanda, yang dimulai pada tanggal 22 Februari 1841. Pemberontakan tersebut menyulut pemberontakan lain di seputar daerah suku Minangkabau, hingga ke kawasan Fort de Kock (sekarang di Bukittinggi) dan Fort Van der Capellen (sekarang di Batusangkar). Dalam pemberontakan tersebut, beberapa tentara KNIL dari kalangan Belanda dan pribumi tewas.[117] Pemberontakan berhasil diredam seminggu setelahnya oleh Andreas Victor Michiels. Setelah pemberontakan tersebut, penduduk Batipuh dihukum kerja paksa.[118]
Pada tahun 1846, Hindia Belanda mengerahkan pasukan KNIL ke negara Buleleng di Bali utara untuk menguasai daerah tersebut, dengan dalih bahwa pihak Buleleng tidak mengindahkan kerja sama dengan pihak Belanda dan bahwa pihak Belanda menentang hak tawan karang milik raja-raja Bali, yaitu hak merampas kapal yang karam di wilayah Bali beserta muatannya, yang dianggap melanggar hukum internasional. Belanda mulai menguasai wilayah Buleleng dan Karangasem dengan kekuatan militer, hingga akhirnya tentara KNIL menduduki Singaraja, ibu kota Buleleng pada awal tahun 1848. Orang Bali utara bersedia untuk menandatangani perjanjian dan membiarkan Belanda mendirikan markas di Buleleng.[119] Namun, setelah KNIL kembali ke Jawa, orang Bali melanggar perjanjian tersebut dan bahkan melakukan penyerangan di bawah komando I Gusti Ketut Jelantik, seorang patih Buleleng. Pasukan KNIL kembali dikerahkan untuk menumpas pemberontakan pada pertengahan tahun 1848, tetapi pasukan Buleleng, yang berpindah markas ke Jagaraga setelah pasukan KNIL berlabuh di Bali, kali ini berhasil mengalahkan dan mengusir tentara KNIL.[119] Belanda yang tidak terima kemudian mengirimkan armada dengan jumlah pasukan yang jauh lebih besar di bawah komando Andreas Victor Michiels. Kali ini, mereka memilih menyerang melalui gabungan jalur laut dan darat. Buleleng yang dengan cepat dikuasai oleh tentara KNIL membuat sejumlah orang Buleleng melakukan ritual bunuh diri massal (puputan), yang saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Jagaraga.[119] Sisa pasukan Buleleng kemudian melarikan diri ke negara-negara lain, salah satunya Karangasem. Namun, wilayah Karangasem akhirnya juga dikuasai dengan mudah berkat bantuan dari pasukan dari orang-orang dari Pulau Lombok, yang bermusuhan dengan Karangasem. Dalam penyerangan ke Karangasem, Jelantik beserta I Gusti Ngurah Made Karangasem, raja Buleleng saat itu, gugur dalam pertempuran, sementara I Gusti Ngurah Gede Karangasem, raja Karangasem saat itu dan saudara sepupu dari Made Karangasem, melakukan puputan.[120] Pasukan KNIL kembali mengejar pasukan Bali yang melarikan diri ke Jembrana dan Klungkung. Namun, pengejaran ini terbukti tidaklah mudah bagi KNIL yang dihadang oleh pasukan Bali dari negara-negara selatan, yang kemudian diperparah dengan terbunuhnya Michiels dalam serangan mendadak di Kusamba, Klungkung.[121] Pihak Belanda dan pihak negara-negara Bali yang tidak menginginkan adanya pertumpahan darah lebih lanjut akhirnya menyetujui Perjanjian Kuta pada tahun 1850, yang membuat Hindia Belanda berhak memonopoli perdagangan di kerajaan-kerajaan Bali, sementara Buleleng dan Jembrana jatuh ke tangan Belanda, serta Karangasem menjadi negara vasal Belanda yang dikuasai oleh orang-orang Lombok, terutama oleh orang Bali-Mataram.[120]
Dalam beberapa tahun ke depannya, Belanda lebih gencar lagi melakukan penaklukan di beberapa wilayah Nusantara. Pada tahun 1850–1854, Belanda melakukan penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa di Pulau Kalimantan bagian barat yang menolak membayar pajak dan melawan pemerintah kolonial.[122] Pada tahun 1851–1859, Hindia Belanda mengirimkan tentara KNIL untuk menaklukkan sisa-sisa pengikut negara Palembang yang telah runtuh.[122] Antara tahun 1855–1864, Belanda melancarkan beberapa penyerbuan ke Pulau Nias untuk menaklukkan daerah tersebut.[122] Pada tahun 1858, Belanda memadamkan pemberontakan di Bali yang dikepalai oleh I Gusti Nyoman Ide Gempol. Pasukan pemberontak tersebut ditangkap dan Gempol diasingkan.[123] Kemudian pada tahun 1859, Bone kembali memberontak dan berperang melawan pemerintah kolonial. Pasukan KNIL yang dikerahkan untuk melakukan agresi militer awalnya gagal menaklukkan Bone karena banyaknya prajurit KNIL yang tewas dan pasukan ditarik untuk sementara waktu, tetapi setahun setelahnya, pasukan KNIL yang lebih besar dikerahkan dan Bone berhasil ditundukkan. Sebagian wilayah Bone direbut oleh Belanda dan menjadi wilayah Hindia Belanda.[122]
Perebutan takhta Banjar di antara Tamjidillah II (ditunjuk menjadi sultan Banjar oleh Belanda) dan Hidayatullah II (diangkat sebagai mangkubumi pada saat itu) membuat rakyat Banjar terpecah. Pada awal 1859, Perang Banjar di antara kedua kubu pendukung masing-masing tokoh tersebut meletus, dengan KNIL memposisikan diri di pihak Tamjidillah. Tetapi tidak lama kemudian, Tamjidillah turun takhta pada bulan Juni 1859, dan karena Belanda melihat bahwa tidak ada penerus yang dapat menggantikan posisinya, maka Belanda secara sepihak membubarkan negara Banjar. Namun, rakyat Banjar mengangkat Hidayatullah sebagai sultan Baru, lalu ia memimpin rakyat dari suku Banjar dan Dayak untuk memberontak terhadap pemerintahan kolonial. Setelah beberapa tahun bertempur melawan Belanda, pada bulan Maret 1862, Hidayatullah menyerah kepada pasukan KNIL dan kemudian diasingkan ke Cianjur. Antasari diangkat pemimpin pemerintahan tertinggi Banjar dan melanjutkan kepemimpinan pasukan pemberontakan. Namun setelah beberapa bulan, ia meninggal karena penyakit cacar pada tanggal 11 Oktober 1862. Pada tahun 1863, Belanda menetapkan bahwa perang telah berakhir, tetapi beberapa pemberontakan sporadis yang dipimpin oleh Muhammad Seman masih terjadi hingga kematiannya pada tahun 1905.[124]
Pada tahun 1864–1868, pemerintah Hindia Belanda mengirimkan pasukan KNIL untuk menaklukkan suku Basemah yang meneror Palembang dan Benkoelen (Bengkulu).[125] Kemudian pada tahun 1868, pihak Belanda dan pihak Britania Raya kembali berembuk untuk menentukan wilayah-wilayah kolonial tambahan yang belum disepakati dalam perjanjian tahun 1824. Pada tanggal 8 September 1870, dua perjanjian Inggris-Belanda ditandatangani,[126] salah satunya merupakan Perjanjian Siak yang berisi persetujuan pengintegrasian wilayah Siak Sri Inderapura ke dalam wilayah Hindia Belanda.[127] Sebenarnya pihak Belanda juga ingin memasukkan wilayah Aceh ke dalam klausa perjanjian, tetapi niat tersebut dihalangi oleh pihak Britania yang menginginkan wilayah Pantai Emas Belanda di Benua Afrika, yang saat itu dikuasai oleh Belanda, sebagai gantinya.[126] Dewan Perwakilan Belanda menolak meratifikasi Perjanjian Siak, sehingga pihak Belanda dan pihak Britania kemudian melakukan perembukan ulang. Pada tanggal 2 November 1871, kedua pihak menandatangani Perjanjian Sumatra, yang juga menambahkan klausa penggabungan Aceh dan seluruh Pulau Sumatra ke dalam wilayah Hindia Belanda, selain klausa-klausa yang telah disepakati dalam Perjanjian Siak.[126][128]
Setelah perundingan tersebut, Belanda mengerahkan pasukan untuk menyerang dan menguasai Aceh pada tahun 1873. Di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler dan Eeldert Christiaan van Daalen, pasukan KNIL berlabuh di Aceh dan mulai menyerang wilayah tersebut pada bulan Maret, tetapi sebulan kemudian, Belanda terpaksa menarik pasukan tersebut karena kurangnya persiapan.[129] Pada akhir tahun yang sama, Belanda kembali menyerang, kali ini, dengan jumlah pasukan yang sangat besar. Pada bulan Januari 1874, pengikut setia, keluarga kerajaan Aceh, dan Sultan Aceh saat itu, Mahmud Syah, yang tidak sanggup membendung pasukan KNIL akhirnya melarikan diri dari Kutaraja (sekarang Banda Aceh), ibu kota negara Aceh, dan bersembunyi di pedalaman. KNIL yang tidak menyia-nyiakan kesempatan ini langsung menduduki Banda Aceh dan mengumumkan secara sepihak pembubaran negara Aceh dan pengintegrasian wilayah Aceh ke dalam Hindia Belanda. Setelah Mahmud Syah meninggal karena penyakit kolera tidak lama setelah ia melarikan diri, Muhammad Daud Syah diangkat sebagai sultan dan pemimpin pejuang Aceh. Pasukan Aceh yang bersembunyi masih melancarkan beberapa perlawanan kecil terhadap pasukan Belanda yang menguasai Kutaraja.[102] Pada dekade 1880-an, para ulama yang juga ikut dalam pasukan Aceh melawan Belanda, khususnya tokoh Teungku Chik di Tiro, mulai mempropagandakan Perang Aceh sebagai perang jihad melawan pasukan Belanda yang dipandang sebagai "para penjajah kafir", sehingga peperangan ini mulai dipandang sebagai simbol perlawanan umat Muslim terhadap imperialisme Barat.[130]
Kedatangan Belanda ke negeri suku Batak dengan maksud untuk menguasai wilayah tersebut sekaligus melakukan misi Kristen di tanah Batak membuat rakyat setempat, khususnya Sisingamangaraja XII, merasa terancam dengan kehadiran mereka. Pada tanggal 16 Februari 1878, Perang Batak antara pasukan Batak di bawah komando Sisingamangaraja dengan pasukan KNIL meletus. Pasukan Sisingamangaraja menyerang pasukan KNIL di pos-pos pertahanan milik Belanda. Pada bulan Desember, pasukan Sisingamangaraja membentuk aliansi dengan para pejuang dari Aceh yang juga sedang berperang dengan Belanda kala itu dan mereka bersama-sama melakukan taktik gerilya untuk menyulitkan Belanda. Selama satu dekade setelahnya, pertemputan antara pasukan Sisingamangaraja dan pasukan KNIL berjalan seimbang. Pasukan Sisingamangaraja berhasil merebut beberapa pos pertahanan milik Belanda, sementara Belanda menangkap dan menyiksa prajurit dari pasukan Sisingamangaraja. Pada tahun 1889, Belanda yang mulai melihat jalan buntu dalam peperangan tersebut akhirnya mengirimkan pasukan dengan jumlah yang lebih banyak lagi. Sejak saat itu, pasukan Sisingamangaraja mulai mengalami kekalahan dan jumlah prajurit semakin berkurang, hingga pada tanggal 17 Juni 1907, Korps Marechaussee te Voet (Marsose) dari KNIL berhasil mengepungnya dan sisa pasukannya di suatu desa bernama Sionom Hudon. Sisingamangaraja bersama kedua putranya gugur dalam pertempuran tersebut.[131][132]
Selagi Belanda memperluas wilayah kolonial Hindia Belanda, bencana berupa letusan dahsyat Gunung Krakatau terjadi pada tahun 1883. Sebenarnya, aktivitas seismik yang intens telah tercatat mulai dari beberapa tahun sebelumnya. Mulai pada tanggal 20 Mei 1883, Perbuwatan, yang merupakan puncak utara Gunung Krakatau, mengeluarkan asap dan uap yang kuat, yang terbawa hingga ke Batavia (sekarang Jakarta). Mulai pada tanggal 16 Juni, erupsi yang lebih kuat dengan awan dan kabut asap berwarna hitam tebal keluar dari Krakatau, dan pada tanggal 24 Juni, kawah baru, yang terbentuk di antara Perbuwatan dan Danan karena erupsi kuat tersebut, juga mulai mengeluarkan erupsi, sehingga kedua erupsi membentuk seperti dua pilar awan hitam yang besar. Pada awal bulan Agustus, pilar ketiga terbentuk dari erupsi Danan, sementara beberapa kawah kecil di sekitanya, yang mengeluarkan asap dan uap dalam jumlah banyak, terbentuk beberapa hari setelahnya, sehingga vegetasi di sekitar Gunung Krakatau mulai rusak dan hancur.[133] Pada tanggal 25–26 Agustus, erupsi semakin intens dan dahsyat, hingga menimbulkan tsunami kecil. Akhirnya, empat letusan sangat dahsyat yang menandakan puncak erupsi gunung berapi ini terjadi pada tanggal 27 Agustus. Letusan ketiga, yang menjadi letusan terkuat di antara keempatnya, menghasilkan suara dengan intensitas hingga 180 dB[134] Sedemikian lantangnya suara tersebut sehingga gendang telinga sebagian besar awak kapal RMS Norham Castle milik Britania Raya, yang kebetulan sedang berlayar di perairan Sumatra dekat Kepulauan Krakatau, pecah karena gelombang suara yang hebat, dan bahkan suara mirip tembakan meriam masih dapat terdengar dari Perth di Australia dan Pulau Rodrigues dekat Mauritius.[135] Tiap letusan menghasilkan tsunami yang mencapai tinggi hingga 30 m, yang menyebar hingga sampai ke Benua Afrika dalam bentuk gelombang yang relatif besar dan Selat Inggris dalam bentuk gelombang kecil.[133][136] Seluruh vegetasi di sekitar Selat Sunda rata dengan tanah akibat awan panas dan gelombang tsunami,[137] sementara korban manusia yang berjatuhan akibat letusan gunung dan tsunami berjumlah sekitar 36 ribu jiwa.[138] Setelah letusan dahsyat keempat tersebut, dua pertiga bagian utara Pulau Rakata runtuh ke dasar laut, serta menyisakan sepertiga bagian selatan pulau dan tebing curam yang merupakan sisa kaki Puncak Rakata yang tidak runtuh.[133] Setelah letusan dahsyat tersebut, erupsi berkurang secara drastis hingga dinyatakan selesai pada bulan Oktober 1883, meskipun aktivitas seismik masih terasa di sekitar daerah tersebut hingga bulan Februari 1884. Letusan ini diperkirakan berkontribusi pada musim dingin vulkanis yang terjadi selama empat tahun setelah letusan terjadi dan pemandangan-pemandangan langit spektakuler yang diakibatkan oleh abu vulkanik.[139]
Belanda tetap memperluas wilayah tundukan mereka di wilayah Aceh sedikit demi sedikit, termasuk di antaranya adalah daerah Meulaboh pada tahun 1883. Teuku Umar, sebagai penguasa lokal di Meulaboh, tunduk dan berdamai dengan pihak Belanda, sehingga ia dipercaya sebagai pemimpin pasukan yang membantu KNIL dalam perang melawan pasukan Aceh. Namun, penyerahan diri tersebut ternyata merupakan siasat Umar untuk mengelabui Belanda. Ketika Belanda kembali menyatakan perang terbuka dengan para pejuang gerilya Aceh pada tahun 1884, Umar dan pengikutnya merampok kapal dan senjata yang dipercayakan Belanda kepadanya dan membagikannya kepada para pejuang Aceh, sementara seluruh tentara dan awak kapal Belanda mereka habisi. Sejak saat itu, Teuku Umar ikut berperang bersama pejuang kesultanan melawan pasukan KNIL. Belanda menjadikan Umar sebagai buron dengan uang imbalan yang besar.[140] Setelah berperang melawan Belanda selama kurang lebih satu dekade, pada bulan September 1893, Umar yang melihat bahwa perang yang berkepanjangan tersebut membuat rakyat kesulitan akhirnya berusaha sekali lagi mengelabui Belanda dengan menyerahkan dirinya dan beberapa anak buahnya kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan bahkan bersandiwara seakan-akan ia sangat setia kepada Belanda. Hal ini bahkan mengelabui istri sekaligus teman seperjuangannya, Cut Nyak Dhien. Umar bergabung ke dalam dinas militer Belanda, dan dalam kurun waktu tiga tahun Umar mempelajari taktik dan siasat perang Belanda, mengumpulkan pasukan dan persenjataan, berhubungan dengan pejuang-pejuang Aceh lainnya secara diam-diam, serta mengirimkan uang dan gaji yang diterimanya kepada pasukan Aceh. Pada tanggal 30 Maret 1896, Umar menyatakan diri keluar dari dinas militer dan berbalik mendukung pejuang Aceh, setelah ia membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang dalam jumlah besar.[141] Hal ini membuat pemerintah kolonial pusat sangat marah, sehingga Belanda melancarkan operasi militer besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar, tetapi para pejuang Aceh yang kini telah dilengkapi persenjataan yang didapat dari Belanda sendiri membuat pasukan KNIL kewalahan menangani mereka. Teuku Umar muncul sebagai kepala armada yang menyatukan pasukan-pasukan Aceh yang terpecah-pecah dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Joannes Benedictus van Heutsz, komandan pasukan KNIL yang melawan Aceh saat itu, akhirnya menggunakan mata-mata untuk melacak lokasi dan stategi perang Umar. Setelah mendapat kabar bahwa Umar akan menuju ke Meulaboh, Heutsz menyusun strategi serangan tiba-tiba untuk menangkap pasukan Umar. Akhirnya pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda berhasil menangkap pasukan Umar, sementara Teuku Umar sendiri gugur dalam penyerangan tersebut. Cut Nyak Dhien kemudian melanjutkan kepemimpinan Umar dalam melawan pasukan Belanda.[140]
Sementara berperang melawan pasukan Aceh dan Batak, Belanda tetap melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah Nusantara lainnya demi perluasan wilayah kolonial Hindia Belanda. Pada tahun 1970-an, Belanda berhasil menguasai Jawa, hampir seluruh Pulau Sumatra, Kupang, pesisir selatan Pulau Kalimantan, Makassar dan sekitarnya, Manado dan sekitarnya, serta sebagian besar Kepulauan Maluku. Penaklukan tersebut tentu saja menimbulkan gejolak perlawanan dan pemberontakan. Pada tahun 1885, penduduk Jambi melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan membunuh beberapa pejabat dan tentara Belanda, serta menyerang kapal-kapal Belanda yang berlabuh di pesisir Jambi. Pemberontakan dapat diredam setelah pemerintah kolonial mengirimkan beberapa armada kapal untuk menundukkan para pemberontak.[142] Kemudian pada tahun 1888, para petani Banten, khususnya petani yang mendiami Cilegon dan sekitarnya yang mengalami kesengsaraan akibat bencana dan wabah penyakit, melakukan pemberontakan terhadap Belanda dengan melakukan kerusuhan di kediaman para pejabat Belanda, tetapi pemberontakan tersebut dengan cepat diredam oleh pasukan KNIL dalam waktu beberapa hari.[143]
Pada tahun 1891, rakyat suku Sasak yang mayoritas beragama Islam melakukan pemberontakan terhadap kelompok Bali-Mataram (orang-orang suku Bali yang mendiami Pulau Lombok) beragama Hindu Bali yang telah menguasai seluruh Pulau Lombok sejak tahun 1839.[144] Pemberontakan tersebut dapat diredam oleh pasukan Bali-Mataram yang memiliki persenjataan yang lebih modern. Melihat bahwa pemberontakan yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, pada bulan Februari 1894, pihak Sasak mengirimkan utusan untuk meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda. Belanda yang melihat konflik ini sebagai kesempatan untuk memperluas pengaruh di Bali dan Lombok akhirnya membantu pihak Sasak dengan melakukan blokade perdagangan dan memberi perintah agar orang-orang Bali-Mataram menyerah.[145] Namun, kelompok tersebut tidak mengindahkan ancaman tersebut, sehingga Belanda akhirnya turun tangan dengan mengirimkan pasukan ke Pulau Lombok pada bulan Juli 1894. Pada bulan Agustus, pasukan Bali-Mataram menentang kehadiran Belanda dengan menyerang pasukan KNIL secara tiba-tiba, hingga akhirnya pasukan tersebut harus menarik diri karena kehilangan banyak prajurit.[146] Pada bulan November, Belanda kembali mengirimkan pasukan KNIL dengan jumlah yang lebih besar ke Lombok. Pasukan tersebut dengan cepat berhasil menundukkan seluruh perlawanan dari orang-orang Bali-Mataram, sebagian terbunuh dalam pertempuran, sebagian memilih melakukan ritual puputan, dan sebagian menyerahkan diri.[144] Akhirnya, Karangasem dan Pulau Lombok menjadi wilayah kolonial Hindia Belanda, dan seluruh kekayaan kerajaan direbut oleh Belanda.[145] Belanda kembali melanjutkan usaha penaklukannya di Bali, sehingga tidak lama kemudian, negara Bangli and Gianyar menyerah kepada Belanda, sementara negara-negara di Bali selatan masih tetap bertahan.[147]
Antara tahun 1891–1892, Christiaan Snouck Hurgronje, seorang peneliti Dunia Barat melakukan penelitian atas budaya dan penduduk di tanah Aceh. Hurgronje menyimpulkan bahwa Belanda sebaiknya mengurangi operasi militer melawan orang Aceh dan membuang fokus mereka terhadap sultan, serta sebaliknya harus menaruh perhatian mereka untuk membentuk praktik spionase yang terorganisasi dan juga menarik hati para ulèëbalang, yaitu pemegang kekuasaan lokal di Aceh. Namun, ia juga memperingatkan bahwa beberapa kaum ulama tidak dapat diajak kerja sama dan hanya dapat ditundukkan dengan kekerasan.[148] Joannes Benedictus van Heutsz, gubernur militer atas pasukan KNIL yang menyerang Aceh, mulai mengimplementasikan saran Hurgronje tersebut dalam kebijakan-kebijakannya, yaitu dengan menawarkan suatu kemudahan perdagangan dan jaminan jabatan tetap sebagai penguasa wilayah kepada para ulèëbalang yang tunduk kepada Belanda. Kebijakan tersebut terbukti berhasil dengan mulusnya kegiatan ekspedisi pasukan Belanda ke Pedir (sekarang Pidie) pada tahun 1897–1898,[149] serta ekspedisi Belanda ke daerah Idi pada bulan Juli 1898.[150] Beberapa ulèëbalang yang menyerahkan diri kemudian menjadi mata-mata bagi Belanda untuk melacak para pejuang Aceh.[151] Kegiatan spionase mereka memberi andil terhadap keberhasilan pasukan KNIL dalam mengepung dan menggugurkan Teuku Umar pada tahun 1899, serta menangkap tokoh-tokoh Aceh yang penting, seperti Muhammad Daud Syah, Panglima Polem, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud pada tahun 1903. Dengan tertangkapnya tokoh-tokoh penting tersebut, Belanda menyatakan bahwa Perang Aceh telah selesai.[130] Pada tahun 1904, Belanda melakukan operasi militer besar-besaran ke tanah Gayo, Alas, dan Batak, serta ke daerah-daerah lainnya yang masih melakukan perlawanan. Sekitar tiga ribu jiwa penduduk Aceh tewas dalam operasi ini.[152] Berkat keberhasilannya dalam "membawa kedamaian" di tanah Aceh, Heutsz dianggap sebagai pahlawan di negeri Belanda dengan gelar "Pembawa Perdamaian Aceh", serta diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Pemerintah Belanda pada tahun yang sama, yaitu tahun 1904.[151] Sementara itu, Cut Nyak Dhien, yang juga melakukan perlawanan terpisah, ditangkap oleh Belanda pada tanggal 4 November 1905.[153] Meskipun Belanda telah menyatakan bahwa perang telah usai, beberapa tokoh ulama Aceh masih tetap melakukan perlawanan, dengan tanah Gayo sebagai pusat perlawanan, hingga mereda sekitar tahun 1913–1914.[154]
Keberhasilan Belanda dalam menyelesaikan Perang Aceh yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade tersebut juga mendorong semangat pemerintah kolonial Belanda untuk menundukkan negara-negara merdeka lainnya yang masih tersisa di Nusantara.[151] Belanda berhasil melakukan ekspedisi untuk menguasai wilayah di daerah Kerinci (September 1903) serta menduduki wilayah Sulawesi bagian selatan dan membubarkan negara Gowa dan Bone (1905).[155] Pada tanggal 15 Juni 1908, pemberontakan yang dilakukan oleh penduduk Kamang melawan Pemerintah Hindia Belanda pecah dan menyebar ke daerah-daerah lain di Keresidenan Pesisir Barat Sumatra, seperti Manggopoh dan Lintau Buo. Pemberontakan tersebut terjadi akibat penerapan pajak (belasting) yang memberatkan masyarakat, sehingga pemberontakan ini disebut juga Perang Belasting. Pemerintah meresponsnya dengan mengirimkan korps marsose KNIL yang mampu menundukkan semua gelombang pemberontakan tersebut dalam waktu sehari.[156]
Belanda yang telah berhasil menaklukkan Bali bagian utara mulai melakukan penyerangan ke negara-negara selatan yang masih bertahan melawan pengaruh Belanda. Pada tanggal 27 Mei 1904, kapal sekunar asing bernama Sri Kumala terdampar di perairan Sanur dan dijarah oleh orang-orang Bali menurut adat tawan karang Bali. Belanda menggunakan alasan ini untuk mengultimatum Badung, Tabanan, dan Klungkung agar menyerah.[157] Akhirnya pada bulan September 1908, Belanda mengirimkan armada dan pasukan KNIL untuk menyerang kerajaan-kerajaan tersebut, Ketika pasukan tiba di negara Badung, Rakyat Badung yang tidak gentar melihat musuk kemudian menyerang pasukan mereka bersama I Gusti Ngurah Made Agung, raja mereka saat itu. Beberapa penduduk lokal juga melakukan ritual puputan atau melempari pasukan dengan perhiasan dan koin untuk mengolok-olok mereka. Kisah heroik raja dan rakyat Badung tersebut saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Badung.[157] Setelah negara Badung berhasil ditundukkan, pasukan KNIL melanjutkan penyerangannya ke Tabanan, tetapi raja dan pengikutnya pun melakukan ritual puputan di dalam kurungan.[158] Setelah itu, pasukan Belanda pergi ke Klungkung dan mempertimbangkan untuk menyerang Dewa Agung Jambe II, penguasa Klungkung dan penguasa nominal seluruh Bali saat itu, tetapi mengurungkan niat mereka setelah Dewa Agung menyerah dan setuju untuk menandatangani perjanjian dengan Belanda.[157] Belanda akhirnya mampu menguasai seluruh Pulau Bali. Namun, monopoli yang dilakukan oleh Belanda di tanah Bali akhirnya menimbulkan pemberontakan dari Dewa Agung, sebagai penguasa nominal Bali, dan pengikut-pengikutya pada bulan April 1908. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan pihak Belanda, sementara Dewa Agung terbunuh dan pengikut-pengikutnya melakukan puputan, yang saat ini dikenal dengan peristiwa Puputan Klungkung.[159]
Berkat peperangan demi peperangan yang telah dimenangkan oleh pasukan Belanda serta keberhasilan penundukan daerah-daerah yang memberontak kepada pemerintah kolonial, sebagian besar wilayah di Nusantara dapat dianeksasi ke dalam wilayah kolonial Hindia Belanda. Akibatnya, beberapa penguasa negara berdaulat (pada saat itu) yang takut akan kekuatan militer Belanda, seperti penguasa-penguasa di negara Tidore di Maluku, Pontianak di Kalimantan, dan Palembang di Sumatra, menyerah kepada Kerajaan Belanda demi menghindari penaklukan atas wilayahnya oleh pasukan Belanda dan agar mereka mampu merundingkan perjanjian damai yang lebih baik di bawah kekuasaan kolonial. Pada tahun 1920-an, wilayah barat Pulau Papua dimasukkan ke dalam kelola administrasi kolonial Belanda, sehingga sejak masa ini Hindia Belanda telah mencakup seluruh wilayah yang kelak menjadi negara Republik Indonesia modern.[151]
Pergerakan nasional bangsa Indonesia
Dipelopori oleh Conrad Theodore van Deventer, seorang ahli hukum Belanda yang menuliskan esai pada tahun 1899 mengenai utang budi Belanda kepada penduduk pribumi Hindia Belanda, dan Pieter Brooshooft, seorang jurnalis yang menuliskan tentang ketidakadilan yang terjadi di tanah Hindia Belanda, maka pada tanggal 17 September 1901, Wilhelmina, Ratu Belanda pada saat itu, mengumumkan kebijakan politik yang sangat kontras dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Belanda sebelumnya, yaitu Politik Etis.[160] Kebijakan ini pada dasarnya membayar utang budi kepada para pribumi di Hindia Belanda dengan menjalankan program Trias van Deventer, yang sejalan dengan ide-ide yang dikemukakan oleh Deventer, yaitu perbaikan dan pengembangan sistem irigasi, pelaksanaan program transmigrasi dari Pulau Jawa yang semakin padat, serta pembukaan sekolah-sekolah demi meningkatkan taraf pendidikan para pribumi.[161] Sementara program transmigrasi dan irigasi akhirnya terbukti tidak berjalan secara optimal, meskipun program edukasi (pendidikan) tersebut hanya menguntungkan kaum priayi (elite pribumi),[160] kebijakan tersebut telah memberikan sumbangsih terhadap kemunculan gerakan-gerakan nasionalis di tanah Hindia Belanda.
Pada tahun 1907, Wahidin Soedirohoesodo, seorang alumnus dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia, mengunjungi almamaternya itu dan menggagaskan kepada para pelajar di sana suatu organisasi yang mampu mendukung biaya pendidikan kedokteran bagi orang-orang pribumi yang berprestasi tetapi tidak mampu secara finansial. Usul ini menarik perhatian beberapa pelajar di sana, sehingga Soetomo dan Soeradji Tirtonegoro mengumpulkan Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Goenawan Mangoenkoesoemo, Raden Angka Prodjosoedirdjo, Mohammad Saleh, Raden Mas Goembrek, dan Soewarno untuk mewujudkan organisasi usulan Wahidin tersebut. Organisasi yang mereka namakan Boedi Oetomo (EYD: "Budi Utomo") ini terbentuk pada tanggal 20 Mei 1908, yang saat ini dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Nasional Indonesia. Dalam waktu 5 bulan, organisasi ini berhasil menerima 1.200 anggota, dan mereka berfokus pada masalah sosial, pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan seputar masyarakat Pulau Jawa, Madura, dan Bali.[162] Dalam perjalanan waktu, organisasi ini mengalami berbagai kesulitan karena pencapaian organisasi yang dinilai lamban dan jangkauan organisasi yang tidak terlalu luas. Organisasi ini juga berusaha untuk tidak menyentuh ranah politik, meskipun dalam perkembangannya, organisasi ini diikuti oleh cukup banyak tokoh-tokoh politik.[163] Pada akhirnya, Boedi Oetomo bergabung dengan beberapa kelompok-kelompok kedaerahan lain dan membentuk Partij Indonesia Raja (EYD: "Partai Indonesia Raya").[164]
Sarekat Dagang Islam berdiri pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Samanhudi,[165] atau menurut versi lain oleh Tirto Adhi Soerjo pada tanggal 27 Maret 1909.[166] Meskipun tanggal pendirian sarekat ini tidak begitu jelas, organisasi tersebut diketahui telah beroperasi secara penuh sejak kantor cabang Batavia (sekarang Jakarta) dan Buitenzorg (sekarang Bogor) mulai terbentuk sejak tanggal 5 April 1909.[166] Awalnya, serikat ini didirikan sebagai wadah bagi pedagang-pedagang Muslim agar dapat bersaing dengan para pedagang Tionghoa, yang pada saat itu memiliki status sosial dan privilese yang lebih tinggi.[167] Oemar Said Tjokroaminoto, seorang nasionalis yang bergabung dengan serikat ini dan kemudian ditunjuk menjadi ketua, mengubah nama serikat ini menjadi Sarekat Islam pada tahun 1912, dengan tujuan agar organisasi ini tidak hanya berkecimpung di ranah perdagangan tetapi juga di ranah-ranah lain, seperti keagamaan.
Sementara itu, Ernest Douwes Dekker, seorang Indo yang vokal dalam mengkritik pemerintah kolonial, mencanangkan pembentukan suatu organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan dan hak-hak kaum Indo dan pribumi melalui jalur politik. Ia kemudian mengajak tokoh Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, yang tertarik dengan visi dan pandangan Dekker, untuk bersama-sama mewujudkan idenya tersebut. Dalam rapat-rapat umum (vergadering) yang dimulai sejak tanggal 15 September 1912 sebagai persiapan pembentukan partai, pidato Dekker untuk menarik massa tersebut berhasil menarik perhatian ribuan orang dari berbagai kalangan dan daerah. Sebagian besar dari mereka merupakan orang-orang yang tidak memenuhi syarat keanggotaan serta tidak cocok dengan visi dan misi dari organisasi lain seperti Boedi Oetomo dan Sarekat Islam.[168] Akhirnya pada tanggal 25 Desember 1912, partai tersebut didirikan oleh Dekker, Tjipto, dan Soewardi, yang saat ini dikenal sebagai Tiga Serangkai, beserta tokoh-tokoh pribumi dan Indo lainnya, dengan nama Indische Partij (Partai Hindia). Belum sempat partai ini berkembang, keabsahan dan status badan hukum atas partai ini ditolak sepenuhnya oleh pemerintah Hindia Belanda, meskipun para pengurus partai telah beberapa kali mengajukan peninjauan ulang atas penolakan tersebut kepada pemerintah. Oleh karena itu, partai ini secara otomatis menjadi organisasi ilegal, sehingga pimpinan partai dengan berat hati membubarkan partai ini pada tanggal 31 Maret 1913.[169]
Setelah Indische Partij bubar pun, beberapa tokoh pejuang, seperti Tiga Serangkai, masih terus menyuarakan kritik terhadap pemerintah secara vokal melalui media cetak seperti De Expres. Pada tanggal 12 Juli 1913, De Expres memuat rancangan pembentukan Comite Boemi Poetera (EYD: "Komite Bumiputra") yang menyuarakan pencabutan Regeringsreglement 1854 Pasal 111 tentang pembatasan hak berorganisasi bagi pribumi, yang menjadi penyebab organisasi Indische Partij ditolak.[170] Keesokan harinya, koran yang sama memuat sebuah tulisan Ki Hadjar Dewantara yang berjudul Als Ik een Nederlander was ("Seandainya aku seorang Belanda"). Tulisan ini tentu saja menggemparkan para pejabat Belanda yang mulai khawatir akan gerak-gerik Tiga Serangkai yang dinilai mampu menciptakan pemberontakan. Tidak cukup sampai situ, Tjipto kemudian menulis artikel berjudul Kracht en Vrees ("Kekuatan dan Ketakutan") yang diterbitkan pada tanggal 27 Juli, sementara Soewardi menuliskan artikel baru yang kali ini berjudul Een voor allen en allen voor een ("Satu untuk semua dan semua untuk satu") dan diterbitkan dua hari setelah artikel Tjipto tersebut. Kedua artikel tersebut pada intinya mengkritik dan mengolok-olok pemerintah kolonial yang menyengsarakan penduduk setempat. Akibat tulisan tersebut, Tjipto dan Soewardi ditangkap dengan dakwaan mengganggu keamanan dan ketertiban umum di Hindia Belanda.[171] Penangkapan tersebut membuat Dekker, yang merupakan rekan seperjuangan mereka, menuliskan kritik terhadap penangkapan kedua tokoh tersebut dan dukungan atas mereka dalam artikel berjudul Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat ("Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat") yang diterbitkan pada 5 Agustus. Akibat artikel tersebut dan fakta bahwa ia adalah rekan seperjuangan mereka, Dekker juga ikut ditangkap oleh pasukan Belanda.[172] Pada tanggal 18 Agustus, pemerintah kolonial mengeluarkan putusan bahwa Tiga Serangkai akan diasingkan ke negara Belanda.[173]
Pada tanggal 23 Mei 1914, Henk Sneevliet, seorang komunis, membentuk suatu serikat pekerja yang bernama Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV; harfiah: "Perhimpunan Demokrat Sosial Hindia"), yang didukung oleh Partai Buruh Demokrat Sosial Belanda (SDAP), dengan tujuan menyebarkan paham-paham komunisme, khususnya marxisme, untuk membangkitkan semangat menentang pemerintah kolonial.[174] Tetapi pada tahun 1917, ISDV memisahkan diri dari SDAP. Tidak lama kemudian, ISDV yang awalnya didominasi oleh orang-orang Belanda mulai haluan, sehingga kelompok ini didominasi oleh kaum pribumi. Pada bulan Mei 1920, ISDV berganti nama menjadi Persarekatan Kommunist India (EYD: "Perserikatan Komunis Hindia") dan semakin melebarkan sayap mereka.[175] Organisasi ini mengganti namanya kembali pada tahun 1924, kali ini menjadi Partij Kommunist Indonesia (EYD: "Partai Komunis Indonesia"; PKI).[175]
Lama-kelamaan, Sarekat Islam akhirnya tetap melebarkan sayapnya hingga masuk ke ranah politik. Di saat yang sama, paham-paham komunisme mulai masuk melalui tokoh-tokoh muda mereka, yaitu melalui anggota-anggota yang tertarik dengan visi dan pandangan Sneevliet dari ISDV, seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin. Organisasi ini kemudian terpecah menjadi dua kubu, yaitu "SI Merah" yang berhaluan komunisme (sayap kiri) dan "SI Putih" yang menentang paham tersebut (sayap kanan).[176] Pada bulan Oktober 1921, para petinggi Sarekat Islam menyatakan bahwa anggota SI tidak boleh memiliki keanggotaan rangkap dengan organisasi lain, sehingga anggota-anggota dari Partij Kommunist Indonesia, Mohammadijah (EYD: "Muhammadiyah"), Persatoean Islam (EYD: "Persatuan Islam"), dan organisasi-organisasi lainnya dikeluarkan dari Sarekat Islam karena menolak melepaskan keanggotaan rangkap tersebut. Tokoh-tokoh PKH (turunan ISDV), seperti Semaoen dan Darsono terpaksa angkat kaki dari Sarekat Islam.[177] Pada tahun 1923, nama organisasi ini diubah menjadi Partai Sarekat Islam, mengukuhkan posisi organisasi ini sebagai partai politik. Pada tahun 1929, namanya diubah kembali menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia untuk memperjelas tujuan memperjuangkan kemerdekaan nasional sebagai tujuan partai.[178]
Awalnya dibentuk pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) oleh Soetan Kasajangan Soripada dan Noto Soeroto sebagai wadah pemersatu para pelajar Hindia di perantauan Belanda, sejak tokoh Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat dari Tiga Serangkai masuk menjadi anggota perkumpulan ini pada tahun 1913, Indische Vereeniging juga mulai digunakan sebagai forum untuk bertukar pendapat dalam ranah politik.[179] Pada bulan September 1922, perkumpulan ini secara resmi mengganti namanya menjadi Indonesische Vereeniging, menjadikan perkumpulan ini sebagai organisasi pertama yang resmi menggunakan nama "Indonesia". Indonesische Vereeniging secara resmi berkecimpung dalam ranah politik dengan tujuan mempropagandakan kemerdekaan Hindia Belanda. Pada tahun 1925, perkumpulan ini berganti nama menjadi Perhimpoenan Indonesia (EYD: "Perhimpunan Indonesia"), yaitu menggunakan terjemahan bahasa Melayu ejaan van Ophuijsen dari nama sebelumnya sebagai nama resmi organisasi tersebut.[180]
Selain organisasi-organisasi pergerakan nasional tersebut, beberapa gerakan kepemudaan juga muncul untuk menampung kebutuhan berorganisasi para pemuda dari kelompok etnik atau identitas tertentu di Hindia Belanda, seperti Jong Bataksbond (Persatuan Batak Muda), Jong Sumatranenbond (Persatuan Orang Sumatra Muda), Jong Java (Jawa Muda), Sekar Roekoen (EYD: "Sekar Rukun"), Jong Islamietenbond (Persatuan Muslim Muda), Jong Ambon (Ambon Muda), Jong Minahasa (Minahasa Muda), Jong Celebes (Sulawesi Muda), Pemoeda Kaoem Betawi (EYD: "Pemuda Kaum Betawi"), dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (EYD: "Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia").[181] Meskipun demikian, banyaknya kelompok-kelompok yang bersifat kedaerahan melahirkan gagasan bahwa kelompok-kelompok tersebut harus berkumpul dan mendiskusikan kerja sama di antara kelompok-kelompok tersebut, yang sebenarnya memiliki cita-cita kebebasan yang sama. Pada tanggal 30 April hingga 2 Mei 1926, gerakan-gerakan kepemudaan (minus Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia, karena kedua organisasi tersebut belum terbentuk saat itu) mengadakan suatu kongres para pemuda, yang saat ini disebut Kongres Pemuda I, yang dipimpin oleh Mohammad Tabrani di Vrijmetselaarsloge ("Loji Tarekat Mason Bebas", saat ini menjadi Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Rapat pertama yang diadakan pada tanggal 30 April membahas tentang pentingnya kerja sama dan persatuan antarperhimpunan kepemudaan dan berbagai cara melepaskan diri dari penjajah. Kemudian rapat kedua pada tanggal 1 Mei membahas tentang pentingnya peran perempuan dalam perjuangan mencapai kebebasan dan kemerdekaan. Lalu rapat ketiga pada hari terakhir membahas tentang bahasa persatuan dan agama.[182][183] Pada pertemuan hari terakhir itulah, Mohammad Jamin dari Jong Sumatranenbond mengemukakan usulnya untuk menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, meskipun kemudian dikritik oleh Tabrani yang menginginkan agar bahasa persatuan disebut bahasa Indonesia.[184] Di akhir pertemuan, mereka sepakat bahwa seluruh rakyat dan gerakan perjuangan Hindia Belanda perlu menanamkan semangat kemerdekaan dan persatuan sebagai cita-cita bersama.[182] Dalam kongres ini, istilah "Indonesia" mulai diperkenalkan untuk menggantikan identitas Hindia Belanda.
Partij Kommunist Indonesia (PKI) mengadakan rapat pleno pada bulan Mei 1925 untuk merundingkan rencana pemberontakan demi menggulingkan pemerintahan kolonial.[175] Dibuka dengan mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja kereta api, pemberontakan tersebut dimulai pada tanggal 12 November 1926 di Labuan dengan menyerang para pegawai pemerintah di kediaman masing-masing. Penyerangan tokoh-tokoh pejabat tersebut kemudian meluas ke wilayah-wilayah Keresidenan Banten, Batavia, Priangan, Kediri, Banyumas, Pekalongan, dan Kedu. Mulai keesokan hari hingga tanggal 8 Desember, pasukan militer KNIL mulai diturunkan untuk menangkap para pemberontak yang beraksi di Jawa, terutama di daerah Banten yang menjadi tempat pecahnya pemberontakan yang paling sengit.[185] Sementara di Pulau Sumatra, pemberontakan dilakukan oleh para anggota PKI mulai pada malam hari tanggal 31 Desember 1926 di Silungkang, kemudian menyebar ke wilayah-wilayah Minangkabau lainnya di Keresidenan Pesisir Barat Sumatra. Pada Hari Tahun Baru keesokan harinya, pasukan militer mulai dikerahkan untuk menangkap pemberontak PKI di Minangkabau. Pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatra akhirnya benar-benar dapat dipadamkan pada tanggal 28 Februari 1927.[185][186] Akibat pemberontakan tersebut, PKI ditetapkan sebagai organisasi terlarang di Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial, sehingga kegiatan operasional PKI harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh para anggotanya.
Kembali ke Kerajaan Belanda, pada tahun 1926, Mohammad Hatta diangkat sebagai Ketua Perhimpoenan Indonesia dan sejak dalam kepemimpinannya, organisasi ini semakin gencar menyuarakan dukungan terhadap pergerakan nasional dan mengutuk penindasan pihak pemerintah kolonial di Hindia Belanda.[187] Pada Desember 1926, Semaoen menemui Hatta untuk menawarkan kerja sama pergerakan nasional. Namun, Hatta tidak dapat menyetujui paham komunisme, sehingga kerja sama batal, meskipun pembatalan tersebut mendapat pertentangan dari anggota-anggota yang telah terpapar paham komunisme dalam Perhimpoenan Indonesia.[188] Pada tanggal 23 September 1927, Hatta beserta tiga anggota organisasi lainnya ditangkap dan diadili karena diduga terlibat dalam pemberontakan PKI yang terjadi di Jawa dan Sumatra. Selama di dalam sel tahanan, Hatta menyusun suatu pidato pembelaan diri yang kemudian ia bacakan di depan hakim sidang pledoi pada tanggal 9 Maret 1928. Pidato tersebut kemudian menjadi terkenal dan diberi nama Indonesië Vrij ("Indonesia Merdeka").[189] Setelah ditahan selama beberapa bulan, Hatta dan ketiga orang lainnya yang ditangkap tersebut akhirnya dibebaskan dari tuduhan pada tanggal 22 Maret karena kurangnya bukti.[190] Pada tahun 1931, Hatta mundur dari jabatan sebagai ketua agar di dapat lebih berfokus pada pendidikannya, tetapi Hatta tetap berkomitmen akan membantu urusan internal organisasi. Namun, keputusan tersebut membuka kesempatan bagi para komunis yang menjadi anggota organisasi untuk menguasai Perhimpoenan Indonesia. Tidak lama kemudian, Hatta bersama beberapa tokoh berpaham nasionalisme lainnya dikeluarkan dari organisasi dan Perhimpoenan Indonesia akhirnya menjadi sebuah "organisasi boneka" di bawah Partai Komunis Belanda.[190]
Terinspirasi oleh Indonesische Studieclub (Kelompok Studi Indonesia) yang dibentuk oleh Soetomo sewaktu menjadi pengajar di Nederlandsch-Indische Artsen School ("Sekolah Dokter Hindia Belanda", sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga) di Surabaya pada tahun 1924,[191] Soekarno, yang pada saat itu tengah mengenyam pendidikan tinggi di Technische Hoogeschool te Bandoeng ("Sekolah Tinggi Teknik di Bandung", sekarang Institut Teknologi Bandung), mendirikan suatu kelompok yang terdiri dari mahasiswa sekolah teknik tersebut pada bulan November 1925, yang diberi nama Algemeene Studieclub (Kelompok Studi Umum). Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno bersama Tjipto Mangoenkoesoemo, Sartono, dan Iskaq Tjokrohadisoerjo, mendirikan Persarekatan National Indonesia (EYD: "Perserikatan Nasional Indonesia"), sementara Algemeene Studieclub dilebur oleh Soekarno ke dalam organisasi ini. Pada bulan Mei 1928, organisasi ini mengganti namanya menjadi Partij National Indonesia (EYD: "Partai Nasional Indonesia"; PNI) sekaligus memaklumkan tujuan partai, yaitu memperjuangkan kebebasan ekonomi dan kemerdekaan politik atas wilayah Hindia Belanda tidak melalui kerja sama dengan rezim kolonial Belanda.[192] Pertumbuhan anggota PNI yang signifikan membuat pemerintah kolonial merasa terancam, sehingga pada bulan Desember 1929, Soekarno dan beberapa petinggi partai ditangkap dan diadili dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum dan persekongkolan untuk menggulingkan pemerintah kolonial. Dalam suatu sidang pledoi pada tanggal 18 Agustus 1930 di Landraad Bandung (sekarang Gedung Indonesia Menggugat), Soekarno memberikan pembelaan dirinya di hadapan hadirin sidang dalam bentuk sebuah pidato, yang saat ini dikenal dengan nama Indonesia Menggugat.[193][194]
Setelah mengadakan kongres tahun 1926, gerakan-gerakan kepemudaan tersebut kembali merencanakan kongres lanjutan sejak bulan Agustus 1928. Mereka bersepakat bahwa kongres tersebut, yang saat ini disebut Kongres Pemuda II, akan diadakan pada tanggal 27–28 Oktober 1928 di tiga gedung berbeda di Batavia, serta akan diketuai oleh Soegondo Djojopoespito. Para perwakilan yang mengikuti kongres ini bukan saja berasal dari perhimpunan-perhimpunan kepemudaan, tetapi juga dari kelompok-kelompok berbasis nasionalisme dan agama serta kelompok-kelompok belajar dari tempat pengajaran tertentu.[195] Rapat pertama berlangsung pada tanggal 27 Oktober pukul 19.30–23.30 waktu setempat di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Persatuan Anak Muda Katolik),[a] serta membahas mengenai gagasan wadah nasional dan cara mempererat hubungan antarkelompok demi persatuan dan kesatuan nasional. Dalam rapat ini, Moehammad Jamin kembali mempromosikan bahasa Melayu (dalam bentuk "bahasa Indonesia") sebagai bahasa persatuan.[195] Rapat kedua berlangsung pada keesokan harinya pukul 8.00–12.00 di Oost-Java Bioscoop (Bioskop Jawa Timur),[b] dan membahas mengenai peran penting pendidikan dalam membantu mewujudkan cita-cita kemerdekaan.[195] Rapat ketiga berlangsung pada hari yang sama pukul 17.30–23.30 di Indonesische Clubhuis/Clubgebouw ("Gedung Perkumpulan Indonesia", sekarang Museum Sumpah Pemuda), serta membahas tentang kepanduan (pramuka) dan rangkuman seluruh rapat dalam kongres tersebut. Di sela-sela rapat terakhir kongres ini, lagu "Indonesia Raja" (EYD: "Indonesia Raya"), yang kelak menjadi lagu kebangsaan Indonesia, diperdengarkan untuk pertama kalinya melalui gesekan biola oleh penggubah lagu tersebut, yaitu Wage Rudolf Soepratman, di hadapan seluruh hadirin rapat, yang terharu oleh lantunan nada biola Soepratman. Oleh karena permintaan hadirin yang menginginkan agar lagu "Indonesia Raja" dinyanyikan dengan lirik, Dolly Salim, putri sulung Agoes Salim, ditunjuk untuk menyanyikan lagu ini dengan perubahan kata merdeka menjadi moelia untuk menghindari pemboikotan kongres oleh aparat pemerintah kolonial yang menjaga kongres ini.[198] Akhirnya, sebagai penutup dan untuk menyimpulkan hasil kongres tersebut, Soegondo membacakan suatu naskah resolusi yang dibuat oleh Jamin di depan para peserta kongres dan resolusi tersebut disetujui dan menjadi ikrar bagi seluruh peserta kongres yang hadir. Ikrar tersebut saat ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda, yaitu kesatuan pengakuan para pemuda sebagai "bangsa Indonesia pada tanah air Indonesia yang berbahasa Indonesia". Sejak keputusan tersebut, gerakan-gerakan nasional di Hindia Belanda mulai menggunakan nama "Indonesia" sebagai identitas mereka.[199]
Sejak pimpinan PNI ditangkap, aktivitas partai menjadi lumpuh. Sementara Soekarno dan tokoh-tokoh petinggi PNI lainnya mendapat putusan hukuman penjara pada sidang vonis tanggal 22 Desember 1930,[200] pada bulan yang sama, beberapa anggota PNI memisahkan diri dan bersama Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta membentuk organisasi baru yang bernama Pendidikan National Indonesia (EYD: Pendidikan Nasional Indonesia), yang disebut "PNI Baru". Berbeda dengan cita-cita PNI "lama", organisasi ini bertujuan untuk membina kader-kader yang diharapkan akan menjadi pemimpin politik di masa depan. Sjahrir ditunjuk sebagai ketua sementara sembari menunggu Hatta menyelesaikan studinya di Belanda.[201] Pada 25 April 1931, Sartono, sebagai ketua PNI saat itu, memutuskan untuk membubarkan PNI demi menghindari stigma buruk yang ditimbulkan oleh vonis Soekarno, dan kemudian mendirikan Partij Indonesia (EYD: Partai Indonesia; disingkat Partindo). Pada tanggal 31 Desember 1931, Soekarno dibebaskan lebih awal setelah pemerintah kolonial mendapat tekanan dari pihak luar dan dalam. Ia mengalami dilema setelah melihat PNI yang tepecah dua tersebut. Awalnya Soekarno berusaha untuk menyatukan kedua organisasi tersebut, tetapi setelah melihat bahwa usahanya itu sia-sia, ia memilih masuk menjadi anggota Partindo dan kemudian menjadi ketua organisasi tersebut pada tanggal 28 Juli 1932.[202] Pada bulan yang sama, Hatta etelah menyelesaikan studinya dan kembali ke Hindia Belanda, lalu menjadi anggota PNI Baru dan diangkat sebagai ketuanya pada bulan Agustus 1932.[188] Selain mengelola partai, Soekarno juga membuka usaha biro arsitektur "Soekarno & Roosseno" bersama Roosseno Soerjohadikoesoemo, sembari mengunjungi beberapa tokoh nasionalis lainnya di Pulau Jawa dan menulis artikel mengenai kemerdekaan pada koran Fikiran Ra'jat (EYD: "Pikiran Rakyat"),[203] sementara Mohammad Hatta menulis artikel yang bertujuan membangkitkan semangat kader politik masa depan di koran Daulat Ra'yat (EYD: "Daulat Rakyat"). Akibat tulisan-tulisan yang Soekarno buat di koran tersebut pada pertengahan tahun 1933, yang pada saat ini dikumpulkan sebagai sebuah risalah bernama Mentjapai Indonesia Merdeka (EYD: "Mencapai Indonesia Merdeka"), ia sekali lagi ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan oleh polisi pada tanggal 1 Agustus 1933.[204] Ia beserta keluarga lalu diasingkan ke Endeh (sekarang Ende) pada tahun 1934,[205] dan kemudian dipindahkan ke Bencoolen (sekarang Bengkulu) pada tahun 1938.[206] Sementara pada awal tahun 1934, giliran Hatta dan Sjahrir yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Keduanya diasingkan ke Boven Digoel pada tahun 1935,[207] lalu dipindahkan ke Banda Neira setahun setelahnya,[208] dan akhirnya dipindahkan lagi ke Sukabumi pada tahun 1941.[209]
Selain gerakan-gerakan politik pada tingkat nasional dan kedaerahan, beberapa tokoh pejuang juga mendirikan berbagai sekolah dan perguruan untuk mencerdaskan anak bangsa, dengan harapan bahwa kelak mereka menjadi penyokong untuk negara merdeka kelak. Surat-surat dari Kartini, seorang wanita keturunan priayi Jawa, semasa hidupnya (1879–1904) kepada sahabat-sahabat pena di Eropa, yang membahas tentang masalah sosial, ketimpangan gender, dan harapan akan emansipasi bagi wanita, membuat Conrad Theodor van Deventer, seorang anggota parlemen Belanda dan pemerhati Hindia Belanda, tergerak untuk lebih memperhatikan kondisi perempuan-perempuan pribumi di Belanda, sehingga ia beserta istrinya mendirikan Yayasan Kartini pada tahun 1912 sebagai wadah penggalangan dana, lalu membangun tempat-tempat pengajaran khusus perempuan yang diberi nama "Sekolah Kartini", dimulai pada tahun 1912 di Semarang.[210] Kemudian di Bandung, seorang wanita priayi Sunda bernama Dewi Sartika mendirikan suatu tempat pendidikan bagi perempuan bernama "Sakola Istri" pada tanggal 16 Januari 1904 di Pendopo Kabupaten Bandung, lalu diubah menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri (EYD: "Sekolah Keutamaan Istri") pada tahun 1910 dan menyebar ke seluruh wilayah Jawa bagian barat.[211] Selanjutnya, Soewardi Soerjaningrat, yang kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada tanggal 28 Februari 1928,[212] mendirikan lembaga pengajaran berbasis pendidikan humanis, kerakyatan, dan kebangsaan, yang bernama National Onderwijs Institut (Lembaga Pendidikan Nasional) "Taman Siswa" pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta, yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa dan bahkan ke luar pulau.[213][214] Selain itu, organisasi-organisasi yang mengajarkan tentang kepanduan (pramuka) juga berdiri sebagai sarana menyalurkan semangat untuk meraih kebebasan dan kemerdekaan, yaitu Nederlandsch Indische Padvinders Vereeniging (Perhimpunan Pandu Hindia Belanda; NIPV), Nationale Padvinderij (Pandu Nasional), dan Persaoedaraan Antar Pandoe Indonesia (EYD: Persaudaraaan Antarpandu Indonesia), Kepandoean Bangsa Indonesia (EYD: Kepanduan Bangsa Indonesia), dan lain sebagainya.[215]
Menyadari ancaman dari organisasi-organisasi berbasis nasionalisme yang menuntut kebebasan dari cengkeraman kolonialisme Belanda, maka pada dekade 1930-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai melakukan pelarangan dan penutupan terhadap organisasi-organisasi tersebut, serta memenjarakan sejumlah pemimpin politik nasional. Meskipun Belanda tidak dapat sepenuhnya membungkam suara-suara lokal yang menuntut perubahan, mereka berhasil mencegah pergolakan secara luas. Walaupun sentimen nasionalisme tetap tinggi selama tahun-tahun tersebut, gerakan-gerakan nyata untuk memperjuangkan kemerdekaan tetap mampu dibatasi oleh pemerintah kolonial.[216] Namun, pecahnya Perang Dunia II sejak tanggal 1 September 1939 menimbulkan berbagai perubahan dramatis pada kekuatan politik dunia, termasuk Kerajaan Belanda yang melemah akibat terlibat dalam perang besar tersebut, terutama karena posisi Belanda kali ini adalah pihak utama yang terlibat dalam pertempuran, bukan seperti pada waktu Perang Dunia I, yaitu ketika Belanda hanya berposisi sebagai pihak pembantu. Melemahnya kekuatan Belanda tersebut diperparah dengan jatuhnya Belanda ke tangan militer Jerman Nazi pada tanggal 14 Mei 1940.[217] Kekacauan tersebut berpengaruh hingga ke Hindia Belanda, terutama ketika pasukan Jepang masuk ke Hindia Belanda untuk mengusir pasukan Belanda dan menduduki wilayah ini. Pertempuran ini membuka kesempatan bagi para nasionalis untuk kembali menajamkan taringnya dan menyuarakan kemerdekaan.[218]
Periode pendudukan
Bagian ini memerlukan pengembangan dengan referensi dan artikel lebih banyak. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Pada masa Perang Dunia II, sewaktu Belanda sedang diduduki oleh Jerman Nazi, Kekaisaran Jepang berhasil menguasai Indonesia. Setelah mendapatkan Indonesia pada tahun 1942, Jepang melihat bahwa para pejuang Indonesia merupakan rekan perdagangan yang kooperatif dan bersedia mengerahkan prajurit bila diperlukan. Soekarno, Mohammad Hatta, KH. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantara diberikan penghargaan oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943.[butuh rujukan]
Pada Maret 1945 Jepang membentuk sebuah komite untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah Perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, di bawah tekanan organisasi pemuda, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Periode republik
Bagian ini memerlukan pengembangan dengan referensi lebih banyak. Anda dapat membantu dengan mengembangkannya. |
Setelah kemerdekaan, tiga pendiri bangsa yakni Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir masing-masing menjabat sebagai presiden, wakil presiden, dan perdana menteri. Dalam usaha untuk menguasai kembali Indonesia, Belanda mengirimkan pasukan mereka.
Usaha-usaha berdarah untuk meredam pergerakan kemerdekaan ini kemudian dikenal oleh orang Belanda sebagai 'aksi kepolisian' (politionele actie), atau dikenal oleh orang Indonesia sebagai Agresi Militer.[219] Belanda akhirnya menerima hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 sebagai negara federal yang disebut Republik Indonesia Serikat setelah mendapat tekanan yang kuat dari kalangan internasional, terutama Amerika Serikat. Mosi Integral Natsir pada tanggal 17 Agustus 1950, menyerukan kembalinya negara kesatuan Republik Indonesia dan membubarkan Republik Indonesia Serikat. Soekarno kembali menjadi presiden dengan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden dan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintahan Soekarno mulai mengikuti sekaligus merintis gerakan non-blok pada awalnya, kemudian menjadi lebih dekat dengan blok sosialis, misalnya Republik Rakyat Tiongkok dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"),[220] dan ketidakpuasan terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965 meletus peristiwa G30S yang menyebabkan kematian 6 orang jenderal dan sejumlah perwira menengah lainnya. Muncul kekuatan baru yang menyebut dirinya Orde Baru yang segera menuduh Partai Komunis Indonesia sebagai otak di belakang kejadian ini dan bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah serta mengganti ideologi nasional menjadi berdasarkan paham sosialis-komunis. Tuduhan ini sekaligus dijadikan alasan untuk menggantikan pemerintahan lama di bawah Presiden Soekarno.
Jenderal Soeharto menjadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk mengamankan negara dari ancaman komunisme. Sementara itu kondisi fisik Soekarno sendiri semakin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh, sementara masih banyak lagi warga Indonesia yang sedang berada di luar negeri, tidak berani kembali ke tanah air, dan akhirnya dicabut kewarganegaraannya. Tiga puluh dua tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, sementara masa pemerintahan Soekarno disebut Orde Lama.
Soeharto menerapkan ekonomi neoliberal dan berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak merata. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekonomi Indonesia disusun oleh sekelompok ekonom lulusan Departemen Ekonomi Universitas California, Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley".[221] Namun, Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang memburuk pada tahun 1998.
Masa Peralihan Orde Reformasi atau Era Reformasi berlangsung dari tahun 1998 hingga 2001, ketika terdapat tiga masa presiden: Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Pada tahun 2004, diselenggarakan Pemilihan Umum satu hari terbesar di dunia[222] yang dimenangkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden terpilih secara langsung oleh rakyat, yang menjabat selama dua periode. Pada tahun 2014, Joko Widodo, yang lebih akrab disapa Jokowi, terpilih sebagai presiden ke-7.
Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah berusaha untuk melepaskan diri dari naungan NKRI, terutama Papua.[butuh rujukan] Timor Timur secara resmi memisahkan diri pada tahun 1999 setelah 24 tahun bersatu dengan Indonesia dan 3 tahun di bawah administrasi PBB menjadi negara Timor Leste.
Pada Desember 2004 dan Maret 2005, Aceh dan Nias dilanda dua gempa bumi besar yang totalnya menewaskan ratusan ribu jiwa. (Lihat Gempa bumi Samudra Hindia 2004 dan Gempa bumi Sumatra Maret 2005.) Kejadian ini disusul oleh gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami yang menghantam Pantai Pangandaran dan sekitarnya, serta banjir lumpur di Sidoarjo pada 2006 yang tidak kunjung terpecahkan.
- ^ MacKinnon, Kathy (1986). Alam Asli Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. hlm. 8.
- ^ Ludt, William B.; Rocha, Luiz A. (2015-01). Ali, Jason, ed. "Shifting seas: the impacts of Pleistocene sea‐level fluctuations on the evolution of tropical marine taxa". Journal of Biogeography (dalam bahasa Inggris). 42 (1): 25–38. doi:10.1111/jbi.12416. ISSN 0305-0270.
- ^ Heaney, Lawrence R. (1984). "Mammalian Species Richness on Islands on the Sunda Shelf, Southeast Asia". Oecologia. 61 (1): 11–17. Bibcode:1984Oecol..61...11H. CiteSeerX 10.1.1.476.4669 . doi:10.1007/BF00379083. JSTOR 4217198. PMID 28311380.
- ^ Irwanto, Dhani (29 September 2015). "Sundaland". Atlantis in the Java Sea.
- ^ Gillespie, Richard (January 2002). "Dating the First Australians". Radiocarbon. 44 (2): 455–472. doi:10.1017/S0033822200031830 .
- ^ Kennett, B. L. N.; Chopping, R.; Blewett, R. (2018). The Australian continent: a geophysical synthesis. Canberra: Australian National University Press. ISBN 9781760462475.
- ^ Myers, N.; Mittermeier, R. A.; Mittermeier, C. G.; Da Fonseca, G. A; Kent, J. (2000). "Biodiversity hotspots for conservation priorities" (PDF). Nature. 403 (6772): 853–857. Bibcode:2000Natur.403..853M. doi:10.1038/35002501. PMID 10706275. Diakses tanggal 15 September 2019.
- ^ Michael R. Rampino, Stanley H. Ambrose, 2000. "Volcanic winter in the Garden of Eden: The Toba supereruption and the late Pleistocene human population crash", Volcanic Hazards and Disasters in Human Antiquity, Floyd W. McCoy, Grant Heiken
- ^ (Inggris) Chesner, C.A.; Westgate, J.A.; Rose, W.I.; Drake, R.; Deino, A. (March 1991). "Eruptive history of Earth's largest Quaternary caldera (Toba, Indonesia) clarified" (PDF). Geology. Michigan Technological University. 19 (3): 200–203. Bibcode:1991Geo....19..200C. doi:10.1130/0091-7613(1991)019<0200:EHOESL>2.3.CO;2. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2012-02-26. Diakses tanggal 2018-06-20.
- ^ Smith, D.E.; Harrison, S.; Firth, C.R.; Jordan, J.T. (July 2011). "The early Holocene sea level rise". Quaternary Science Reviews. 30 (15–16): 1846–1860. Bibcode:2011QSRv...30.1846S. doi:10.1016/j.quascirev.2011.04.019.
The rise, of ca 60m, took place over most of the Earth as the volume of the oceans increased during deglaciation and is dated at 11,650–7000 cal. BP. The EHSLR was largely driven by meltwater release from decaying ice masses and the break up of coastal ice streams. [...] The impact of the EHSLR on climate is reviewed and it is maintained that the event was a factor in the 8200 BP cooling event, as well as in changes in ocean current patterns and their resultant effects. The EHSLR may also have enhanced volcanic activity, but no clear evidence of a causal link with submarine sliding on continental slopes and shelves can yet be demonstrated. The rise probably influenced rates and patterns of human migrations and cultural changes.
- ^ Hanebuth, Till; Stattegger, Karl; Grootes, Pieter M. (2000). "Rapid Flooding of the Sunda Shelf: A Late-Glacial Sea-Level Record". Science. 288 (5468): 1033–1035. Bibcode:2000Sci...288.1033H. doi:10.1126/science.288.5468.1033. JSTOR 3075104.
- ^ Herries AI, Martin JM, Leece AB, Adams JW, Boschian G, Joannes-Boyau R, et al. (April 2020). "Contemporaneity of Australopithecus, Paranthropus, and early Homo erectus in South Africa". Science. 368 (6486): eaaw7293. doi:10.1126/science.aaw7293 . PMID 32241925.
- ^ Sutikna, Thomas; Tocheri, Matthew W.; et al. (30 March 2016). "Revised stratigraphy and chronology for Homo floresiensis at Liang Bua in Indonesia". Nature. 532 (7599): 366–9. Bibcode:2016Natur.532..366S. doi:10.1038/nature17179. PMID 27027286.
- ^ a b Thamrin, Mahandis Yoanata (2019-06-06). "Migrasi Manusia dan Perjalanan Sejarah Melanesia di Indonesia". National Geographic. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-21. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ^ Posth C, Renaud G, Mittnik M, Drucker DG, Rougier H, Cupillard C, et al. (2016). "Pleistocene Mitochondrial Genomes Suggest a Single Major Dispersal of Non-Africans and a Late Glacial Population Turnover in Europe". Current Biology. 26 (6): 827–833. doi:10.1016/j.cub.2016.01.037. hdl:2440/114930 . PMID 26853362.
- ^ Taylor (2003), pp. 5–7
- ^ Avisena, M Ilham Ramadhan (2021-08-17). "Tiga Teori Asal Usul Nenek Moyang Indonesia". Media Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-08-21. Diakses tanggal 2022-08-21.
- ^ Taylor (2003), pp. 8-9
- ^ a b Hariansah, Erik (19 March 2019). "Kandis dan Salakanagara adalah Kerajaan Tertua di Nusantara?". Attoriolong. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-13. Diakses tanggal 26 November 2020.
- ^ Vogel, J. Ph. (1918). "The Yupa Inscription of King Mulawarman, from Koetei (East Borneo)". BKI. 74.
- ^ Aris Munandar, Agus (2011). Indonesia Dalam Arus Sejarah 2: Kerajaan Hindu - Buddha. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. hlm. 60.
- ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO). 30 (1-2): 29–80. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-08. Diakses tanggal 2022-09-13.
- ^ Taylor (2003), pp. 22–26; Ricklefs (1991), pp. 3
- ^ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5.
- ^ Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
- ^ Anonim. 1822. Malayan Miscellanies, Vol II: The Geneology of Rajah of Pulo Percha. Printed And Published at Sumatra Mission Press. Bencoolen
- ^ George Coedes. 1934. On the origins of the Sailendras of Indonesia. Journal of the Greater India Society I: 61–70.
- ^ a b Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ a b c Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
- ^ Boechari (2012). Melacak Sejarah Kuno Indonesia lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. ISBN 978-979-91-0520-2.
- ^ Aizid, Rizem (2022-03-25). Pasang Surut Runtuhnya Kerajaan Hindu-Buddha dan Bangkitnya Kerajaan Islam di Nusantara. Anak Hebat Indonesia. hlm. 69–75. ISBN 978-623-400-541-7.
- ^ a b Sita W. Dewi (9 April 2013). "Tracing the glory of Majapahit". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-07-11. Diakses tanggal 5 February 2015.
- ^ Basri, Hasan (Ed). 2006. Pangeran Jagapati, Wong Agung Wilis dan Sayu Wiwit. 3 Pejuang Dari Blambangan. Banyuwangi: Penerbit Pemda Kabupaten Banyuwangi
- ^ Suadnyana, I Wayan Sui (2019-03-10). "TRIBUN WIKI - Inilah 9 Puri di Bali yang Masih Ada Hingga Kini". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ^ "7 Kerajaan Islam Tertua di Indonesia". indonesiabaik.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-08-14. Diakses tanggal 2020-08-26.
- ^ *Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Penyunting: HM. Hembing Wijayakusuma. Pustaka Populer Obor, Oktober 2000, xliv + 299 halaman
- ^ "Aceh Daerah Pertama di Indonesia Menerima Islam". acehprov.go.id. Pemerintah Aceh. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-14.
- ^ Kusniah, Siti Turmini (2018). Kiaiku, Guruku, Jaringan Ulama. Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 978-602-1289-85-3.
- ^ Lombard, Denys (2008). Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- ^ "3 Kerajaan Islam Berpengaruh di Aceh". Republika Online. 2016-08-29. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-12. Diakses tanggal 2020-06-12.
- ^ Peter Lewis (1982). "The next great empire". Futures. 14 (1): 47–61. doi:10.1016/0016-3287(82)90071-4.
- ^ "Lumajang Ternyata Kerajaan Islam Tertua di Tanah Jawa". Suara Surabaya. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ^ "Kesultanan Cirebon Jadi Satu dari Empat Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa". Ayo Cirebon. 2022-05-19. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ^ Ratriani, Virdita (2022-07-28). Ratriani, Virdita, ed. "Kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa adalah Kerajaan Demak: Pendiri dan Masa Jayanya". Kontan.co.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-16.
- ^ "Mataram, Historical kingdom, Indonesia". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 2024-02-02.
- ^ Brown 2003, p. 63: "On February 13, 1755, the Treaty of Giyanti was signed, dividing what was left of the kingdom of Mataram into two parts. One part, with its capital in the city of Solo, was headed by Pakubuwana II's son, Pakubuwana III. The other part, with its capital 60 kilometres to the west of Yogyakarta, was ruled by Pakubuwana II's half-brother Mangkubumi, who took the title Sultan Hamengkubuwono I. The treaty was not immediately accepted by all parties to the dispute: fighting went on for another two years. In 1757, though, an uneasy peace settled on Java when Pakubuwana III's territory was divided, with a portion going to his cousin Mas Said, who took the title Mangkunegara I."
- ^ a b Ricklefs 2001.
- ^ Jamil Al-Sufri, Tarsilah Brunei: The Early History of Brunei up to 1432 AD (Bandar Seri Begawan: Brunei History Centre, 2000)
- ^ (Indonesia) Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. PT Balai Pustaka. hlm. 85. ISBN 9794074098.[pranala nonaktif permanen]ISBN 978-979-407-409-1
- ^ Setyaningrum, Puspasari, ed. (2022-07-21). "Sejarah Perang Banjar: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-17.
- ^ Prabowo, Gama (2020-11-05). Gischa, Serafica, ed. "Kerajaan Islam di Sulawesi". Kompas.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-09-20. Diakses tanggal 2022-09-19.
- ^ M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I dan II", Universitas Khairun Ternate 2002.
- ^ Willard A. Hanna & Des Alwi, "Ternate dan Tidore, Masa Lalu Penuh Gejolak", Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1996.
- ^ Jaime Koh; Stephanie Ho Ph.D. (22 Juni 2009). Culture and Customs of Singapore and Malaysia. ABC-CLIO. hlm. 9. ISBN 978-0-313-35116-7.
- ^ Adolf Heuken, 'Archdiocese of Jakarta - a Growing Local Church (1950-2000)' in Een vakkracht in het Koninkrijk. Kerk- en zendingshistorie opstellen onder redactie van dr. Chr.G.F. de Jong (2005:104-114) ISBN 90-5829-611-3
- ^ Goh, Robbie B.H. (2005). Christianity in Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 80. ISBN 981-230-297-2.
- ^ Hari, Agustinus (2019-10-13). "Mengenal Siau, Kerajaan Kristen di Sulawesi Utara Abad 16". Barta1.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-03. Diakses tanggal 2023-05-03.
- ^ Ahmad, I. (2014). "Agama Sebagai Perubahan Sosial: Kristenisasi di Tobelo 1866-1942". Lembaran Sejarah. 11 (1): 83–98. ISSN 2620-5882. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-07. Diakses tanggal 2023-05-03.
- ^ Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, 1808-1942: a documented history. Leiden:KITLV Press ISBN 90-6718-141-2
- ^ Pradjoko, Didik (2008). Modul I Sejarah Indonesia. Depok: Universitas Indonesia Press. hlm. 5.
- ^ Winstedt, Richard (1962). A History of Malaya. Marican.
- ^ a b c Suntama, Permadi (2022-08-29). "Sejarah Kedatangan Bangsa Portugis ke Indonesia: Proses & Rute". Tirto. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2022-09-23.
- ^ a b Kristina (2021-08-18). "Sejarah Mendaratnya Portugis di Indonesia, Pendatang Pertama dari Eropa". DetikEdu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2022-09-22.
- ^ Efendi, Ahmad. "Tujuan Kedatangan Bangsa Spanyol ke Indonesia dan Latar Belakangnya". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2023-03-03.
- ^ a b Ahsan, Ivan Aulia. "Keruwetan Perang Ternate-Portugis vs Tidore-Spanyol". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-14. Diakses tanggal 2023-03-03.
- ^ Portugal (1861). Tratado de demarcação e troca de algumas possessões portuguezas e neerlandezas no Archipelago de Solor e Timor entre sua magestade el-rei de Portugal e sua magestade el-rei dos Paizes Baixos assignado em Lisboa pelos respectivos plenipotenciarios aos 20 de abril de 1859 (dalam bahasa Portugis). Imprensa nacional.
- ^ a b Yahya, Rizal Amril. "Sejarah Kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia & Latar Belakang". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-05. Diakses tanggal 2023-03-05.
- ^ a b Prinada, Yuda. "Apa itu Pengertian VOC, Sejarah Kapan Didirikan, dan Tujuannya?". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-25. Diakses tanggal 2023-03-11.
- ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. hlm. 29. ISBN 0-333-57689-6.
- ^ Miller, George, ed. (1996). To The Spice Islands and Beyond: Travels in Eastern Indonesia. New York: Oxford University Press. xvi. ISBN 967-65-3099-9.
- ^ Dagh-register gehouden int Casteel Batavia vant passerende daer ter plaetse als over geheel Nederlandts-India anno 1624–1629 [The official register at Castle Batavia, of the census of the Dutch East Indies]. VOC. 1624.
- ^ "170 tahun kepahlawanan minangkabau". Majalah Tempo Online (dalam bahasa indonesian). 31 July 1982. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 March 2012. Diakses tanggal 11 March 2012.
- ^ Romain Bertrand, L‘Histoire à parts égales. Récits d'une rencontre Orient-Occident (XVIe-XVIIe siècles), Paris, Seuil, 2011, bab 15, hlm. 420-436.
- ^ Frederick & Worden 1993, The Dutch on Java, 1619–1755: "Perang berlangsung hingga tahun 1755, ketika Perjanjian Giyanti disahkan, mengakui Pakubuwana III (memerintah 1749–55) sebagai penguasa Surakarta dan Mangkubumi (yang mengambil gelar sultan dan nama Hamengkubuwana) sebagai penguasa Yogyakarta."
- ^ de Vries, Jan; van der Woude, Ad (1997). The First Modern Economy: Success, Failure, and Perseverance of the Dutch Economy, 1500-1815. Cambridge University Press. hlm. 449–455. ISBN 0-521-57061-1.
- ^ Dharmowijono, W.W. (2009) (dalam bahasa Belanda). Van koelies, klontongs en kapiteins: het beeld van de Chinezen in Indisch-Nederlands literair proza 1880–1950 [Of Coolies, Klontong, and Captains: The Image of the Chinese in Indonesian-Dutch Literary Prose 1880–1950] (Tesis Doctorate in Humanities). Universiteit van Amsterdaam. Diarsipkan dari yang asli on 2012-04-26. http://dare.uva.nl/document/147345. Diakses pada 1 December 2011.
- ^ J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over Java-XI, ML van Deventer, 1883
- ^ TANAP, The end of the VOC
- ^ Asvi Warman Adam. "The French and the British in Java, 1806–15". Britannica. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-04-30. Diakses tanggal 2023-03-13.
- ^ H. L. Wesseling (23 October 2015). The European Colonial Empires 1815-1919 (dalam bahasa English). Taylor & Francis. hlm. 104. ISBN 9781317895077. Diakses tanggal 2 September 2022.
- ^ Pramoedya sheds light on dark side of Daendels' highway. The Jakarta Post 8 January 2006.
- ^ Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas. Penerbit Buku Kompas, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta Indonesia. November 2008. hlm. 1–2. ISBN 978-979-709-391-4.
- ^ anonim (16 Januari 2012). "Mengenal Sejarah Tanah Perdikan Madiun". Madiun Info. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-05-20. Diakses tanggal 19 September 2015.
- ^ Van Uythoven, Geert (2013). "Lieutenant General Jan Willem Janssens". The Napoleon Series. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 30 July 2016.
- ^ Fregosi, Paul (1989). Dreams of Empire: Napoleon and the First World War 1792-1815. Hutchinson. ISBN 0-09-173926-8.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-08-16). "Kapitulasi Tuntang: Latar Belakang, Isi Perjanjian, dan Dampaknya Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-05. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ^ "Menyimak Kisah Sejarah Penjajahan Inggris di Indonesia". kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-05. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ^ Sir Thomas Stamford Raffles (1830). The History of Java. J. Murray. hlm. xxiii. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-02. Diakses tanggal 12 August 2022.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-02-09). "Masa Penjajahan Inggris di Indonesia Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-02. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ^ Indonesia, C. N. N. "Inggris Pernah Menjajah Indonesia, Bagaimana Sejarahnya? - Halaman 2". internasional. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-06. Diakses tanggal 2023-05-02.
- ^ Miksic, John (1990). Borobudur: Golden Tales of the Buddhas.
- ^ Carey, Peter, The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855, 2008
- ^ "Review of The History of Java by Thomas Stamford Raffles". The Quarterly Review. 17: 72–96. April 1817. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-02-22. Diakses tanggal 2017-03-17.
- ^ a b Stothers, R. B. (1984). "The Great Tambora Eruption in 1815 and Its Aftermath". Science. 224 (4654): 1191–1198. doi:10.1126/science.224.4654.1191.
- ^ Briffa, K.R. "Influence of volcanic eruptions on Northern Hemisphere summer temperature over 600 years". Nature. 393: 450–455. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-10. Diakses tanggal 2023-05-17.
- ^ Evans, Robert Blast from the Past, Smithsonian Magazine. July 2002, p. 2
- ^ Campbell, Donald Maclaine, 1869-1913; Wheeler, G. C. "Java: past & present, a description of the most beautiful country in the world, its ancient history, people, antiquities, and products". London : W. Heinemann. hlm. 404. Archived from the original on 2021-08-24. Diakses tanggal 24 August 2021.
- ^ Borschberg, Peter (2019). "Dutch objections to British Singapore, 1819–1824: law, politics, commerce and a diplomatic misstep". Journal of Southeast Asian Studies. 50 (4): 540–561. doi:10.1017/S0022463420000053.
- ^ "Staatsblad 2016 No. 258" (PDF). Overheid.nl. 2 Juni 2016. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-04-24. Diakses tanggal 2020-12-05.
- ^ a b c d H.R.C. Wright, "The Anglo-Dutch Dispute in the East, 1814-1824." Economic History Review 3.2 (1950): 229-239 online.
- ^ "Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda - Semua Halaman - National Geographic". nationalgeographic.grid.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-06. Diakses tanggal 2023-05-05.
- ^ a b c d Ricklefs, M C (1991). A History of Modern Indonesian since c.1300 (edisi ke-Second). Houndmills, Baingstoke, Hampshire and London: The Macmillan Press Limited. hlm. 271, 297. ISBN 0-333-57690-X.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-07-20). "Sejarah Perang Pattimura: Tokoh, Penyebab, Kronologi, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-30. Diakses tanggal 2023-05-06.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-06-12). "Perang Menteng: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-06. Diakses tanggal 2023-05-06.
- ^ a b Sjafnir Aboe Nain, 2004, Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB), transl., Padang: PPIM.
- ^ Kepper G. 1900. Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee.
- ^ M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia: c.1300 to the Present (Macmillan, 1981), p. 129.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-06-29). "Perang Bone: Latar Belakang dan Kronologi Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-09. Diakses tanggal 2023-05-08.
- ^ a b Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
- ^ Tim. "Sejarah Perang Diponegoro, Pertempuran Besar di Tanah Jawa". edukasi. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-07. Diakses tanggal 2023-05-04.
- ^ Abdullah, Taufik (1966). Adat dan Islam: an Examination of Conflict in Minangkabau. Indonesia. No. 2, 1-24.
- ^ Sejarah Untuk SMP dan MTs. Grasindo. ISBN 978-979-025-198-4.
- ^ Ningsih, Widya Lestari (2022-07-27). "Johannes van den Bosch, Penggagas Sistem Tanam Paksa". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-18. Diakses tanggal 2023-01-15.
- ^ Schendel, Willem van (17 June 2016). Embedding Agricultural Commodities: Using Historical Evidence, 1840s–1940s, edited by Willem van Schendel, from google (cultivation system java famine) result 10. ISBN 9781317144977.
- ^ Terwogt WA. 1900. Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. Hoorn: P. Geerts.
- ^ Warriner, Francis (1835). Cruise of the United States frigate Potomac round the world: during the years 1831-34. New York: Leavitt, Lord & Co.
- ^ Zulqaiyyim, (1997), Peristiwa Batipuh tahun 1841: suatu studi kasus tentang gerakan sosial di Sumatera Barat: laporan penelitian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian, Universitas Andalas
- ^ Yuandha, Ade (2021-11-09). "Sejarah Cagar Budaya Tapak Rumah Gadang Tuan Gadang Batipuh di Kabupaten Tanah Datar". Halonusa.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-08. Diakses tanggal 2023-05-07.
- ^ a b c A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm by Robert Pringle
- ^ a b International Dictionary of Historic Places: Asia and Oceania by Trudy Ring p.69 [1]
- ^ A short history of Bali: Indonesia's Hindu realm Robert Pringle p.98ff [2]
- ^ a b c d Terwogt WA. 1900. Het land van Jan Pieterszoon Coen: Geschiedenis van de Nederlanders in Oost-Indië. Hoorn: P. Geerts.
- ^ Hanna, Willard A. (2004). Bali Chronicles: Fascinating People and Events in Balinese History. Singapore: Periplus.
- ^ Kielstra, Egbert Broer (1917). "Het sultanaat van Bandjermasin" [The Sultanate of Bandjermasin]. Onze Eeuw [Our Century] (dalam bahasa Belanda). 17. Haarlem: Erven F. Bohn. hlm. 12–30. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-09. Diakses tanggal 2023-05-24.
- ^ 1900. W.A. Terwogt. Het land van Jan Pieterszoon Coen. Geschiedenis van de Nederlanders in oost-Indië. P. Geerts. Hoorn
- ^ a b c Adhin, J. H. (1961). "De immigratie van Hindostanen en de afstand van de Goudkust". Nieuwe West-Indische Gids. 41 (1): 4–13. doi:10.1163/22134360-90002334 . Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-05. Diakses tanggal 2023-05-24.
- ^ Foreign and Commonwealth Office - Convention between Great Britain and the Netherlands relative to the treatment of British Subjects in the Kingdom of Siak Sree Indrapoora, in the Island of Sumatra
- ^ Foreign and Commonwealth Office - Convention between Great Britain and the Netherlands, for the Settlement of their Mutual Relations in the Island of Sumatra
- ^ 1874. Bijlage: Een slechte verdediging. Nog iets over Atjeh door generaal De Stuers in de Gids 1875, nr. 4. C.A. Jeekel. Het Vaderland Jumat 23 april 1875.
- ^ a b Ibrahim, Alfian. "Aceh and the Perang Sabil." Indonesian Heritage: Early Modern History. Vol. 3, ed. Anthony Reid, Sian Jay and T. Durairajoo. Singapore: Editions Didier Millet, 2001. p. 132–133
- ^ Media, Kompas Cyber (2020-10-26). "Perang Batak (1878-1907) Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-13. Diakses tanggal 2023-05-12.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-06-02). "Sisingamangaraja XII: Kehidupan, Perjuangan, dan Perlawanan Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-13. Diakses tanggal 2023-05-12.
- ^ a b c Thornton, Ian W. B. (1997). Krakatau: The Destruction and Reassembly of an Island Ecosystem (dalam bahasa Inggris). Harvard University Press. hlm. 9–11. ISBN 978-0-674-50572-8.
- ^ Oliveira, Justin M.; Vedo, Sabrina; Campbell, Michael D.; Atkinson, Joseph P. (2010). "KSC VAB Aeroacoustic Hazard Assessment" (PDF). KSC Engineering, NASA: 43. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-04-06. Diakses tanggal 15 November 2016.
- ^ Monique R. Morgan (January 2013). "The Eruption of Krakatoa (also known as Krakatau) in 1883". BRANCH: Britain, Representation and Nineteenth-Century History. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-07-13. Diakses tanggal 5 February 2019.
- ^ Pararas-Carayannis, George (2003). "Near and far-field effects of tsunamis generated by the paroxysmal eruptions, explosions, caldera collapses and massive slope failures of the Krakatau volcano in Indonesia on August 26–27, 1883" (PDF). Science of Tsunami Hazards. 21 (4). The Tsunami Society. hlm. 191–201. ISSN 8755-6839. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-07-13. Diakses tanggal 29 December 2007.
- ^ Winchester, Simon (2003). Krakatoa: The Day the World Exploded, August 27, 1883. Penguin/Viking. ISBN 978-0-670-91430-2.
- ^ Bradley, Raymond S. (June 1988). "The explosive volcanic eruption signal in northern hemisphere continental temperature records" (PDF). Climatic Change (dalam bahasa Inggris). 12 (3): 221–243. Bibcode:1988ClCh...12..221B. doi:10.1007/bf00139431. ISSN 0165-0009. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 3 November 2020. Diakses tanggal 29 November 2019 – via Springer.
- ^ University of Minnesota. "With a Bang: Not a Whimper" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 22 June 2010.
- ^ a b "T. Umar.pdf" (PDF). Pemerintah Provinsi Aceh. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2013-10-08. Diakses tanggal 2011-11-30.
- ^ Kusuma, Putri Tiah Hadi. "Mengenal Teuku Umar, Pahlawan Nasional dari Aceh". detikedu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-20. Diakses tanggal 2023-05-14.
- ^ Coenen, F. (1886). Iets over Djambi in 1885 (dalam bahasa Dutch). Eigen Haard. hlm. 306–311.
- ^ "Mengenang Kembali "Pemberontakan Petani Banten 1888"". KOMPAS.tv. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-14. Diakses tanggal 2023-05-14.
- ^ a b Ooi, Keat Gin, ed. (2004). Southeast Asia: a historical encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor (3 vols). Santa Barbara: ABC-CLIO. hlm. 790 ff. ISBN 978-1576077702. OCLC 646857823. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-08-08. Diakses tanggal 2023-05-24.
- ^ a b Keurs, Pieter ter (2007). Colonial Collections Revisited. CNWS publications. 152. Amsterdam University Press. hlm. 190 ff. ISBN 9789057891526.
- ^ Bali handbook with Lombok and the Eastern Isles: the travel guide by Liz Capaldi, Joshua Eliot p.300
- ^ Priests and programmers by John Stephen Lansing p.20
- ^ Van Koningsveld, P.S. Snouck Hurgronje alias Abdoel Ghaffar: enige historisch-kritische kanttekeningen, (Leiden, 1982)
- ^ 1898. Bintang Djaoeh. Pedir en de aanstaande expeditie (met een overzichtskaart van Atjeh). Eigen Haard. Bladzijde 362-365.
- ^ 1891. De Edi-expeditie van 1890[pranala nonaktif permanen]. Indisch Militair Tijdschrift II. Bladzijde 285-403.
- ^ a b c d Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. hlm. 10–13. ISBN 0-521-54262-6.
- ^ H.L. Zwitzer (1989). "DAALEN, Gotfried Coenraad Ernst van (1863–1930)". Huygens Institute for the History of the Netherlands (dalam bahasa Belanda). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-22. Diakses tanggal 26 January 2022.
- ^ "Kisah Cut Nyak Dhien Ditangkap Belanda: Cabut Rencong Hendak Tikam Panglima (9)". kumparan. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-22. Diakses tanggal 2023-05-22.
- ^ Reid, Anthony (2005). An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra. Singapore: Singapore University Press. ISBN 9971-69-298-8.
- ^ Michielsen, A. W. A. De expeditie naar Zuid-Celebes in 1905–1906. Indisch militair tijdschrift, vols. 35, 36, 37. Batavia [Jakarta]: Kolff, 1915–16.
- ^ Amran, R., (1988), Pemberontakan pajak 1908, Sumatera Barat. Bag. ke. 1: Perang Kamang, Gita Karya
- ^ a b c Willard A. Hanna (2004). Bali Chronicles. Periplus, Singapore. ISBN 0-7946-0272-X.
- ^ Andy Barski, Albert Beaucort and Bruce Carpenter, Barski (2007). Bali and Lombok. Dorling Kindersley, London. ISBN 978-0-7566-2878-9.
- ^ Insight Guide: Bali 2002 Brian Bell, Apa Publications GmbH&Co ISBN 1-58573-288-5.
- ^ a b Media, Kompas Cyber (2022-07-24). "Politik Etis: Tokoh, Pengertian, Latar Belakang, dan Dampak Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-26. Diakses tanggal 2023-05-26.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-06-04). "Trias van Deventer, Politik Balas Budi Belanda Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-26. Diakses tanggal 2023-05-26.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-09-13). "Latar Belakang Berdirinya Budi Utomo beserta Tujuannya Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-04. Diakses tanggal 2023-05-26.
- ^ Sudiyo, Peter; Santano, Dalimun; Nugroho, Agus; Suwardi, Edy (1997). Sejarah pergerakan nasional Indonesia dari Budi Utomo sampai dengan pengakuan kedaulatan (PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2023-04-20. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ^ Parinduri, Alhidayath (23 Februari 2021). "Sejarah Boedi Oetomo: Didirikan Oleh Siapa Saja dan Latar Belakang". Tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-04-22. Diakses tanggal 24 November 2021.
- ^ Matanasi, Petrik (13 Oktober 2020). "Kiprah Haji Samanhudi, Pedagang Batik dan Perintis Sarekat Islam". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-29. Diakses tanggal 26 November 2021.
- ^ a b Ahsan, Ivan Aulia (8 Desember 2018). "Peran Besar Tirto Adhi Soerjo dalam Sejarah Pergerakan Nasional". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-29. Diakses tanggal 26 November 2021.
- ^ "Mengenal Tujuan Sarekat Islam, Lengkap beserta Sejarahnya". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). 2021-10-13. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-29. Diakses tanggal 2023-05-29.
- ^ Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Timur. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1977-01-01.
- ^ "PERJUANGAN ERNEST FRANCOIS EUGENE DOUWES DEKKER DARI POLITIK MENUJU PENDIDIKAN 1913-1941" (Pdf). AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. Diakses tanggal 3 Maret 2022.[pranala nonaktif permanen]
- ^ Slamet Muljana (2007) Sejarah. Sumatera Barat: Yudhistira Ghalia Indonesia. Hal 37-38. ISBN 9790191391
- ^ Tsuchiya, Kenji (1992). Demokrasi dan kepemimpinan : kebangkitan gerakan Taman Siswa. H. B. Yassin (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-419-5. OCLC 221655803.
- ^ developer, mediaindonesia com. "Mengenal Tokoh Tiga Serangkai, Peranannya dalam Indische Partij". mediaindonesia.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-05. Diakses tanggal 2023-06-05.
- ^ "Als Ik Eens Nederlander Was". GURU BERBAGI (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-05. Diakses tanggal 2023-06-05.
- ^ "marxist.com". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-03-17. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ^ a b c Sinaga, Edward Djanner (1960). Communism and the Communist Party in Indonesia (Tesis MA Thesis). George Washington University School of Government.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-04-06). "Sarekat Islam: Latar Belakang, Perkembangan, dan Perpecahan Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-05-31. Diakses tanggal 2023-05-31.
- ^ Jarvis, Helen (1991). Notes and appendices for Tan Malaka, From Jail to Jail. Athens, Ohio: Ohio University Center for International Studies.
- ^ Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, 1992.
- ^ Media, Kompas Cyber (2020-02-12). "Perhimpunan Indonesia: Organisasi Pertama yang Pakai Istilah Indonesia Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-14. Diakses tanggal 2023-06-08.
- ^ Revitalisasi Keindonesiaan, Kompas 28 Oktober 2005
- ^ JP, Slamet (2020-10-29). "Perkumpulan Pemuda Pencetus Sumpah Pemuda". Kompaspedia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-12. Diakses tanggal 2023-06-12.
- ^ a b Media, Kompas Cyber (2021-12-29). "Kongres Pemuda I: Latar Belakang, Tujuan, Ketua, dan Hasil Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-08. Diakses tanggal 2023-06-08.
- ^ Kongres Sumpah Pemuda - Pemerintah Kota Surakarta.
- ^ "Mohamad Tabrani: Pelopor Bahasa Indonesia". Republika Online. 2019-11-23. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-18. Diakses tanggal 2023-06-09.
- ^ a b "Sejarah Pemberontakan Berdarah Pertama PKI pada 1926-1927". SINDOnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-08. Diakses tanggal 2023-06-07.
- ^ Prinada, Yuda. "Sejarah Pemberontakan PKI 1926-1927 di Sumatera Terhadap Belanda". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-07. Diakses tanggal 2023-06-07.
- ^ Majalah Tempo, Edisi Khusus 80 Tahun Sumpah Pemuda, 27 Oktober 2008
- ^ a b Noer, Deliar (2012). Jaap Erkelens, ed. Mohammad Hatta:Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ISBN 978-979-709-633-5.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-12-03). ""Indonesia Merdeka," Pidato Pembelaan Hatta Saat Ditahan di Belanda Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-14. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ^ a b Soejitno, Hardjosoediro (1984). Kronologi Pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Parmita.
- ^ Maulana, Doni (2018-04-18). "Indonesische Studieclub (lSC)". Data dan Informasi (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-13. Diakses tanggal 2023-06-13.
- ^ "Riwayat Berdirinya PNI". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. 2016-07-15. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-14. Diakses tanggal 2021-07-27.
- ^ Yance Arizona. "Indonesia Menggugat". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-13. Diakses tanggal 29 Mei 2014.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-08-08). "Isi Pidato Indonesia Menggugat Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-13. Diakses tanggal 2023-06-13.
- ^ a b c Media, Kompas Cyber (2022-04-09). "Kongres Pemuda II, Lahirnya Sumpah Pemuda Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-09. Diakses tanggal 2023-06-09.
- ^ Hariyadi, Mathias (2019-10-29). "Mapping Video di Gereja Katedral Jakarta: Kilas Balik Sejarah Sumpah Pemuda 1928 (1) | SESAWI.NET" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-09. Diakses tanggal 2023-06-09.
- ^ "Menguak 3 Tempat Yang Jadi Saksi Lahirnya Sumpah Pemuda". Traveling Yuk (dalam bahasa Inggris). 2019-10-28UTC10:30:43. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-09. Diakses tanggal 2023-06-09.
- ^ Haryanto, Alexander. "Sejarah Lirik Lagu Indonesia Raya dalam Hari Sumpah Pemuda". tirto.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-12. Diakses tanggal 2023-06-12.
- ^ "Museum Sumpah Pemuda". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-06-25. Diakses tanggal 2009-09-27.
- ^ Liputan6.com (2020-12-22). "22 Desember 1930: Indonesia Menggugat dan Vonis 4 Tahun Penjara Bung Karno". liputan6.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-13. Diakses tanggal 2023-06-13.
- ^ Cribb, Robert; Kahin, Audrey (2004). Historical Dictionary of Indonesia. Scarecrow Press Inc. ISBN 978-0-8108-4935-8.
- ^ Sukarno; Adams, Cindy (1965). Sukarno, An Autobiography. The Bobbs-Merrill Company Inc. hlm. 79–80.
- ^ Liberti, Pasti. "Persahabatan Sukarno-Roosseno dan Masjid Istiqlal". detikx. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ^ "SUKARNO; Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Mentjapai Indonesia Merdeka: hlm. 257-324". perpusbungkarno.perpusnas.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-18. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-08-19). "4 Tahun Bung Karno Diasingkan di Ende hingga Merenungkan Pancasila Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-08-04). "Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu, Saksi Bisu Perjuangan Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ^ Media, Kompas Cyber (2022-12-04). "Mengapa Mohammad Hatta Dibuang ke Boven Digoel? Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ^ Indonesia, C. N. N. "Spirit Juang dari Rumah Bung Hatta dan Sjahrir di Banda Neira". gaya hidup. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ^ Fatimah, Siti. "Cerita Bung Hatta dan Sjahrir Usai Keluar dari Rumah Tahanan di Sukabumi". detikjabar. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-14.
- ^ Anjani, Anatasia. "Mengenal Sekolah yang Didirikan Kartini, Berawal dari Surat-suratnya". detikedu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ^ Media, Kompas Cyber (2021-05-20). "Raden Dewi Sartika: Kehidupan, Gagasan, dan Kiprahnya Halaman all". KOMPAS.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-02. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ^ Wulandari, Trisna. "Hari Pendidikan Nasional: Nama Asli Ki Hajar Dewantara dan Alasan Perubahannya". detikedu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ^ Zulfikar, Fahri. "Sekolah Taman Siswa Ki Hajar: Konsep Pendidikan Tanpa 'Perintah dan Sanksi'". detikedu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ^ SMP, Admin (2022-05-06). "Yuk Mengenal Sekolah Taman Siswa Milik Ki Hajar Dewantara". Direktorat SMP. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-16. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ^ Kwartir Nasional Gerakan Pramuka (2022-01-07). "Kepanduan Indonesia". Gerakan Pramuka Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-08-06. Diakses tanggal 2023-06-16.
- ^ Ricklefs, M.C. (1991). A Modern History of Indonesia, 2nd edition. MacMillan. chapters 14–15. ISBN 0-333-57690-X.
- ^ Amersfoort, Herman; Kamphuis, Piet, ed. (2005), Mei 1940 — De Strijd op Nederlands grondgebied (dalam bahasa Belanda), Den Haag: Sdu Uitgevers, ISBN 90-12-08959-X
- ^ Benda, Harry S. (1956). "The Beginnings of the Japanese Occupation of Java". The Far Eastern Quarterly. 14 (4): 541–560. doi:10.2307/2941923. JSTOR 2941923.
- ^ ZWEERS, L. (1995). Agressi II: Operatie Kraai. De vergeten beelden van de tweede politionele actie. Den Haag: SDU uitgevers.
- ^ van der Bijl, Nick. Confrontation, The War with Indonesia 1962–1966, (London, 2007) ISBN 978-1-84415-595-8
- ^ Wibowo, Sigit, Sjarifuddin. Ekonomi Indonesia Gagal karena Mafia Berkeley, Harian Umum Sore Sinar Harapan. Copyright © Sinar Harapan 2003. Diakses: Selasa, 6 Agustus 2008.
- ^ "The Carter Center 2004 Indonesia Election Report" (PDF) (Siaran pers). Laporan dari Carter Center. 2004. hlm. 30. Diakses tanggal 29 Juli 2008. "Salinan arsip" (PDF). Archived from the original on 2007-06-14. Diakses tanggal 2008-07-29.
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan