Sejarah Gereja Katolik
Bagian dari seri tentang |
Gereja Katolik |
---|
Ikhtisar |
Portal Katolik |
Menurut tradisi suci Kristen Katolik, sejarah Gereja Katolik berpangkal pada pribadi dan ajaran Yesus Kristus (sekitar tahun 4 pra-Masehi – sekitar tahun 30 Masehi), dan Gereja Katolik adalah kesinambungan dari paguyuban umat Kristen perdana yang dibentuk murid-murid Yesus.[1] Gereja Katolik memuliakan uskup-uskupnya sebagai para pengganti rasul-rasul Yesus, dan memuliakan Uskup Roma sebagai satu-satunya pengganti Santo Petrus,[2] rasul yang berkarya di kota Roma pada abad pertama Masehi sesudah ditetapkan Yesus menjadi kepala Gereja.[3][4] Pada akhir abad ke-2, para uskup mulai menyelenggarakan muktamar-muktamar tingkat daerah guna menuntaskan berbagai permasalahan terkait ajaran dan kebijakan.[5] Pada abad ke-3, Uskup Roma mulai menjadi semacam hakim agung, penuntas perkara-perkara yang tidak dapat dituntaskan uskup-uskup lain.[6]
Agama Kristen tersebar ke seantero wilayah Kekaisaran Romawi, kendati dianiaya karena bertentangan dengan kepercayaan pagan yang kala itu berstatus agama negara. Aniaya baru reda sesudah agama Kristen dilegalkan Kaisar Konstantinus I pada tahun 313. Pada tahun 380, agama Kristen Katolik ditetapkan Kaisar Teodosius I menjadi agama negara Kekaisaran Romawi. Agama Kristen menjadi agama negara Kekaisaran Romawi sampai Kekaisaran Romawi Barat runtuh, dan bertahan menjadi agama negara Kekaisaran Romawi Timur sampai kota Konstantinopel jatuh ke tangan bangsa Turki. Konsili Ekumene yang pertama sampai dengan yang ke-7 terselenggara pada masa-masa agama Kristen menjadi agama negara. Menurut sejarawan Gereja, Eusebius, ada lima keuskupan terkemuka ketika itu, yakni keuskupan Roma, keuskupan Konstantinopel, keuskupan Antiokhia, keuskupan Yerusalem, dan keuskupan Aleksandria. Kelima keuskupan ini disebut Pancatantra (bahasa Yunani: Πενταρχία, Pentarkia; bahasa Latin: Pentarchia).
Pertempuran di Toulouse mampu mempertahankan eksistensi Gereja Katolik di belahan Dunia Barat, meskipun Roma diluluhlantakkan pada tahun 850, dan Konstantinopel sudah terkepung. Pada abad ke-11, kerenggangan silaturahmi antara Gereja Yunani di Dunia Timur dan Gereja Latin di Dunia Barat akhirnya bermuara pada Skisma Akbar. Salah satu pemicunya adalah sengketa seputar ruang lingkup kewenangan Uskup Roma. Perang Salib IV dan aksi penjarahan kota Konstantinopel yang dilakukan Laskar Salib membuat perpecahan ini menjadi paripurna. Pada abad ke-16, Gereja Katolik menanggapi gerakan Reformasi Protestan dengan gerakan pembaharuan internal yang dikenal dengan sebutan Kontra Reformasi.[7] Pada abad-abad selanjutnya, agama Kristen Katolik menyebar ke segenap penjuru dunia, meskipun jumlah pemeluknya di Eropa mengalami penurunan akibat pertumbuhan agama Kristen Protestan dan maraknya sikap skeptis terhadap agama pada Abad Pencerahan maupun sesudahnya. Konsili Vatikan II, yang diselenggarakan pada era 1960-an, merupakan konsili yang menghasilkan perubahan-perubahan paling penting dalam amalan-amalan Gereja Katolik selepas Konsili Trento, empat abad sebelumnya.
Kelahiran Gereja
Asal mula
Menurut tradisi suci Kristen Katolik, Gereja Katolik didirikan Yesus Kristus sendiri. Kitab Suci Perjanjian Baru meriwayatkan kiprah dan ajaran Yesus, bagaimana ia memilih kedua belas rasulnya, serta amanatnya kepada mereka untuk melanjutkan karyanya.[8][9] Gereja Katolik mengajarkan bahwa peristiwa turunnya Roh Kudus ke atas para rasul pada hari Pentakosta, menandai permulaan kiprah Gereja Katolik di muka umum.[10] Umat Katolik yakin bahwa Santo Petrus adalah Uskup Roma yang pertama, sekaligus rasul yang menahbiskan Linus menjadi Uskup Roma berikutnya, dan oleh karena itu adalah cikal bakal dari suksesi apostolik yang terus berkesinambungan sampai kepada Uskup Roma saat ini, Fransiskus. Dengan kata lain, Gereja Katolik memelihara kesinambungan suksesi apostolik Uskup Roma selaku pengganti Santo Petrus, yang lazim dikenal dengan sebutan "Sri Paus".[11]
Menurut Injil Matius, Kristus menetapkan Petrus menjadi "cadas" yang melandasi Gerejanya, karena ia mengakui Yesus sebagai Kristus.[12][13] Meskipun sebagian ahli telah menegaskan bahwa Petrus adalah Uskup Roma yang pertama,[14][a] sebagian lainnya berpendapat bahwa keberadaan lembaga kepausan tidak bergantung pada keyakinan bahwa Petrus adalah Uskup Roma, bahkan tidak bergantung pula pada keyakinan bahwa Petrus pernah tinggal di Roma.[15] Banyak ahli meyakini bahwa struktur kepemimpinan Gereja Perdana di kota Roma mula-mula terdiri atas sekumpulan imam atau sekumpulan uskup, sebelum berkembang menjadi struktur kepemimpinan yang terdiri atas satu orang uskup dan sekumpulan imam pada abad ke-2,[16][b] dan sebutan "Uskup Roma" sesungguhnya baru kemudian hari dilekatkan para pujangga pada nama para mendiang rohaniwan Roma terkemuka, termasuk Petrus.[16] Bertolak dari pandangan semacam ini, Oscar Cullmann[18] dan Henry Chadwick[19] mempertanyakan keberadaan kaitan resmi antara Petrus dan lembaga kepausan modern, sementara Raymond E. Brown mengemukakan bahwa sekalipun penyebutan Petrus sebagai uskup lokal kota Roma dalah tindakan anakronistis, umat Kristen pada masa hidup Petrus sudah tentu menganggap Petrus memiliki "peran-peran tertentu yang menjadi pangkal perkembangan peran lembaga kepausan dalam Gereja pada masa-masa selanjutnya". Menurutnya, peran-peran tersebut "sangat mempengaruhi pembentukan anggapan bahwa Uskup Roma, uskup dari kota tempat Petrus wafat dan tempat Paulus bersaksi tentang kebenaran Kristus, adalah pengganti Petrus, pengemban tugas penggembalaan Gereja semesta".[16]
Organisasi perdana
Keadaan Kekaisaran Romawi kala itu memang memungkinkan tersebarnya gagasan-gagasan baru. Jaringan jalan raya serta jaringan perhubungan laut dan perairan darat, yang dibina dan dipelihara dengan baik oleh negara, mempermudah orang untuk melakukan perjalanan jauh, sementara Pax Romana membuat orang leluasa bepergian dari satu daerah ke daerah lain tanpa perlu mengkhawatirkan gangguan keamanan. Pemerintah mendorong rakyat, terutama yang tinggal di kota-kota, untuk belajar bahasa Yunani. Penguasaan basantara ini memudahkan rakyat di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi untuk mengungkapkan gagasan masing-masing dan memahami gagasan orang lain.[20] Rasul-rasul Yesus mendapatkan pengikut-pengikut baru dari paguyuban-paguyuban umat Yahudi di seluruh Mediterania.[21] Pada tahun 100, sudah terbentuk kurang lebih 40 paguyuban umat Kristen.[22] Meskipun sebagian besar terbentuk di wilayah Kekaisaran Romawi, paguyuban-paguyuban umat Kristen juga terbentuk di Armenia, Iran, dan daerah Pesisir Malabar di India.[23][24] Agama baru ini memikat banyak orang, khususnya di kota-kota. Agama Kristen mula-mula tersiar di kalangan budak belian dan masyarakat kelas bawah, tetapi kemudian menyebar pula di kalangan bangsawati Romawi.[25]
Umat Kristen mula-mula beribadat bersama-sama dengan umat Yahudi, sehingga disebut umat Kristen Yahudi oleh para sejarawan, tetapi dalam jangka waktu dua puluh tahun sesudah Yesus wafat, hari Minggu dijadikan hari peribadatan utama.[26] Setelah para pewarta injil, semisal Paulus asal Tarsus, mulai mendapatkan pengikut baru dari kalangan non-Yahudi, ajaran Kristen lambat laun tercerabut dari amalan-amalan agama Yahudi[21] dan tumbuh menjadi agama tersendiri.[27] Kaitan Paulus dengan agama Yahudi masih menjadi pokok perdebatan sampai sekarang. Demi merukunkan perbedaan ajaran kedua kubu yang saling bersaing di dalam tubuh Gereja, para rasul menyelenggarakan muktamar tingkat dunia yang pertama dalam sejarah Gereja, yakni Konsili Yerusalem, sekitar tahun 50. Konsili ini menetapkan bahwa orang-orang non-Yahudi dibenarkan menjadi umat Kristen tanpa perlu mematuhi seluruh hukum Musa.[5] Ketegangan yang timbul tak lama kemudian kian memperlebar jarak antara umat Kristen dan umat Yahudi. Keterpisahan ini nyaris paripurna ketika umat Kristen menolak ikut berjuang membantu umat Yahudi dalam Pemberontakan Bar Kohba pada tahun 132.[28] Meskipun demikian, sejumlah paguyuban umat Kristen masih melestarikan unsur-unsur amalan agama Yahudi.[29]
Menurut beberapa sejarawan dan ahli, organisasi Gereja perdana tidaklah kaku, sehingga membuka peluang bagi munculnya bermacam-macam tafsir terhadap keyakinan-keyakinan Kristen.[30] Agar ajaran-ajarannya semakin mapan, paguyuban-paguyuban umat Kristen menciptakan hierarki yang lebih tertata menjelang akhir abad ke-2. Hierarki tersebut berpuncak pada satu orang uskup dengan kewenangan mengatasi semua rohaniwan di kota kediamannya.[31] Tatanan semacam ini terus berkembang, dan kemudian hari melahirkan jabatan uskup ibu kota (bahasa Yunani: μητροπολίτης, metropolites; bahasa Latin: metropolita). Organisasi Gereja pun mulai diserupakan dengan organisasi negara. Uskup-uskup di kota-kota penting dalam bidang politik memiliki kewenangan mengatasi uskup-uskup di kota-kota sekitarnya.[32] Gereja di kota Antiokhia, Aleksandria, dan Roma berada pada tataran yang paling tinggi.[33] Pada abad ke-2, uskup-uskup mulai sering berkumpul dan bermusyawarah dalam muktamar-muktamar tingkat daerah guna menuntaskan berbagai permasalahan seputar ajaran dan kebijakan.[5] Eamon Duffy berpendapat bahwa pada abad ke-3, Uskup Roma mulai menjadi semacam hakim agung, penuntas perkara-perkara yang tidak dapat dituntaskan uskup-uskup lain.[6]
Ajaran Gereja kian murni berkat jasa sejumlah teolog dan guru terpandang, yang disebut bapa-bapa Gereja.[34] Semenjak tahun 100, guru-guru proto-Ortodoks seperti Ignasius, Uskup Antiokhia, dan Ireneus, Uskup Lugdunum, merumuskan ajaran Katolik sedemikian rupa sehingga sangat bertolak belakang dengan ajaran-ajaran kerohanian lainnya, misalnya ajaran-ajaran Gnostik.[35] Ajaran dan tradisi Kristen disatupadukan di bawah pengaruh ahli-ahli hujah seperti Paus Klemens I, Yustinus Martir, dan Agustinus, Uskup Hipo.[36]
Aniaya
Berbeda dari kebanyakan agama lain di Kekaisaran Romawi, agama Kristen menuntut para pemeluknya untuk mendustakan semua ilah lain. Tuntutan ini adalah amalan yang diserap dari agama Yahudi. Penolakan untuk ikut serta merayakan hari-hari besar pagan membuat umat Kristen dengan sendirinya tersisih dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Warga non-Kristen, termasuk pejabat-pejabat pemerintah, khawatir sikap umat Kristen ini akan membangkitkan murka dewa-dewi, sehingga mengancam ketenteraman dan kesejahteraan negara. Selain itu, keakraban istimewa antarsesama pemeluk dan kerahasiaan amalan-amalan agama Kristen menimbulkan desas-desus bahwa umat Kristen mengamalkan sumbang pati dan kanibalisme. Kendati biasanya bersifat lokal dan sporadis, aksi-aksi penganiayaan terhadap umat Kristen yang timbul akibat desas-desus ini merupakan salah satu unsur pembentuk wawasan diri umat Kristen sampai agama Kristen dilegalkan pada abad ke-4.[37][38] Serangkaian aniaya yang lebih terencana terhadap umat Kristen dilancarkan pada akhir abad ke-3, ketika kaisar-kaisar memaklumkan kepada rakyat bahwa krisis militer, politik, dan ekonomi yang tengah melanda negara adalah wujud dari murka dewa-dewi. Semua orang yang tinggal di wilayah Kekaisaran Romawi diperintahkan untuk mempersembahkan kurban kepada dewa-dewi dengan ancaman pidana.[39] Umat Yahudi dikecualikan dari perintah ini jika bersedia membayar pajak khusus Yahudi. Jumlah umat Kristen yang dihukum mati berkisar dari beberapa ratus sampai 50.000 jiwa.[40] Banyak orang terpaksa mengungsi,[41] bahkan murtad. Silang pendapat seputar status orang-orang murtad yang kembali ke haribaan Gereja menjadi pangkal dari skisma sempalan Donatisme dan sempalan Novasianisme.[42]
Sekalipun umat Kristen berulang kali dianiaya, usaha-usaha pewartaan Injil terus berjalan, dan pada akhirnya membuahkan Maklumat Milan tahun 313, yang melegalkan keberadaan agama Kristen di negara Kekaisaran Romawi.[43] Pada tahun 380, agama Kristen sudah menjadi agama negara Kekaisaran Romawi.[44] Dalam tulisannya, filsuf religius Simone Weil mengemukakan bahwa "pada zaman Konstantinus, pengharapan akan akhir zaman tentu sudah lumayan menipis. Kedatangan Kristus yang sudah di ambang pintu, yakni pengharapan akan hari kiamat, merupakan 'bahaya sosial yang sangat besar.' Selain itu, semangat hukum lama, yang begitu jauh berseberangan dengan segala hal yang berbau mistik, tidaklah terlampau berbeda dari semangat bangsa Romawi itu sendiri. Roma dapat menyelaraskan diri dengan Allah Semesta Alam."[45]
Akhir Abad Kuno
Ketika dinobatkan menjadi kaisar atas provinsi-provinsi wilayah barat Kekaisaran Romawi pada tahun 312, Konstantinus mengungkapkan bahwa kejayaan yang ia raih semata-mata adalah anugerah dari Allah yang disembah umat Kristen. Banyak prajurit dalam angkatan bersenjatanya adalah pemeluk agama Kristen, dan angkatan bersenjatanya adalah penopang kekuasaannya. Bersama Lisinius, kaisar atas provinsi-provinsi wilayah timur Kekaisaran Romawi, Konstantinus menerbitkan Maklumat Milan, yang mewajibkan sikap toleransi terhadap semua agama di Kekaisaran Romawi. Maklumat ini tidak banyak mempengaruhi sikap dan perilaku warga negara.[46] Berbagai undang-undang baru dirumuskan untuk membakukan beberapa pokok keyakinan dan amalan Kristen.[c][47] Jasa terbesar Konstantinus bagi agama Kristen adalah pengayomannya. Ia menghibahkan tanah maupun dana dalam jumlah besar kepada Gereja, serta menganugerahkan pengecualian pajak dan berbagai keistimewaan lain atas harta benda Gereja maupun kepada para rohaniwan.[48] Semua anugerah tersebut maupun anugerah-anugerah lain yang kemudian hari diterima Gereja membuat Gereja menjadi pemilik tanah terluas di wilayah barat Kekaisaran Romawi pada abad ke-6.[49] Banyak dari anugerah-anugerah tersebut berasal dari pajak yang dibebankan atas lembaga-lembaga amal pagan.[48] Sejumlah lembaga amal ini terpaksa bubar akibat kekurangan dana, sehingga peran mereka selaku penyantun fakir miskin diambil alih Gereja.[50] Sebagai cerminan dari kedudukan yang kian menanjak naik di tengah masyarakat Kekaisaran Romawi, kaum rohaniwan mulai berpakaian selayaknya orang-orang di lingkungan istana, antara lain dengan mengenakan korkap.[51]
Pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus, kira-kira separuh dari orang-orang yang mengaku memeluk agama Kristen tidak tergolong anggota jemaat Kristen arus utama.[52] Karena khawatir ketidakbersatuan umat Kristen tidak berkenan kepada Allah dan akan mendatangkan malapetaka bagi negara, Kaisar Konstantinus membubarkan sejumlah sempalan Kristen lewat aksi militer maupun jalur hukum.[53] Untuk menyelesaikan berbagai sengketa lain, Kaisar Konstantinus memprakarsai penyelenggaraan konsili ekumene, muktamar waligereja sedunia, guna menetapkan tafsir-tafsir doktrin Gereja yang bersifat mengikat.[54]
Ketetapan mengenai keilahian Kristus yang dihasilkan Konsili Nicea pada tahun 325 menimbulkan skisma. Sempalan baru, yang disebut Arianisme, berkembang di luar wilayah Kekaisaran Romawi.[55] Guna membedakan dirinya dari kaum penganut Arianisme, Gereja Katolik mengedepankan devosi kepada Bunda Maria. Kebijakan ini justru menimbulkan skisma-skisma baru.[56][57]
Pada tahun 380, agama Kristen arus utama, lawan dari sempalan Arianisme, dijadikan agama resmi negara Kekaisaran Romawi.[58] Agama Kristen kian lama kian identik dengan negara Kekaisaran Romawi, sampai-sampai menjadi biang keladi penganiayaan terhadap umat Kristen di negara-negara lain, lantaran para penguasa di negara-negara tersebut khawatir umat Kristen akan memberontak demi mendukung Kaisar Romawi.[59] Dengan status dan kewenangan barunya selaku agama resmi negara, Gereja menjatuhkan pidana mati sebagai hukuman bagi ahli bidah Kristen untuk pertama kalinya pada tahun 385, yakni pidana mati kepada Prisilianus.[60]
Pada kurun waktu inilah, senarai kitab-kitab yang patut dihormati sebagai Kitab Suci untuk pertama kalinya ditetapkan dalam konsili-konsili atau sinode-sinode waligereja melalui tahap-tahap 'kanonisasi' resmi. Sebelum konsili-konsili atau sinode-sinode ini diselenggaraan, susunan kitab-kitab yang dianggap suci sudah hampir sama dengan susunan Alkitab yang ada sekarang ini. Berdasarkan sejumlah keterangan tertulis, Konsili Roma secara resmi mengakui kanon Alkitab untuk pertama kalinya pada tahun 382, dengan menetapkan daftar kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang sahih. Terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Latin, yang dikenal dengan sebutan Vulgata, dikerjakan pada tahun 391.[61] Berdasarkan sejumlah keterangan tertulis lain, Konsili Kartago tahun 397 adalah konsili yang menetapkan susunan Alkitab yang paripurna sebagaimana yang ada sekarang ini.[62] Konsili Efesus tahun 431 mempertegas kodrat inkarnasi Yesus, dengan menyatakan bahwa Yesus adalah manusia yang seutuhnya sekaligus Allah yang seutuhnya.[63] Dua dasawarsa kemudian, Konsili Kalsedon mengukuhkan primasi Paus Roma, sehingga kian meretakkan hubungan baik antara Roma dan Konstantinopel, pusat utama Gereja Timur.[64] Selain itu, muncul pula sengketa monofisitisme tentang bagaimana persisnya kodrat inkarnasi Yesus. Sengketa ini bermuara pada perpecahan antara Gereja Katolik dan Gereja-Gereja yang tergabung dalam persekutuan Gereja Ortodoks Oriental.[65]
Abad Pertengahan
Awal Abad Pertengahan
Sesudah pemerintahan wilayah barat Kekaisaran Romawi tumbang pada tahun 476, agama Kristen Katolik bersaing dengan sempalan Arianisme dalam mencari pengikut baru dari suku-suku barbar.[66] Agama Kristen Katolik mulai berkembang dengan lancar di kawasan barat Eropa sesudah Klovis I, raja orang Franka, melepaskan kepercayaan nenek moyangnya dan memeluk agama Kristen Katolik pada tahun 496.[67]
Pada tahun 530, Santo Benediktus menyusun Regula Benediktus sebagai panduan praktis dalam menjalani kehidupan sehari-hari di biara. Regula ini tersebar ke biara-biara di seantero Eropa.[68] Biara-biara menjadi saluran utama peradaban yang melestarikan berbagai keterampilan, kemahiran, dan budaya intelektual di sekolah-sekolah, skriptorium-skriptorium, dan perpustakaan-perpustakaannya. Selain menjadi pusat kehidupan rohani, biara-biara juga menjadi pusat kegiatan pertanian, ekonomi, dan produksi.[69] Pada kurun waktu inilah orang Visigoth dan orang Lombardi meninggalkan sempalan Arianisme dan memeluk agama Kristen Katolik.[67] Paus Gregorius Agung sangat berjasa mengubah keyakinan orang Visigoth dan orang Lombardi, menata ulang struktur dan administrasi Gereja, serta melancarkan usaha-usaha baru untuk menyebarkan agama Kristen.[70] Pada abad-abad selanjutnya, misionaris-misionaris dari Roma (misalnya Santo Agustinus dari Canterbury yang diutus untuk menyebarkan agama Kristen di tengah-tengah suku bangsa Angli-Saksen) maupun misionaris-misionaris dari Irlandia dan Skotlandia (antara lain Santo Kolumbanus, Santo Bonifasius, Santo Wilibrordus, Santo Anskarius) menyiarkan agama Kristen sampai ke kawasan utara Eropa, dan mewartakan iman Katolik kepada suku-suku Jermani, suku-suku Slav, dan suku Viking maupun suku-suku lain di Skandinavia.[71] Sekalipun tidak bersifat mutlak sebagaimana yang diklaim sebagian pihak, Sinode Whitby tahun 664 adalah peristiwa penting yang menyatukan kembali Gereja Kelt di Kepulauan Inggris dengan hierarki Gereja Roma, sesudah putus hubungan akibat invasi suku-suku pagan. Di Italia, akta hibah Sutri tahun 728 dan akta hibah Pipin tahun 756 membuat Sri Paus menjadi penguasa sebuah kerajaan dengan wilayah yang cukup luas. Akta hibah Konstantinus, yang mungkin sekali direkayasa pada abad ke-8, semakin mengukuhkan kekuasaan Sri Paus atas bekas wilayah barat Kekaisaran Romawi.
Pada permulaan abad ke-8, kebijakan anti-ikon di Romawi Timur menjadi biang keladi utama sengketa antara Gereja Timur dan Gereja Barat. Kaisar-kaisar Romawi Timur melarang warganya membuat maupun menghormati gambar orang-orang suci, karena dinilai menyalahi Dasa Titah. Agama-agama besar lain di Dunia Timur, seperti agama Yahudi dan agama Islam, juga memiliki larangan serupa. Paus Gregorius III menentang keras larangan ini.[72] Irene, permaisuri kaisar baru yang sehaluan dengan Sri Paus, menggelar sebuah konsili ekumene untuk menuntaskan permasalahan ini. Pada tahun 787, bapa-bapa (waligereja yang menghadiri) Konsili Nikea II "menyambut hangat kedatangan rombongan perutusan yang membawa surat dari Sri Paus".[73] Dalam sidang penutup yang dipimpin wakil-wakil Paus Hadrianus I,[74] 300 bapa konsili "menerima ajaran Sri Paus"[73] yang membenarkan tindakan membuat dan menghormati ikon.
Dengan penobatan Karel Agung oleh Paus Leo III pada tahun 800, maupun pemberian gelar Patricius Romanorum dan penyerahan kunci Makam Santo Petrus kepadanya, lembaga kepausan mendapatkan pengayom baru di belahan Dunia Barat. Dukungan pengayom baru membuat para paus sampai taraf tertentu merdeka dari kekuasaan kaisar di Konstantinopel, tetapi pengayom baru juga menjadi salah satu sebab Skisma Akbar. Sedari awal perjalanan sejarah Gereja, para Kaisar Romawi Timur dan para Batrik Konstantinopel memandang diri mereka sebagai penerus sejati Kekaisaran Romawi.[75] Ketika Paus Nikolaus I menolak mengakui kesahihan jabatan Batrik Konstantinopel yang disandang Fotios I, Sang Batrik pun menuding Sri Paus sebagai ahli bidah karena mempertahankan frasa filioque dalam syahadat, yang ia anggap sama saja dengan percaya bahwa Roh Kudus keluar dari Bapa "dan Putra". Dukungan pengayom baru memang memperkuat lembaga kepausan, tetapi dalam jangka panjang justru menciptakan masalah baru bagi para paus, yakni kontroversi investitur, ketika para Kaisar Romawi Suci berusaha menempatkan orang-orang kepercayaannya pada jabatan uskup, bahkan jabatan paus.[76][77] Sesudah Kekaisaran Wangsa Karoling terpecah belah, dan pasukan-pasukan Muslim mulai gencar merongrong Semenanjung Italia, lembaga kepausan pun memasuki kurun waktu ketidakberdayaan tanpa pengayom sama sekali.[78]
Puncak Abad Pertengahan
Usaha pembaharuan biara yang berlangsung Cluny pada tahun 910 menundukkan para abas di bawah kendali langsung Sri Paus, alih-alih di bawah kendali penguasa-penguasa feodal, dan dengan demikian menghilangkan salah satu biang keladi utama korupsi. Kenyataan ini memicu pembaharuan besar-besaran di biara-biara.[79] Baik biara-biara, rumah-rumah tarekat, maupun gereja-gereja katedral masih tetap menjalankan hampir semua sekolah serta perpustakaan, dan kerap menjalankan pula usaha simpan-pinjam yang mendorong pertumbuhan ekonomi.[80][81] Selepas tahun 1100, beberapa sekolah katedral dipecah menjadi sekolah tata bahasa dan sekolah tinggi yang mengajarkan mata-mata pelajaran lanjutan. Banyak dari sekolah-sekolah tinggi tersebut berkembang menjadi universitas, leluhur lembaga-lembaga pendidikan modern di Dunia Barat. Perkembangan ini mula-mula berlangsung di Bologna, disusul Paris dan Oxford.[82] Di universitas-universitas inilah para teolog terkemuka berusaha menjelaskan hubungan pengalaman hidup dengan iman manusia.[83] Santo Tomas Aquinas, teolog yang paling terkemuka, menghasilkan Summa Theologica, karya ilmiah penting yang merupakan sintesis filsafat Aristoteles dan injil.[83] Sumbangsih biara bagi masyarakat Dunia Barat mencakup penyebarluasan kepandaian mengolah logam, budi daya tanaman-tanaman pangan baru, penciptaan notasi musik, dan penyusunan maupun pelestarian karya-karya sastra.[82]
Skisma Akbar yang memecah belah agama Kristen terjadi pada abad ke-11.[84] Skisma ini timbul akibat sengketa antara Konstantinopel dan Roma mengenai siapa yang berwenang membawahi Gereja di Sisilia, dan bermuara pada aksi saling ekskomunikasi pada tahun 1054.[84] Sejak saat itu, umat Kristen Latin dikenal dengan sebutan Gereja Katolik, dan umat Kristen Yunani dikenal dengan sebutan Gereja Ortodoks.[85][86] Baik Konsili Lyon II tahun 1274 maupun Konsili Firenze tahun 1439 gagal merukunkan kedua belah pihak.[87] Beberapa Gereja Timur telah kembali bersatu dengan Gereja Katolik, dan beberapa Gereja Timur lain mengaku tidak pernah keluar dari persekutuan dengan Sri Paus.[86][88] Secara resmi, kedua Gereja belum kembali bersatu, tetapi kedua belah pihak sudah menarik kembali pernyataan ekskomunikasi masing-masing pada tahun 1965.[89]
Pada abad ke-11, timbul kontroversi investitur antara Kaisar Romawi Suci dan Sri Paus, yakni sengketa mengenai hak mengangkat petinggi Gereja. Sengketa ini adalah tahap pertama dalam pertikaian berkepanjangan antara Gereja dan negara di Eropa pada Abad Pertengahan. Mula-mula lembaga kepausan tampil sebagai pihak yang unggul, tetapi karena masyarakat Italia terbelah menjadi golongan Guelfi dan golongan Gibellini yang seringkali diteruskan ke anak cucu sampai akhir Abad Pertengahan, lembaga kepausan lambat laun menjadi pihak yang lemah, terutama karena sengketa ini menyeret lembaga kepausan ke tengah arena politik. Gereja juga berusaha mengendalikan, atau mengutip pungutan dari perkawinan di kalangan ningrat dengan mengeluarkan larangan kawin sampai tujuh lapis turunan bagi pasangan dari dua keluarga sedarah (konsanguinitas) dan pasangan dari dua keluarga semenda (afinitas) pada tahun 1059. Dengan adanya larangan-larangan tersebut, hampir semua perkawinan di kalangan ningrat harus mendapatkan dispensasi dari Sri Paus. Pada tahun 1215, larangan-larangan ini dibatasi sampai empat lapis turunan saja, dan sekarang hanya terbatas pada satu satu lapis turunan, misalnya seorang laki-laki diharamkan mengawini putri tirinya.
Paus Urbanus II melancarkan Perang Salib yang pertama pada tahun 1095, setelah menerima permohonan bantuan dari Kaisar Romawi Timur Aleksios Komnenos untuk membendung invasi bangsa Turki.[90] Paus Urbanus juga yakin bahwa Perang Salib dapat membantu merukunkan Gereja Barat dengan Gereja Timur.[91][92] Laporan-laporan tentang kezaliman kaum Muslim terhadap umat Kristen[93] memicu pelancaran serangkaian kampanye militer mulai tahun 1096, yang dikenal dengan sebutan Perang Salib. Kampanye-kampanye militer ini dilancarkan dengan tujuan memulihkan kekuasaan umat Kristen atas Tanah Suci. Tujuan ini tidak kunjung terwujud secara permanen, dan aksi-aksi kejam yang dilakukan angkatan bersenjata kedua belak pihak meninggalkan warisan sikap saling curiga di antara umat Islam dan umat Kristen Gereja Barat maupun Gereja Timur.[94] Aksi penjarahan kota Konstantinopel yang terjadi pada masa Perang Salib IV membuat umat Kristen Timur merasa sangat terpukul dan kecewa, meskipun tahu bahwa Paus Inosensius III secara terang-terangan melarang aksi tersebut.[95] Pada tahun 2001, Paus Yohanes Paulus II memohon umat Kristen Ortodoks untuk mengampuni dosa-dosa umat Katolik, termasuk aksi penjarahan kota Konstantinopel tahun 1204.[96]
Ada dua langgam arsitektur gereja yang lahir pada kurun waktu ini. Langgam arsitektur yang lahir lebih dulu adalah langgam Romawi, yakni gaya arsitektur yang memadukan dinding-dinding raksasa dengan pelengkung-pelengkung bundar dan langit-langit batu. Ketiadaan jendela-jendela berukuran besar diimbangi dengan lukisan-lukisan berwarna-warni pada dinding ruangan yang bertemakan kisah-kisah Alkitab dan riwayat hidup orang-orang kudus. Basilika Saint-Denis menandai kemunculan trend baru di bidang arsitektur katedral, karena dibangun menggunakan gaya arsitektur Gothik.[97] Gaya arsitektur yang menghadirkan jendela-jendela besar serta pelengkung-pelengkung yang lancip dan tinggi ini membuat pencahayaan ruangan maupun keselarasan geometri bangunan menjadi lebih baik, dengan maksud untuk mengarahkan pikiran umat kepada Allah, "Sang Mahapengatur".[97] Pada abad ke-12, lahir empat tarekat kerahiban baru yang sebagian besar anggotanya berkiprah sebagai kesatria-kesatria militer dalam Perang Salib.[98] Santo Bernardus dari Clairvaux, rahib tarekat Sistersien, sangat besar pengaruhnya terhadap tarekat-tarekat baru ini, dan memprakarsai usaha-usaha pembaharuan demi memastikan kemurnian tujuan pembentukannya.[98] Berkat pengaruhnya yang besar, Paus Aleksander III melancarkan usaha-usaha pembaharuan yang melahirkan hukum kanon.[99] Pada abad berikutnya, Francesco di Bernardone dan Domingo de Guzmán mendirikan tarekat-tarekat fakir baru yang menghadirkan cara hidup bakti di tengah-tengah lingkungan perkotaan.[100]
Pada abad ke-12, muncul sempalan Katarisme di Languedoc, Prancis. Usaha-usaha untuk menanggulangi ajaran bidah inilah yang melahirkan lembaga inkuisisi. Setelah kaum Katar didakwa membunuh seorang utusan paus pada tahun 1208, Paus Inosensius III melancarkan Perang Salib Albigenses.[101] Berbagai tindakan penyalahgunaan kewenangan yang terjadi selama berlangsungnya Perang Salib ini mendorong Paus Inosensius III untuk membentuk lembaga inkuisisi kepausan secara informal guna mencegah tindakan-tindakan pembantaian lanjutan dan memberantas sisa-sisa kaum Katar sampai ke akar-akarnya.[102][103] Pada masa-masa jayanya, sesudah diformalisasi Paus Gregorius IX, lembaga inkuisisi Abad Pertengahan ini menghukum mati rata-rata tiga orang per tahun.[103][104] Seiring waktu, aksi-aksi inkuisisi lain juga dilancarkan
Gereja atau penguasa sekuler untuk menindas ahli bidah, untuk menghadapi ancaman invasi orang Moro, maupun untuk tujuan-tujuan politik.[105] Para terdakwa bidah diimbau untuk mengingkari kesesatannya jika ingin terhindar dari hukuman penitensi, denda, kurungan, atau bakar hidup-hidup.[105][106]
Bagian dari seri Gereja Katolik tentang |
Konsili oikumenis |
---|
Abad Klasik (± 50 – 451) |
Abad Pertengahan Awal (431–870) |
Abad Pertengahan Madya dan Abad Pertengahan Akhir (1122–1517) |
Zaman Modern (1545–1965) |
Portal Katolik |
Pada abad ke-14, pertentangan antara Gereja dan negara kian menjadi-jadi. Untuk melepaskan diri dari keadaan kalut di Roma, Paus Klemens V pindah ke Prancis pada tahun 1309, dan menjadi paus pertama dari tujuh orang paus yang bermastautin di kota benteng Avignon, kawasan selatan Prancis.[107] Kurun waktu ketika lembaga kepausan berkedudukan di Avignon disebut sebagai zaman kepausan Avignon. Sri Paus kembali bermastautin di kota Roma pada tahun 1378 atas desakan Katarina dari Siena dan tokoh-tokoh lain yang merasa Takhta Santo Petrus sepatutnya berada di Roma.[108][109] Sidang pemilihan paus baru, yang digelar menyusul kemangkatan Paus Gregorius XI pada tahun itu, menjadi pokok pertentangan antara kubu pendukung calon paus berkebangsaan Italia dan kubu pendukung calon paus berkebangsaan Prancis yang bermuara pada Skisma Barat. Selama 38 tahun, ada dua orang paus yang menjabat secara bersamaan, seorang di Roma, dan seorang lagi di Avignon. Usaha rujuk justru memperumit masalah, karena memunculkan paus ketiga pada tahun 1409, yang tadinya direncakan menjadi satu-satunya paus yang dapat diterima semua pihak.[110] Masalah baru terpecahkan pada tahun 1417 dalam Konsili Konstanz. Para kardinal peserta konsili mengimbau ketiga paus yang ada untuk meletakkan jabatan, kemudian menggelar sidang pemilihan paus baru yang berakhir dengan terpilihnya Paus Martinus V.[110]
Renaisans dan reformasi
Abad penjelajahan dan para misionaris
Selama abad ke-15 dan awal abad ke-16, misionaris-misionaris dan penjelajah-penjelajah Eropa menyebarkan agama Kristen Katolik ke Benua Amerika, Asia, Afrika, dan Oseania. Dengan menerbitkan bula Inter Caetera, Paus Aleksander VI menganugerahkan hak jajah atas sebagian besar daerah yang baru ditemukan kepada Spanyol dan Portugal.[111] Di bawah sistem patronato (bahasa Portugis: padroado), pejabat-pejabat negara mengatur pengangkatan rohaniwan dan membatasi hubungan langsung dengan Vatikan.[112] Pada bulan Desember 1511, Antonio de Montesinos, seorang frater dari tarekat Dominikan, secara terbuka mengecam pejabat-pejabat pemerintah Spanyol di Ispanyola karena memperlakukan orang-orang pribumi Amerika dengan semena-mena. Ia berkata, "... kamu sekalian sudah berdosa besar ... karena kekejaman dan tirani yang kamu gunakan dalam berurusan dengan orang-orang tak berdosa ini".[113][114][115] Menjawab kecaman tersebut, Raja Fernando memberlakukan Undang-Undang Burgos dan Undang-Undang Valladolid. Penerapannya tidak tegas, dan meskipun sebagian pihak menyalahkan Gereja karena tidak berbuat banyak demi kebebasan orang-orang Indian, pihak-pihak lain justru menegaskan bahwa Gerejalah satu-satunya lembaga yang menyuarakan kepentingan orang-orang pribumi.[116] Isu ini menimbulkan krisis hati nurani di spanyol pada abad ke-16.[117][115] Banyaknya swakritik dan renungan filsafati yang dikemukakan para teolog Katolik, teristimewa dari Francisco de Vitoria, memunculkan perdebatan mengenai hakikat hak-hak manusia[115] dan melahirkan hukum internasional modern.[118][119]
Pada tahun 1521, berkat kepemimpinan dan usaha pewartaan penjelajah Portugis, Fernão de Magalhães, untuk pertama kalinya dilangsungkan pembaptisan orang-orang pribumi yang kemudian hari menjadi bangsa Kristen pertama di Asia Tenggara, yakni bangsa Filipina.[120] Pada tahun berikutnya, misionaris-misionaris Fransiskan tiba di negeri yang kini bernama Meksiko. Mereka berusaha mengajak orang-orang Indian setempat untuk memeluk agama Kristen Katolik, tetapi juga berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka dengan mendirikan sekolah-sekolah dan rumah-rumah sakit. Orang-orang Indian mereka ajari metode-metode bercocok tanam yang lebih baik dan cara-cara yang lebih mudah untuk menenun dan membuat gerabah. Karena ada sebagian orang yang masih meragukan bahwa bangsa Indian sungguh-sungguh manusia, Paus Paulus III menerbitkan bula Veritas Ipsa atau Sublimis Deus pada tahun 1537 untuk menegaskan bahwa bangsa Indian patut diperlakukan sebagai manusia.[121][122] Semenjak terbitnya bula tersebut, usaha penyebaran agama Kristen Katolik mulai mebuahkan hasil.[123] Dalam rentang waktu 150 tahun berikutnya, usaha misi meluas sampai ke kawasan barat laut Amerika Utara.[124] Orang-orang pribumi secara legal didefinisikan sebagai kanak-kanak, dan para imam memegang peran ayah, yang seringkali dikukuhkan dengan penerapan hukuman badan.[125] Di India, misionaris-misionaris Portugis dan imam Yesuit asal Spanyol, Fransiskus Xaverius, mewartakan Injil kepada orang-orang non-Kristen maupun komunitas-komunitas Kristen India yang mengaku sebagai komunitas-komunitas bentukan Rasul Tomas.[126]
Renaisans Eropa
Di Eropa, Renaisans menandai kemunculan kembali minat orang terhadap ilmu pengetahuan Abad Kuno dan Abad Klasik. Renaisans juga merupakan kurun waktu ketika orang mulai mempertanyakan kepercayaan-kepercayaan yang mereka anut. Katedral-katedral dan gereja-gereja sudah lama menjadi semacam buku bergambar dan galeri seni bagi jutaan orang yang tidak berpendidikan. Jendela-jendela kaca patri, fresko-fresko, patung-patung, lukisan-lukisan, dan panel-panel bergambar menceritakan kembali kisah hidup orang-orang kudus dan tokoh-tokoh Alkitab. Gereja mensponsori seniman-seniman besar Renaisans seperti Michelangelo dan Leonardo da Vinci, pecipta sejumlah karya seni yang terkenal di seluruh dunia.[127] Meskipun para pemimpin Gereja mampu mengarahkan seni rupa yang terinspirasi humanisme Renaisans untuk kepentingan Gereja, ada juga konflik-konflik antara kaum rohaniwan dan kaum humanis, misalnya konflik yang timbul sewaktu digelarnya sidang pengadilan ahli bidah terhadap Johann Reuchlin. Pada tahun 1509, cendekiawan Renaisans ternama, Desiderius Erasmus, menulis Pujian kepada Kebodohan, sebuah karya tulis yang merangkum keresahan masyarakat akan korupsi yang merajalela di dalam tubuh Gereja.[128] Lembaga kepausan sendiri dipertanyakan kaum konsiliarisme dalam Konsili Konstanz maupun Konsili Basel. Usaha-usaha pembaharuan yang nyata diusulkan dalam sidang kedua konsili ekumene tersebut maupun dalam Konsili Lateran V, tetapi dimentahkan. Usaha-usaha tersebut dipandang perlu tetapi tidak membuahkan hasil dalam skala besar karena adanya perseteruan internal,[129] konflik-konflik dengan Kekaisaran Turki Osmanli maupun kaum Sarasen,[129] dan praktik simoni maupun nepotisme yang merajalela di dalam tubuh Gereja pada abad ke-15 dan awal abad ke-16.[130] Akibatnya, tokoh-tokoh duniawi yang kaya dan berkuasa seperti Roderigo Borgia (Paus Aleksander VI) dapat terpilih menjadi paus.[130][131]
Perang-perang Reformasi Protestan
Konsili Lateran V hanya melahirkan segelintir usaha pembaharuan pada bulan Maret 1517. Beberapa bulan kemudian, pada tanggal 31 Oktober 1517, Martin Luther menerbitkan Sembilan Puluh Lima Dalil-nya, dengan harapan dapat mencetuskan perdebatan.[132][133] Dalil-dalilnya memprotes pokok-pokok doktrin Gereja Katolik maupun praktik jual beli indulgensi.[132][133] Hulderikus Zwingli, Yohanes Calvin, dan beberapa tokoh lain juga mengecam ajaran-ajaran Gereja Katolik. Penentangan-penentangan tersebut didukung penguasa-penguasa lokal, dan berkembang menjadi gerakan Reformasi Protestan.[134][135] Pada kurun waktu ini, banyak orang beremigrasi meninggalkan kampung halamannya ke daerah-daerah yang menoleransi atau menganut keyakinan yang sama dengannya, kendati ada pula yang bertahan tinggal dan menjadi kaum kripto-Protestan atau orang Nikodemit.
Di Jerman, gerakan reformasi menyulut perang antara Liga Schmalkalden selaku pihak Protestan melawan Kaisar Kaisar Karel V selaku pihak Katolik. Perang sembilan tahun antara kedua belah pihak berakhir pada tahun 1555, tetapi ketegangan yang masih membara akhirnya menyulut konflik yang lebih besar lagi, yakni Perang Tiga Puluh Tahun, yang meletus pada tahun 1618.[136] Di Negeri Belanda, perang-perang Kontra-Reformasi adalah Pemberontakan Rakyat Belanda dan Perang Delapan Puluh Tahun yang juga mencakup Perang Suksesi Kepemimpinan Kadipaten Gulik. Perang Köln (1583–1589) adalah konflik antara faksi Protestan dan faksi Katolik di Swapraja Kurfürstentum Köln. Ketika Gebhard Truchsess von Waldburg, uskup agung yang mengepalai Swapraja Kurfürstentum Köln, berganti keyakinan menjadi pemeluk agama Kristen Protestan, umat Katolik memilih Ernst von Bayern menjadi Uskup Agung Köln yang baru. Ernst von Bayern berhasil mengalahkan Gebhard Truchsess von Waldburg beserta sekutu-sekutunya.
Di Prancis, serangkaian konflik yang disebut Perang Agama di Prancis antara kaum Huguenot dan Liga Katolik berlangsung dari tahun 1562 sampai tahun 1598. Beberapa paus memihak dan menjadi penyandang dana Liga Katolik.[137] Perang Agama di Prancis berakhir pada masa jabatan Paus Klemens VIII. Sri Paus terpaksa menerima isi Maklumat Nantes yang dikeluarkan Raja Henry IV pada tahun 1598. Maklumat Nantes menjamin toleransi sipil maupun toleransi beragama terhadap umat Protestan.[136][137] Pada tahun 1565, beberapa ratus penumpang Huguenot yang selamat dari kapal karam menyerah kepada pemerintah koloni Spanyol di Florida karena yakin akan diperlakukan dengan baik. Selain beberapa orang Katolik, semua tawanan asal Prancis tersebut dihukum mati sebagai ahli bidah, dengan partisipasi aktif rohaniwan.[138]
Inggris
Reformasi Inggris tampaknya dilandasi keinginan Raja Henry VIII untuk menganulir perkawinannya dengan Catalina de Aragón, dan mula-mula lebih bersifat politik meskipun kemudian hari menjadi perkara teologi.[140] Undang-Undang Supremasi menjadikan kepala monarki Inggris sebagai kepala Gereja Inggris dan oleh karena itu membentuk Gereja Inggris. Kemudian sejak tahun 1536, sekitar 825 biara di seluruh Inggris, Wales, dan Irlandia disegel dan gereja-gereja Katolik disita negara.[141][142] Ketika Raja Henry VIII mangkat pada tahun 1547, seluruh biara, frateran, susteran, dan tempat-tempat suci dihancurkan atau disegel.[142][143] Ratu Mary I memulihkan kesatuan Gereja Inggris dengan Roma, dan (bertentangan dengan saran dari duta besar Spanyol) menganiaya umat Protestan pada masa pemerintahannya.[144][145] Sesudah beberapa kali diprovokasi, Ratu Elizabeth I, pengganti Ratu Mary I, memberlakukan Undang-Undang Supremasi. Undang-undang ini mengharamkan pemeluk agama Katolik menjadi anggota asosiasi-asosiasi profesional, menjadi pejabat publik, memiliki hak suara, maupun mendidik anak-anak mereka.[144][146] Ratu Elizabeth I jauh lebih lama memerintah dibanding Ratu Mary I, dan jumlah umat Katolik maupun umat Protestan aliran lain yang dihukum mati pada masa pemerintahannya melampaui jumlah korban penganiayaan pada masa pemerintahan pendahulunya.[144] Aniaya yang bermula pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth diteruskan para penggantinya.[147] Ratu Elizabeth I juga memberlakukan Undang-Undang Hukum Pidana di Irlandia[148] kendati tidak seefektif di Inggris.[144][149] Karena agama Kristen Katolik sudah mengakar dalam kehidupan berbangsa dan dianggap sebagai salah satu unsur identitas bangsa di Irlandia, rakyat Irlandia terus bertahan melawan usaha gencar Inggris untuk melenyapkan Gereja Katolik.[144][149]
Konsili Trento
Dalam bukunya yang berjudul The Reformation, A History, sejarawan Diarmaid MacCulloch mengemukakan pandangannya bahwa semua pembantaian yang terjadi pada era Reformasi melahirkan konsep toleransi beragama dan Gereja Katolik yang lebih baik,[150] yang merespon tantangan-tantangan terhadap doktrin dan penyelewengan-penyelewengan yang diungkit gerakan reformasi ke permukaan dalam Konsili Trento (1545–1563). Konsili inilah yang mencetuskan Kontra-Reformasi serta menegaskan kembali doktrin-doktrin pokok Kristen Katolik seperti transubstansiasi dan perlunya kasih, pengharapan, maupun iman untuk mencapai keselamatan.[151] Konsili Trento juga mereformasi banyak bidang lain yang penting bagi Gereja, khususnya melalui perbaikan mutu pendidikan rohaniwan dan konsolidasi yurisdiksi terpusat Kuria Romawi.[7][151][152]
Pada beberapa dasawarsa sesudah penyelenggaraan Konsili Trento, timbul sengketa ilmiah antara Martin Chemnitz dari kubu Lutheran dan Diogo de Payva de Andrada dari kubu Katolik mengenai selaras tidaknya pernyataan-pernyataan tertentu dengan ajaran bapa-bapa Gereja dan Kitab Suci. Kritik-Kritik yang dimunculkan gerakan reformasi adalah salah satu faktor yang membidani lahirnya tarekat-tarekat religius baru, antara lain tarekat Teatin, Barnabit, dan Yesuit. Beberapa dari tarekat-tarekat tersebut kemudian hari menjadi tarekat-tarekat misi ternama.[153] Pembaharuan dan penataan kembali kehidupan rohani terinspirasi karya-karya tulis orang-orang kudus baru (seperti Teresa dari Avila, Fransiskus de Sales, dan Filipus Neri) yang memunculkan beragam aliran kerohanian di dalam Gereja (serikat Oratorian, tarekat Karmelit, tarekat Salesian, dll).[154] Perkembangan positif lain yang muncul pada kurun waktu ini adalah meningkatnya mutu pendidikan umat awam seiring maraknya pendirian sekolah-sekolah menengah yang menghidupkan kembali mata-mata pelajaran tingkat lanjut seperti sejarah, filsafat, dan teologi.[155] Untuk memasyarakatkan ajaran-ajaran Kontra-Reformasi, Gereja mendukung penerapan gaya Barok dalam penciptaan karya-karya seni rupa, seni musik, dan arsitektur. Penerapan gaya Barok di untuk kepentingan agama menghasilkan karya-karya yang mampu menyentuh lubuk hati dan menggugah keimanan.[156]
Sementara itu, Fransiskus Xaverius, misionaris Yesuit asal Navarra, membawa masuk agama Kristen Katolik ke Negeri Matahari Terbit, dan pada akhir abad ke-16, berlaksa-laksa rakyat Jepang telah menjadi umat Katolik. Pertumbuhan Gereja di Jepang mandek pada tahun 1597. Dalam rangka mengisolasi negeri Jepang dari pengaruh asing, Syogun Toyotomi Hideyosyi melancarkan aksi penganiayaan yang sangat kejam terhadap umat Kristen.[157] Bangsa Jepang dilarang meninggalkan tanah airnya dan bangsa Eropa dilarang masuk ke Jepang. Meskipun demikian, populasi kecil umat Kristen Jepang mampu bertahan menyintasi zaman sampai Jepang mulai membuka pintunya bagi dunia luar pada ke-19, dan masih tetap eksis sampai sekarang.[157][158]
Zaman Barok, Abad Pencerahan, dan revolusi
Devosi-devosi kepada Bunda Maria
Konsili Trento menngobarkan kembali semangat hidup zuhud dan devosi-devosi kepada Bunda Maria dalam Gereja Katolik. Pada masa-masa Reformasi Protestan, Gereja Katolik membela keyakinan-keyakinannya tentang Bunda Maria terhadap pandangan-pandangan Protestan. Pada waktu yang sama, negara-negara Katolik berperang melawan Kekaisaran Turki Osmanli dan mampu berjaya karena keberkahan syafaat Santa Perawan Maria. Kemenangan yang diraih dalam Pertempuran Lepanto (1571) diyakini sebagai anugerah Allah berkat syafaat Bunda Maria "dan menandai awal kebangkitan devosi-devosi kepada Bunda Maria, Ratu Surga dan Bumi, serta peranannya selaku mediatrix (perantara) berbagai kasih karunia Allah".[159] Colloquium Marianum, sebuah kelompok elit, maupun Sodalitas Santa Perawan Maria melandaskan kegiatan-kegiatannya pada pengamalan hidup lurus, jauh dari dosa-dosa utama.
Sebagaimana telah ditetapkan Paus Paulus V pada tahun 1617, pada tahun 1622, Paus Gregorius XV menetapkan bahwa Santa Perawan Maria tidak terbukti dikandung tidak tanpa noda. Ketetapan tersebut mendukung keyakinan bahwa Santa Perawan Maria terlahir tanpa dosa asal karena dilindungi rahmat Allah (atau dikandung tanpa noda).[butuh klarifikasi] Pada tahun 1661, Paus Aleksander VII memaklumkan bahwa jiwa Bunda Maria bebas dari dosa asal. Pada tahun 1708, Paus Klemens XI memerintahkan agar segenap Gereja merayakan pesta Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda. perayaan Rosario diperkenalkan pada tahun 1716, dan perayaan Tujuh Duka Maria diperkenalkan pada tahun 1727. Doa Malaikat Tuhan mendapat dukungan besar dari Paus Benediktus XIII pada tahun 1724, dan dari Paus Benediktus XIV pada tahun 1742.[160] Amalan-amalan penghormatan terhadap Bunda Maria yang berkembang di tengah masyarakat menjadi lebih semarak daripada yang sudah-sudah, yakni berbagai ziarah penghormatan Bunda Maria, devosi-devosi Salve Maria, litani-litani baru kepada Bunda Maria, sandiwara-sandiwara tentang Bunda Maria, madah-madah pujian kepada Bunda Maria, dan prosesi-prosesi penghormatan Bunda Maria. Organisasi-organisasi persaudaraan Bunda Maria, yang sebagian besar kini sudah bubar, pernah memiliki berjuta-juta anggota.[161]
Sekularisme Abad Pencerahan
Gerakan Pencerahan merupakan tantangan baru bagi Gereja. Berbeda dengan Reformasi Protestan yang hanya mempermasalahkan doktrin-doktrin Kristen tertentu, gerakan Pencerahan mempertanyakan agama Kristen secara meyeluruh. Pada umumnya gerakan Pencerahan menempatkan nalar manusia di atas wahyu ilahi, dan mengecilkan kewenangan-kewenangan agamawi yang berlandaskan wahyu ilahi seperti lembaga kepausan.[162] Di lain pihak, Gereja berusaha membendung Galikanisme dan Konsiliarisme, ideologi-ideologi yang mengancam lembaga kepausan maupun struktur Gereja.[163]
Menjelang paruh akhir abad ke-17, Paus Inosensius XI menginsyafi bahwa serangan bangsa Turki ke Eropa, yang didukung Prancis, merupakan ancaman besar bagi Gereja. Ia membentuk koalisi Polandia-Austria yang berhasil mengalahkan bangsa Turki di Wina pada tahun 1683. Bagi para ahli, Paus Inosensius XI adalah seorang paus yang saleh karena memberantas penyelewengan-penyelewengan dalam Gereja, antara lain praktik simoni, nepotisme, dan pemborosan lembaga kepausan yang membuat ia harus menanggung warisan utang sebesar 50.000.000 keping Scudo. Dengan menghapus sejumlah jabatan kehormatan dan memperkenalkan kebijakan-kebijakan fiskal baru, Paus Inosensius XI berhasil mengendalikan keuangan Gereja.[164] Paus Inosensius X dan Paus Klemens XI berjuang melawan ideologi Yansenisme dan Galikanisme, yang mendukung Konsiliarisme dan menolak keutamaan Sri Paus, dengan menuntut pemberian konsesi istimewa kepada Gereja di Prancis. Keadaan ini melemahkan kemampuan Gereja untuk menanggapi para pemikir Galikanis seperti Denis Diderot, yang menggugat doktrin-doktrin asasi Gereja.[165]
Pada tahun 1685, Raja Prancis penganut Galikanisme, Louis XIV, memaklumkan pembatalan Maklumat Nantes, dan dengan demikian mengakhiri toleransi beragama yang sudah berjalan selama satu abad. Prancis memaksa para teolog Katolik untuk mendukung Konsiliarisme dan memungkiri infalibilitas Sri Paus. Raja Louis XIV mengancam Paus Inosensius XI dengan konsili umum dan aksi militer untuk merebut Negara Gereja.[166] Negara monarki absolut tersebut menggunakan ideologi Galikanisme untuk mengendalikan hampir semua pengangkatan pejabat-pejabat penting Gereja maupun sejumlah besar harta benda Gereja.[164][167] Penyerobotan kewenangan Gereja oleh negara semacam ini juga menular ke negara-negera lain. Di Belgia dan Jerman, Galikanisme muncul dalam wujud Febronianisme, yang menolak hak-hak prerogatif Sri Paus dengan pendapat-pendapat yang sama.[168] Kaisar Kaisar Josef II asal Austria (1780–1790) mempraktikkan kebijakan Josefisme dengan meregulasi peri kehidupan Gereja, pengangkatan pejabat Gereja, dan penyitaan besar-besaran harta benda Gereja.[168] Abad ke-18 juga merupakan Abad Pencerahan Katolik, kurun waktu timbulnya gerakan reformasi dalam berbagai aspek.[169]
Gereja di Amerika Utara
Usaha misi Katolik berkembang di daerah yang kini menjadi Kawasan Barat Amerika Serikat, tetapi harus bekerjasama dengan pejabat sipil dan militer Kerajaan Spanyol sampai abad ke-19.[170] Junípero Serra, padri Fransiskan yang mengepalai usaha misi tersebut, mendirikan sejumlah pusat misi dan presidio di Kalifornia yang menjadi lembaga-lembaga ekonomi, politik, dan keagamaan yang penting.[171] Pusat-pusat misi tersebut memperkenalkan budi daya gandum, ternak lembu, serta tatanan politik dan keagamaan yang baru baru kepada suku-suku Indian di Kalifornia. Jalur-jalur tempuh yang melewati kawasan pesisir maupun daerah pedalaman dirintis dari Kota Meksiko dan pusat-pusat misi terdepan di Texas dan Meksiko Baru sehingga menghasilkan pembentukan 13 pusat misi besar di Kalifornia pada tahun 1781. Para pendatang dari Eropa membawa masuk bibit-bibit penyakit baru yang menewaskan sepertiga populasi pribumi.[172] Meksiko menutup pusat-pusat misi pada era 1820-an dan menjual tanah-tanah misi. Pada abad ke-19, sesudah sebagian besar daerah koloni Spanyol dan Portugis dipecah, barulah Vatikan mampu mengambil alih penanganan kegiatan-kegiatan misi Katolik melalui organisasi Propaganda Fide-nya.[173]
Gereja di Amerika Selatan
Pada kurun waktu ini, Gereja harus menghadapi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah Portugis dan Spanyol di daerah-daerah koloni mereka. Di Amerika Selatan, para Yesuit melindungi masyarakat pribumi dari perbudakan dengan jalan membangun permukiman-permukiman semimerdeka yang disebut reduksi (tempat orang-orang pribumi justru disiksa, dipaksa memeluk agama Katolik, mengalami trauma, dan diperbudak para Yesuit). Paus Gregorius XVI menantang kedaulatan Spanyol dan Portugis dengan mengangkat orang-orangnya pilihannya sendiri menjadi uskup di daerah-daerah koloni, dengan mengutuk perbudakan maupun praktik jual beli budak dalam bula In supremo apostolatus tahun 1839, dan dengan menyetujui penahbisan rohaniwan pribumi sekalipun pemerintah masih berpandangan rasis.[174]
Yesuit
Yesuit di India
Komunitas Kristen India turun-temurun percaya bahwa mereka adalah kelanjutan dari paguyuban umat Kristen yang dibentuk Rasul Tomas di Kerala. Mereka disebut umat Kristen Santo Tomas. Komunitas tersebut sangat kecil. Jumlah umat Kristen di India baru bertambah sesudah Fransiskus Xaverius (1502–1552), seorang padri Yesuit, mulai berkiprah di India. Teladannya diikuti Roberto de Nobili (1577–1656), padri Yesuit asal Toskana yang diutus sebagai misionaris ke kawasan selatan India. Ia memelopori inkulturasi, dengan mengadopsi berbagai adat-istiadat kaum Brahmana yang menurutnya tidak bertentangan dengan agama Kristen. Ia hidup selayaknya seorang Brahmana, mempelajari bahasa Sanskerta, dan menghadirkan agama Kristen sebagai bagian dari khazanah kepercayaan bangsa India, bukan sebagai agama yang identik dengan kebudayaan Portugis maupun kaum penjajah. Ia memperbolehkan umat Kristen melaksanakan amalan-amalan warisan leluhur mereka yang menurutnya tidak bertentangan langsung dengan ajaran-ajaran Kristen. Pada tahun 1640, di Madurai saja sudah ada 40.000 pemeluk agama Kristen. Pada tahun 1632, Paus Gregorius XV mengizinkan pendekatan semacam ini, tetapi sentimen-sentimen anti-Yesuit yang kuat di Portugal, Prancis, dan bahkan di Roma membuat pendekatan tersebut dilarang, dan mengakhiri keberhasilan usaha-usaha misi Katolik di India.[175] Pada tanggal 12 September 1744, Paus Benediktus XIV melarang amalan-amalan yang disebut ritus-ritus Malabar. Akibatnya, umat Kristen dari masyarakat berkasta tinggi, yang ingin melestarikan budaya warisan leluhur mereka, meninggalkan Gereja Katolik.[176][177]
Revolusi Prancis
Gerakan antirohaniwan yang merajalela ketika berlangsungnya Revolusi Prancis mengakibatkan seluruh gereja berikut harta bendanya dinasionalisasi, bahkan ada usaha-usaha membentuk gereja yang dikelola negara. Sejumlah besar padri menolak bersumpah untuk taat kepada Majelis Nasional, sehingga Gereja dinyatakan sebagai lembaga terlarang dan diganti dengan agama yang menyembah "Nalar", meskipun agama baru ini tidak kunjung memasyarakat. Pada kurun waktu ini, semua biara dihancurkan, 30.000 padri diasingkan, dan ratusan padri lainnya dibunuh.[178][179] Karena Paus Pius VI memihak kubu penentang revolusi dalam Perang Koalisi Pertama, Napoleon Bonaparte menginvasi Italia. Sri Paus yang sudah berumur 82 tahun itu digiring sebagai tawanan ke Prancis pada bulan Januari 1798, dan wafat tak lama kemudian. Untuk mengambil hati rakyat, Napoleon mengizinkan Gereja Katolik untuk kembali berkiprah di Prancis dengan menandatangani Konkordat 1801. Tanah-tanah milik Gereja tidak pernah dikembalikan, tetapi para padri dan agamawan lainnya digaji pemerintah, yang mendanai perawatan harta benda Gereja dengan pendapatan pajak. Umat Katolik diizinkan membuka kembali sejumlah sekolahnya. Berakhirnya perang-perang Napoleon yang ditandai penyelenggaraan Kongres Wina, menjadi era kebangkitan Katolik dan kembalinya Negara Gereja menjadi wilayah kedaulatan Sri Paus. Serikat Yesus juga dipulihkan.[180][181]
Prancis pada abad ke-19
Prancis tetap sebuah negara Katolik. Hasil sensus tahun 1872 menunjukkan bahwa dari 36 juta warga negara Prancis, 35,4 juta jiwa memeluk agama Kristen Katolik, 600.000 jiwa memeluk agama Kristen Protestan, 50.000 memeluk agama Yahudi, dan 80.000 tercatat sebagai orang-orang berpikiran bebas. Revolusi Prancis gagal membinasakan Gereja Katolik, dan statusnya dipulihkan Konkordat 1801 yang ditandatangani Napoleon. Kembalinya wangsa Bourbon ke tampuk pemerintahan pada tahun 1814 memunculkan kembali banyak bangsawan dan tuan tanah kaya yang mendukung Gereja, yang mereka pandang sebagai kubu pertahanan konservatisme dan monarkisme. Meskipun demikian, biara-biara berikut tanah-tanahnya yang luas maupun kekuasaan politiknya yang besar sudah binasa. Sebagian besar tanah-tanah biara sudah dijual kepada para wirausahawan dari kota yang tidak memiliki ikatan sejarah dengan tanah maupun kaum taninya. Hanya sejumlah kecil padri yang ditahbiskan pada kurun waktu 1790–1814, sementara sejumlah besar padri meninggalkan Gereja. Akibatnya, jumlah rohaniwan paroki menyusut dari 60.000 orang pada tahun 1790 menjadi 25.000 orang saja pada tahun 1815, dan kebanyakan sudah uzur. Wilayah Prancis, terutama daerah sekitar kota Paris, hanya dilayani sejumlah kecil padri. Meskipun demikian, beberapa daerah masih teguh berpegang pada iman Katolik, di bawah pimpinan bangsawan-bangsawan dan keluarga-keluarga tua setempat.[182] Pemulihan berlangsung lamban, bahkan sangat lamban di kota-kota besar dan kawasan-kawasan industri. Melalui karya misi yang sistematis serta pengutamaan liturgi dan devosi-devosi kepada Santa Perawan Maria, ditambah dukungan dari Kaisar Napoleon III, kondisi Gereja Katolik di Prancis akhirnya membaik. Pada tahun 1870, ada 56.500 orang imam, yang merupakan tenaga-tenaga baru yang lebih muda dan lebih dinamis di desa-desa dan kota-kota kecil, dengan jaringan sekolah, lembaga amal, dan organisasi umat awam yang kuat.[183] Umat Katolik konservatif menguasai pemerintahan negara pada kurun waktu 1820–1830, tetapi lebih sering memainkan peran-peran politik sekunder atau harus melawan serangan-serangan dari golongan republikan, golongan liberal, golongan sosialis, dan golongan sekuler.[184][185]
Zaman Republik Ketiga (1870–1940)
Pada zaman Republik Ketiga, timbul sengketa seputar status Gereja Katolik. Para rohaniwan dan uskup-uskup Prancis dipandang sebagai sekutu golongan monarkis, mengingat ada banyak rohaniwan yang berasal dari kalangan ningrat. Golongan republikan adalah golongan berbasis kalangan menengah Prancis yang antirohaniwan. Di mata mereka, persekutuan Gereja dengan golongan monarkis adalah ancaman politik terhadap ideologi republikanisme sekaligus bahaya yang mengintai semangat kemajuan modern. Golongan republikan merasa tidak senang terhadap Gereja karena afiliasi politik dan afiliasi kelas sosialnya. Bagi mereka, Gereja mewakili tradisi-tradisi, takhayul-takhayul, dan ideologi monarkisme yang sudah ketinggalan zaman. Golongan republikan didukung umat Protestan dan umat Yahudi. Berbagai aturan hukum diundangkan demi melemahkan Gereja Katolik. Pada tahun 1879, para padri dikeluarkan dari panitia-panitia pengelola rumah sakit dan badan-badan pengurus lembaga amal. Pada tahun 1880, dilancarkan upaya-upaya baru untuk menyingkirkan kongregasi-kongregasi religius. Dari tahun 1880 sampai 1890, tenaga perawat perempuan dari kalangan awam dijadikan pengganti para biarawati di banyak rumah sakit. Konkordat 1801 masih tetap berlaku, tetapi pada tahub 1881, pemerintah menghentikan pembayaran gaji kepada padri-padri yang tidak disenanginya.[186]
Undang-undang sekolah tahun 1882 yang diajukan Jules Ferry, perdana menteri dari golongan republikan, mengatur sistem nasional sekolah-sekolah negeri yang mengajarkan moralitas puritan yang tegas tetapi tidak mengajarkan agama.[187] Untuk sementara waktu, sekolah-sekolah swasta katolik ditoleransi. Nikah sipil diwajibkan, perceraian diizinkan, dan pastor-pastor tentara dibebastugaskan dari angkatan bersenjata.[188]
Ketika terpilih pada tahun 1878, Paus Leo XIII berusaha menenangkan kisruh hubungan Gereja-negara di Prancis. Pada tahun 1884, ia mengimbau uskup-uskup Prancis untuk tidak menunjukkan sikap bermusuhan kepada negara. Pada tahun 1892, ia menerbitkan sebuah ensiklik yang berisi anjuran kepada umat Katolik Prancis untuk mendukung pemerintah Republik Prancis dan membela Gereja dengan cara berpartisipasi dalam kegiatan politik golongan republikan. Usaha perbaikan hubungan ini gagal. Rasa saling curiga kedua belah pihak sudah telanjur mendarah daging, bahkan kian tajam akibat skandal Dreyfus. Sebagian besar umat Katolik tergolong dalam kubu anti-Dreyfus. Serikat Asumsionis mempublikasikan artikel-artikel anti-Semit dan antirepublikan dalam jurnal mereka, La Croix. Tindakan tersebut membuat para politikus republikan kebakaran jenggot dan bernafsu membalas dendam. Merekas seringkali bekerja bahu membahu dengan loji-loji Tarekat Mason Bebas. Pemerintah Prancis pada masa kepemimpinan Perdana Menteri Pierre Waldeck-Rousseau (1899–1902) dan Perdana Menteri Émile Combes (1902–1905) bertikai dengan Vatikan dalam soal pengangkatan uskup-uskup. Para pastor tentara dikeluarkan dari rumah-rumah sakit angkatan laut dan rumah-rumah sakit militer (1903–1904), dan tentara diperintahkan untuk tidak berhubungan dengan klub-klub Katolik (1904). Ketika menjadi perdana menteri pada tahun 1902, Émile Combes bertekad mengalahkan agama Katolik dengan telak. Ia menyegel semua sekolah paroki di Prancis, kemudian mengusahakan agar parlemen menolak keabsahan semua tarekat religius. Kelima puluh empat tarekat religius yang ada di Prancis dengan demikian dinyatakan bubar, dan sekitar 20.000 anggota tarekat religius langsung angkat kaki dari Prancis, sebagian besar pindah ke Spanyol.[189] Pada tahun 1905, Konkordat 1801 dinyatakan batal, sehingga Gereja dan negara akhirnya terpisahkan. Seluruh harta benda Gereja disita. Penyelenggaraan ibadat berjemaah diserahkan kepada serikat-serikat awam Katolik yang mengendalikan akses ke gereja-gereja. Pada praktinya, perayaan Misa dan ibadat-ibadat lain terus berjalan. Gereja Katolik di Prancis menderita kerugian besar dan kehilangan setengah imam-imamnya. Meskipun demikian, Gereja memetik keuntungan jangka panjang, yakni kebebasan mengatur diri sendiri, karena negara tidak lagi campur tangan dalam urusan pemilihan uskup dan ideologi Galikanisme pun akhirnya mati.[190]
Afrika
Menjelang akhir abad ke-19, para misionaris Katolik, yang datang ke Afrika bersama pemerintah daerah-daerah koloni, mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, biara-biara, dan gereja-gereja.[191]
Zaman Industri
Konsili Vatikan I
Pada tahun 1854, sebelum penyelenggaraan Konsili Vatikan I, pada tahun 1854, dengan dukungan penuh mayoritas uskup yang ia mintai saran dari tahun 1851 sampai tahun 1853, Paus Pius IX mengundangkan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda.[192] Delapan tahun sebelumnya, pada 1846, Sri Paus sudah mengabulkan harapan para uskup dari Amerika Serikat, dan mempermaklumkan Bunda Maria yang dikandung tanpa noda sebagai pelindung Amerika Serikat.[193]
Dalam Konsili Vatikan I, sekitar 108 orang bapa konsili meminta agar frasa "perawan tak bernoda" ditambahkan pada doa Salam Maria.[194] Sejumlah bapa konsili bahkan meminta agar dogma Maria Dikandung Tanpa Noda dimasukkan ke dalam syahadat, tetapi ditentang Paus Pius IX[195] Banyak dari umat Katolik Prancis menghendaki agar konsili ekumene ini mendogmatisasi infalibilitas Sri Paus dan keyakinan bahwa Maria telah diangkat ke surga.[196] Pada Konsili Vatikan I, ada sembilan petisi mariologi yang mendukung keyakinan Maria diangkat ke surga dijadikan dogma, yang justru ditentang keras beberapa bapa konsili, terutama yang berasal dari Jerman. Pada 1870, Konsili Vatikan I mengukuhkan doktrin infalibilitas Sri Paus bilamana dilaksanakan dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang didefinisikan secara khusus.[197][198] Kontroversi mengenai hal ini dan isu-isu lainnya mengakibatkan segolongan kecil umat Katolik memisahkan diri dan membentuk Gereja Katolik Lama.[199]
Ajaran sosial
Revolusi Industri memunculkan banyak keprihatinan mengenai memburuknya pekerjaan dan kondisi hidup kaum buruh di perkotaan. Dipengaruhi Uskup Jerman yang bernama Wilhelm Emmanuel Freiherr von Ketteler, Paus Leo XIII menerbitkan ensiklik Rerum novarum pada 1891. Ensiklik ini berisi penjabaran ajaran sosial Katolik yang menolak sosialisme namun menganjurkan regulasi ksyarat-syarat kerja. Rerum novarum mendesak dilakukannya penetapan upah hidup dan pengakuan hak kaum buruh untuk membentuk serikat-serikat buruh.[200]
Quadragesimo anno dikeluarkan Paus Pius XI pada 15 Mei 1931, 40 tahun sesudah terbitnya Rerum novarum. Berbeda dari Paus Leo XIII yang lebih banyak membahas mengenai kondisi kaum buruh, Paus Pius XI memusatkan perhatiannya pada implikasi-implikasi etis dari tata tertib sosial dan ekonomi. Ia mengimbau agar dilakukan rekonstruksi tata tertib sosial berdasarkan prinsip solidaritas dan subsideritas.[201] Ia mengungkap pula mengenai bahasa-bahaya besar yang mengancam kemerdekaan dan martabat luhur manusia yang muncul dari kapitalisme yang tanpa batasan dan komunisme totaliter.
Ajaran-ajaran sosial dari Paus Pius XII mengulangi ajaran-ajaran ini, dan menjabarkannya secara lebih terperinci bukan hanya bagi kaum buruh dan kaum pemilik modal, melainkan juga bagi profesi-profesi lain seperti politikus, pendidik, ibu rumah tangga, petani, ahli pembukuan, organisasi internasional, dan segala aspek kehidupan termasuk militer. Ia bahkan melangkah lebih jauh lagi daripada Paus Pius XI dengan merumuskan pula ajaran-ajaran sosial di bidang kedokteran, psikologi, olah raga, televisi, ilmu pengetahuan, hukum, dan pendidikan. Nyaris tidak ada isu sosial yang tidak dibahas dan dihubungkan dengan iman Kristen oleh Paus Pius XII.[202] Ia dijuluki "Paus Teknologi" karena kesediaan dan kesanggupannya untuk menguji dampak-dampak sosial dari kemajuan teknologi. Pokok perhatian utamanya adalah keberlangsungan hak-hak dan kemuliaan martabat tiap-tiap manusia. Dengan bermulanya Abad Antariksa menjelang akhir masa jabatannya, Paus Pius XII menelaah implikasi-implikasi sosial dari penjelajahan antariksa dan satelit-satelit terhadap sarana pemersatu umat manusia dengan mengimbau masyarakat untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan solidaritas yang baru dalam terang ajaran-ajaran Sri Paus sebelumnya mengenai subsidiaritas.[203]
Lembaga-lembaga peranan wanita
Kaum perempuan Katolik telah berperan penting dalam penyediaan pendidikan dan pelayanan kesehatan sebagai wujud pengamalan ajaran sosial Katolik. Tarekat-tarekat kuno seperti Karmelit telah melakukan karya sosial selama berabad-abad.[204] Pada abad ke-19, marak bermunculan tarekat-tarekat religius baru bagi kaum perempuan yang berkiprah di bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan.Dari antara tarekat-tarekat ini, Tarekat Suster-Suster Don Bosco, Tarekat Suster-Suster Klaretin, dan Tarekat Misionaris Maria Fransiskan adalah tarekat-tarekat religius Katolik untuk kaum perempuan yang paling besar.[205]
Tarekat Suster-Suster Belas Kasih dibentuk Catherine McAuley di Irlandia pada tahun 1831. Anggota-anggotanya tarekat ini di kemudian hari mendirikan rumah-rumah sakit dan sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia.[206]
Mariologi
Para paus telah berulang kali menonjolkan kaitan erat antara Perawan Maria sebagai Bunda Allah dan penerimaan penuh akan Yesus Kristus sebagai Putra Allah.[207][208] Semenjak abad ke-19, para paus mulai lebih sering memanfaatkan ensiklik. Paus Leo XIII, Sri Paus Rosario, menerbitkan sebelas ensiklik terkait Bunda Maria. Penghormatan kepada Santa Perawan Maria dengan dua disahkan paus-paus terkemudian dengan dua dogma. Paus Pius IX mengesahkan dogma Maria Dikandung Tanpa Noda 1854, dan Paus Pius XII mengesahkan dogma Maria Diangkat ke Surga pada tahun 1950. Paus Pius XII juga menetapkan hari raya baru untuk memuliakan Bunda Maria sebagai Ratu Surga dan memperkenalkan Tahun Maria untuk pertama kalinya pada tahun 1954. Tahun Maria yang kedua dimaklumkan Paus Yohanes Paulus II. Paus Pius IX, Paus Pius XI, dan Paus Pius XII memperlancar pengakuan terhadap kesahihan penampakan-penampakan Bunda Maria semisal yang terjadi di Lourdes dan Fátima. Para paus di kemudian hari, mulai dari Paus Yohanes XXIII sampai Paus Benediktus XVI, menganjurkan peziarahan ke tempat-tempat ziarah Bunda Maria (Paus Benediktus XVI pada tahun 2007 dan 2008). Konsili Vatikan II menggarisbawahi pentingnya penghormatan kepada Bunda Maria dalam dokumen Lumen gentium. Di tengah berlangsungnya Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI mempermaklumkan Bunda Maria sebagai Bunda Gereja.
Antirohaniwan
Pada abad ke-20, pemerintahan di sejumlah negara dikuasai pihak-pihak yang berhaluan politik radikal dan antiklerikal. Undang-Undang Calles tahun 1926, yang memisahkan negara dari Gereja di Meksiko, bermuara pada Perang Cristero[209] yang mengakibatkan lebih dari 3.000 orang imam diasingkan atau dibunuh,[210] gereja dicemarkan, ibadat diolok-olok, biarawati diperkosa, dan imam-imam ditembak mati bila tertangkap.[209] Di Uni Soviet, Gereja dan umat Katolik ditindas seusai Revolusi Bolshevik pada tahun 1917, sampai memasuki era 1930-an.[211] Selain pembunuhan rohaniwan, biarawan, dan umat awam, penyitaan barang-barang perlengkapan ibadat, dan penutupan gedung-gedung gereja juga merupakan hal yang umum terjadi.[212] Pada Perang Saudara Spanyol, yang berlangsung dari tahun 1936 sampai tahun 1939, hierarki Katolik mendukung pasukan pemberontak Nasionalis Spanyol, yang dipimpin Francisco Franco, melawan pemerintah koalisi Front Kerakyatan,[213] dengan beralasan bahwa kaum Republikan telah sengaja melakukan tindak kekerasan terhadap Gereja.[214] Gereja Katolik juga menjadi salah satu unsur aktif di gelanggang politik Spanyol yang terkotak-kotak menjadi beberapa kubu pada tahun-tahun menjelang pecahnya perang saudara.[215] Paus Pius XI menjuluki ketiga negara tersebut dengan sebutan "segitiga mengerikan" dan mengistilahkan sikap diam Eropa dan Amerika Serikat sebagai "konspirasi bungkam".
Kediktatoran
Italia
Paus Pius XI berniat mengakhiri sengketa lama antara lembaga kepausan dan pemerintah Italia, serta mengusahakan agara kemerdekaan dan kedaulatan Takhta Suci kembali diakui. Sebagian besar wilayah Negara Gereja telah direbut pada tahun 1860 oleh angkatan bersenjata Raja Italia, Victor Emmanuel II (1861–1878), yang bercita-cita mempersatukan seluruh Italia. Kota Roma sendiri direbut paksa pada tahun 1870, dan Sri Paus menjadi "tahanan di Vatican." Kebijakan-kebijakan pemerintah Italia selalu bersifat antirohaniwan sampai dengan Perang Dunia I, manakala Takhta Suci berhasil menyepakati sejumlah kompromi dengan pemerintah Italia.[216]
Guna mengukuhkan rezim Fasis diktatorialnya sendiri, Benito Mussolini juga mengupayakan tercapainya kesepakatan dengan Takhta Suci. Kesepakatan tercapai pada tahun 1929 dengan penandatanganan Perjanjian Lateran, yang menguntungkan kedua belah pihak.[217] Berdasarkan syarat-syarat perjanjian pertama, Kota Vatikan diberi kedaulatan sebagai sebuah negara merdeka sebagai ganti membatalkan klaimnya atas daerah-daerah bekas wilayah Negara Gereja. Dengan demikan Paus Pius XI menjadi kepala dari sebuah negara mini dengan wilayah, angkatan bersenjata, stasiun radio, dan perwakilan diplomatik sendiri. Konkordat tahun 1929 membuat agama Kristen Katolik menjadi satu-satunya agama di Italia (kendati agama-agama lain ditoleransi), pemerintah Italia membayar gaji imam-imam dan uskup-uskup, mengakui pernikahan yang dilangsungkan di gereja (sebelumnya, kedua mempelai harus menjalani upacara pernikahan sipil), serta menghadirkan pelajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Sebagai gantinya, uskup-uskup bersumpah setia pada negara Italia, yang memiliki hak veto dalam pemilihan uskup.[218] Gereja tidak secara resmi diwajibkan mendukung rezim Fasis; kedua belah pihak tetap kukuh berseberangan pendirian tetapi permusuhan yang meluap-luap sudah berakhir. Gereja secara khusus mendukung kebijakan-kebijakan luar negeri, semisal dukungan terhadap kubu anti-Komunis dalam Perang Saudara Spanyol, dan dukungan terhadap penaklukan Etiopia. Masih ada silang pendapat seputar jaringan muda-mudi Aksi Katolik, yang ingin digabungkan Mussolini dengan perkumpulan muda-mudi Fascis bentukannya. Satu-satunya kompromi yang disepakati adalah pemerintahan Fascis diperbolehkan untuk mensponsori tim-tim olahraga.[219]
Italia membayar ganti rugi kepada Vatikan 1.750 juta lira (sekitar $100 juta) atas penyitaan properti gereja semenjak tahun 1860. Paus Pius XI menginvestasikan dana ganti rugi ini di bursa saham dan lahan yasan. Tugas mengelola investasi ini dipercayakan Sri Paus kepada Bernardino Nogara, tokoh awam yang dengan cerdik menginvestasikannya dalam bentuk saham, emas, dan bursa-bursa berjangka, sehingga kondisi keuangan Gereja Katolik mengalami peningkatan yang signifikan. Sebagian besar laba investasi digelontorkan untuk mendanai usaha pemeliharaan bangunan-bangunan bersejarah di Vatikan yang sangat tinggi. Ongkos pemeliharaan yang sangat besar ini sebelumnya ditutupi dengan dana yang dikumpulkan Negara Gereja sampai dengan tahun 1870.
Hubungan Vatikan dengan pemerintahan Mussolini memburuk secara drastis selepas tahun 1930, manakala ambisi totaliter Mussolini mulai bersinggungan dengan otonomi Gereja. Sebagai contoh, kaum fasis berusaha menjadikan perkumpulan-perkumpulan muda-muda Gereja sebagai bagiannya. Untuk menanggapinya, Paus Pius XI mengeluarkan ensiklik Non abbiamo bisogno (Kami Tidak Butuh) pada tahun 1931. Ensiklik ini mengecam persekusi rezim fasis terhadap Gereja di Italia, dan mengutuk "pemberhalaan negara."[220]
Austria dan Jerman Nazi
Vatikan mendukung kaum Sosialis Kristen di Austria, negara berpenduduk mayoritas Katolik namun memiliki unsur sekuler yang kuat. Paus Pius XI sangat mendukung rezim Engelbert Dollfuss (1932–1934), yang bercita-cita membentuk ulang masyarakat Austria berdasarkan ensiklik-ensiklik Sri Paus. Engelbert Dollfuss berusaha memberantas anasir-anasir antirohaniwan dan kaum sosialis, namun tewas dibunuh kaum Nazi Austria pada tahun 1934. Penggantinya, Kurt von Schuschnigg (1934–1938), juga pro-Katolik dan didukung Vatikan. Jerman menganeksasi Austria pada tahun 1938 dan memberlakukan kebijakan-kebijakannya sendiri.[221]
Paus Pius XI bersedia untuk merundingkan butir-butir kesepakatan dengan negara mana saja yang bersedia melakukannya, karena ia berpikir bahwa perjanjian tertulis adalah cara terbaik untuk melindungi hak-hak Gereja dari pemerintah yang kian lama kian cenderung campur tangan dalam urusan-urusannya. Dua belas konkordat ditandatangani pada masa kepausannya dengan berbagai bentuk pemerintahan, termasuk dengan pemerintah sejumlah negara Jerman. Ketika Adolf Hitler menjadi Kanselir Jerman pada tanggal 30 Januari 1933 dan meminta sebuah konkordat, Paus Pius XI pun menyambut baik permintaannya itu. Konkordat tahun 1933 memuat jaminan-jaminan kebebasan bagi Gereja di Jerman Nazi, dan kemerdekaan bagi organisasi-organisasi Katolik, perkumpulan-perkumpulan muda-mudi Katolik, dan pengajaran agama Katolik di sekolah-sekolah.[222]
Ideologi Nazi dipelopori Heinrich Himmler dan SS. Dalam usahanya untuk sepenuhnya mengendalikan raga dan pikiran rakyat Jerman, SS mengembangkan suatu agenda antiagama.[223] Tak seorang pun rohaniwan Katolik maupun Protestan yang diizinkan memimpin ibadat tentara di kesatuan-kesatuan SS (namun diperbolehkan memimpin ibadat tentara di kesatuan-kesatuan angkatan darat biasa). Himmler membentuk sebuah kesatuan khusus untuk mengidentifikasi dan melenyapkan pengaruh-pengaruh Katolik. SS memutuskan bahwa Gereja Katolik Jerman adalah ancaman serius bagi hegemoninya, dan karena Gereja Katolik Jerman terlalu kuat untuk dibubarkan, maka pengaruh-pengaruhnya harus dikikis satu per satu, misalnya dengan menutup perkumpulan-perkumpulan muda-mudi Katolik dan usaha-usaha penerbitan Katolik.[224]
Setelah Konkordat berulang kali dilanggar, Paus Pius XI akhirnya mengeluarkan ensiklik Mit brennender Sorge tahun 1937 yang berisi pengutukan terhadap penindasan Nazi atas Gereja sekaligus terhadap ideologi neopaganisme dan superioritas ras yang didengung-dengungkan Nazi.[225]
Perang Dunia II
Setelah Perang Dunia II meletus pada bulan September 1939, Gereja mengutuk aksi invasi atas Polandia dan aksi-aksi invasi sesudahnya yang dilakukan Nazi pada 1940.[226] Semasa Holocaust, Paus Pius XII memberi arahan kepada hierarki Gereja untuk membantu melindungi umat Yahudi dan kaum Gipsi dari Nazi.[227] Meskipun Paus Pius XII dianggap berjasa menyelamatkan ratusan ribu nyawa orang Yahudi,[228] Gereja tetap saja difitnah telah mendukung paham antisemit[229] Albert Einstein mengemukakan pendapatnya mengenai peran Gereja Katolik semasa Holocaust sebagai berikut: "Selaku seorang pecinta kebebasan, ketika revolusi muncul di Jerman, saya berharap universitas-universitas akan membela kebebasan, sebab saya tahu bahwa universitas-universitas senantiasa membangga-banggakan darma baktinya dalam menegakkan kebenaran; namun, tidak, universitas-universitas dengan cepat dibungkam. Selanjutnya saya berharap para editor besar persuratkabaran yang dalam editorial-editorial di mereka pada hari-hari yang lalu begitu berapi-api menggembar-gemborkan kecintaan mereka akan kebebasan; namun sama seperti universitas-universitas, mereka pun dibungkam hanya dalam hitungan minggu... Hanya Gereja saja yang teguh berdiri menentang kampanye Hitler untuk menindas kebenaran. Dulu saya tidak menyimpan minat khusus terhadap Gereja, namun sekarang saya merasa sangat mengasihi dan mengaguminya karena Gereja sajalah yang sudah berani dan gigih membela kebenaran intelektual dan kebebasan moral. Oleh karena itu dengan terpaksa saya harus mengaku bahwa apa yang dulu saya pandang hina kini saya puji secara terang-terangan." Kutipan pernyataan ini dimuat dalam majalah Time edisi 23 Desember 1940 pada halaman 38.[230] Komentator-komentator lain yang berat sebelah telah mengemukakan tuduhan bahwa Paus Pius XII tidak cukup gigih berusaha menghentikan kekejaman-kekejaman Nazi.[231] Perdebatan seputar validitas dari kritik-kritik ini masih berlanjut sampai hari ini.[228]
Zaman Pasca-Industri
Konsili Vatikan II
Gereja Katolik mengalami suatu proses pembaharuan yang komprehensif selepas Konsili Vatikan II (1962–1965).[232] Meskipun diniatkan sinambung dengan Konsili Vatikan I, konsili yang dipimpin Paus Yohanes XXIII ini malah berkembang menjadi semacam mesin perubahan.[232][233] Para peserta konsili diserahi tugas untuk membuat ajaran-ajaran historis Gereja menjadi jelas bagi dunia modern, dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan mengenai berbagai topik, termasuk mengenai fitrah Gereja, misi yang diemban umat awam, dan kebebasan beragama.[232] Para peserta konsili menyetujui revisi atas liturgi dan membenarkan penggunaan bahasa-bahasa yang dipertuturkan umat di samping bahasa Latin dalam pelaksanaan ritus-ritus liturgi Latin selama berlangsungnya perayaan Misa dan ibadat-ibadat sakramen.[234] Upaya-upaya Gereja untuk meningkatkan persatuan umat Kristen dijadikan prioritas.[235] Selain mencari landasan bersama dalam isu-isu tertentu dengan gereja-gereja Protestan, Gereja Katolik juga telah membahas kemungkinan-kemungkinan untuk bersatu dengan Gereja Ortodoks Timur.[236]
Pembaharuan
Perubahan-perubahan pada ritus-ritus dan upacara-upacara lama selepas Konsili Vatikan II menuai berbagai tanggapan. Sebagian kalangan berhenti pergi ke gereja, sementara yang lain berusaha melestarikan liturgi lama dengan bantuan imam-imam yang bersimpati.[237] Kalangan yang memberi tanggapan-tanggapan semacam ini menjadi cikal bakal dari paguyuban-paguyuban Katolik Tradisionalis, yang percaya bahwa pembaharuan-pembaharuan Vatikan II sudah kebablasan. Umat Katolik liberal di lain pihak justru merasa bahwa pembaharuan-pembaharuan Vatikan II tidak cukup pesat. Pandangan-pandangan liberal dari para teolog, seperti Hans Küng dan Charles Curran, berbuntut pada pencabutan wewenang mereka untuk mengajar selaku pemeluk agama Kristen Katolik oleh Gereja.[238] Menurut Profesor Thomas Bokenkotter, sebagian besar umat Katolik "menerima perubahan-perubahan itu dengan lebih atau kurang santun."[237] Pada 2007, Paus Benediktus XVI melonggarkan perizinan untuk merayakan Misa cara lama, sebagai salah satu opsi yang tersedia untuk merayakan misa, bilamana diminta umat beriman.[239]
Sebuah Codex Iuris Canonici baru, yang disusun atas imbauan Paus Yohanes XXIII, diundangkan Paus Yohanes Paulus II pada 25 Januari 1983. Kitab Hukum Kanonik 1983 juga mengatur berbagai pembaharuan serta penggantian hukum dan tata tertib Gereja Latin. Kitab ini menggantikan Kitab Hukum Kanonik 1917 yang diundangkan Paus Benediktus XV.
Teologi
Modernisme
Teologi pembebasan
Tumbuhnya kesadaran dan politisasi sosial dalam Gereja Katolik di Amerika Latin pada era 1960-an melahirkan teologi pembebasan. Seorang imam asal Peru, Gustavo Gutiérrez, adalah penganjur utama teologi ini.[240] Pada 1979, Konferensi Waligereja Meksiko secara resmi memaklumkan bahwa Gereja Katolik di Amerika Latin "berpihak pada kaum papa".[241] Uskup Agung Óscar Romero, salah seorang pendukung gerakan ini, gugur pada 1980 sebagai martir mutakhir yang paling terkenal dari Amerika Latin, setelah ditembak sewaktu merayakan Misa oleh gerombolan bersenjata yang terkait dengan pemerintah.[242] Baik Paus Yohanes Paulus II maupun Paus Benediktus XVI (Kardinal Ratzinger kala itu) mengecam gerakan ini.[243] Teolog Brazil, Leonardo Boff, sampai dua kali diperintahkan untuk berhenti menerbitkan karya tulis dan mengajar.[244] Paus Yohanes Paulus II dikecam karena mengambil tindakan yang sangat tegas terhadap para penganjur gerakan ini, namun ia bersikeras bahwa Gereja, dalam berbagai usahanya untuk membela kaum papa, tidak dibenarkan menggunakan kekerasan maupun politik kepartaian.[240] Gerakan ini masih hidup sampai sekarang di Amerika Latin, meskipun Gereja kini menghadapi tantangan kebangunan rohani Pentakosta di sebagian besar dari kawasan itu.[245]
Seksualitas dan isu gender
Revolusi seks pada era 1960-an membangkitkan isu-isu yang menantang bagi Gereja Katolik. Ensiklik Paus Paulus VI yang terbit pada 1968, Humanae Vitae, menegaskan kembali pandangan tradisional Gereja Katolik tentang pernikahan dan hubungan-hubungan dalam pernikahan, serta meneguhkan penentangan abadi terhadap pengendalian kelahiran buatan manusia. Selain itu, ensiklik ini juga kembali menegaskan kesucian hidup manusia, mulai dari dalam kandungan sampai wafat secara wajar, serta mengutuk aborsi dan eutanasia sebagai dosa-dosa berat yang setara dengan pembunuhan.[246][247]
Adanya usaha-usaha menggiring Gereja untuk mempertimbangkan pentahbisan kaum perempuan mendorong Paus Yohanes Paulus II untuk mengeluarkan dua dokumen yang menjelaskan ajaran Gereja terkait gagasan tersebut. Mulieris Dignitatem dikeluarkan pada 1988 untuk menjelaskan peran yang sama penting dan bersifat melengkapi dari kaum perempuan di dalam karya Gereja.[248][249] Selanjutnya pada 1994, terbit Ordinatio Sacerdotalis yang menjelaskan bahwa Gereja hanya menahbiskan laki-laki demi meneladani Yesus, yang hanya memilih laki-laki saja untuk melaksanakan tugas khusus ini.[250][251][252]
Gereja Katolik dewasa ini
Dialog Katolik-Ortodoks
Pada bulan Juni 2004, Batrik Ekumene, Bartolomeus I, berkunjung ke Roma pada Hari Santo Petrus dan Santo Paulus (29 Juni) untuk sekali lagi bertemu secara pribadi dengan Paus Yohanes Paulus II, untuk melakukan pembicaraan dengan Dewan Kepausan Bagi Kemajuan Persatuan Umat Kristen, dan untuk menghadiri upacara perayaan hari besar itu di Basilika Santo Petrus.
Keikutsertaan Batrik Ekumene dalam liturgi Ekaristi yang dipimpin Sri Paus mengikuti program kunjungan Batrik Ekumene sebelumnya yang dilakukan Batrik Dimitrios pada 1987 dan Batrik Bartolomeus I sendiri, yakni program yang terdiri atas keikutsertaan penuh dalam Liturgi Sabda, pendarasan Syahadat Nikea-Konstantinopel dalam bahasa Yunani secara bersama-sama oleh Sri Paus dan Batrik Ekumene, dan diakhiri berkat penutup yang diberikan Sri Paus bersama-sama Batrik Ekumene dari depan altar Confessio.[253] Batrik Ekumene tidak ikut serta secara penuh dalam Liturgi Ekaristi yang mencakup konsekrasi dan pembagian komuni.[254][255]
Sesuai dengan praktik Gereja Katolik yang menyertakan klausa filioque bilamana mendaraskan Syahadat Nikea dalam bahasa Latin,[256] tetapi tidak menyertakannya bilamana mendaraskan Syahadat Nikea dalam bahasa Yunani,[257] Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI telah mendaraskan Syahadat Nikea bersama-sama dengan Batrik Dimitrios I dan Batrik Bartholomeus I dalam bahasa Yunani tanpa menyertakan klausa filioque.[258][259] Tindakan kedua batrik ini, yakni mendaraskan syahadat bersama-sama dengan Sri Paus, mendapat kecaman tajam dari sebagian pihak di kalangan Kristen Ortodoks Timur, misalnya Metropolit Kalavryta di Yunani, pada bulan November 2008[260]
Pernyataan Ravenna pada 2007 menegaskan kembali keyakinan-keyakinan ini, dan mengemukakan kembali gagasan bahwa Uskup Roma memang adalah protos (orang nomor satu), meskipun kelak akan digelar pembahasan-pembahasan terkait pelaksanaan yang eklesiologis dan konkret dari keutamaan Sri Paus.
Kasus pelecehan seksual
Pada 2001, muncul gugatan-gugatan hukum yang mengklaim bahwa imam-imam Katolik telah melakukan pelecehan seksual terhadap kanak-kanak.[261] Untuk menanggapi skandal yang merebak, Gereja Katolik telah menetapkan prosedur-prosedur resmi untuk mencegah tindakan pelecehan, untuk mengimbau masyarakat agar melaporkan tindakan-tindakan pelecehan yang telah terjadi, dan untuk menangani laporan-laporan tersebut dengan segera, meskipun efektifitas dari prosedur-prosedur ini dipermasalahkan kelompok-kelompok yang mewakili para korban pelecehan.[262]
Sejumlah imam mengundurkan diri, yang lain dipecat serta dipenjarakan,[263] dan ada pula penyelesaian-penyelesaian damai secara finansial dengan sejumlah besar korban pelecehan.[261] Konferensi Waligereja Amerika Serikat memerintahkan dilakukannya suatu kajian komprehensif yang akhirnya mendapati bahwa empat persen dari seluruh imam yang bertugas di Amerika Serikat sejak 1950 sampai dengan 2002 telah menghadapi salah satu dari sekian macam dakwaan pelanggaran kesusilaan.
Paus Benediktus XVI
Dengan terpilihnya Paus Benediktus XVI pada 2005, Gereja Katolik telah menyaksikan perlanjutan sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II, dengan beberapa pengecualian yang menonjol: Paus Benediktus mendesentralisasikan upacara beatifikasi dan membatalkan keputusan pendahulunya terkait pemilihan paus.[264] Pada 2007, ia menciptakan rekor baru dalam sejarah Gereja dengan menyetujui beatifikasi 498 Martir Spanyol. Ensikliknya yang pertama, Deus caritas est, membahas tentang cinta kasih dan seks dalam penentangan berkesinambungan terhadap pandangan-pandangan lain mengenai seksualitas.
Upaya Gereja Katolik untuk memperbaiki hubungan ekumene dengan Gereja Ortodoks Timur diperumit sengketa seputar doktrin maupun sejarah mutakhir dari Gereja-Gereja Katolik Timur, yang mencakup pula permasalahan pengembalian properti Gereja-Gereja Katolik Timur yang diambil alih Gereja Ortodoks semasa Perang Dunia II atas perintah Yosef Stalin.
Paus Fransiskus
Paus Fransiskus adalah paus yang menjabat saat ini. Sesudah pengunduran diri Paus Benediktus, ia terpilih pada 2013 sebagai paus pertama dari tarekat Yesuit sekaligus paus pertama dari Benua Amerika dan paus pertama dari Belahan Selatan Bumi.[265] Semenjak terpilih menjadi paus, ia telah meperlihatkan suatu pendekatan yang lebih sederhana dan kurang formal terhadap jabatan paus, dengan memilih untuk tinggal di wisma tamu Vatikan ketimbang di kediaman resmi Sri Paus.[266] Ia juga telah mengisyaratkan sejumlah perubahan dramatis dalam ranah kebijakan—misalnya menyingkirkan tokoh-tokoh konservatif dari jabatan-jabatan tinggi di Vatikan, mengimbau para uskup untuk hidup lebih bersahaja, dan mengambil sikap yang lebih pastoral terhadap homoseksualitas.[267][268]
Lihat pula
Keterangan
- ^ Joyce, George (1913). "The Pope". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.
Sehubungan dengan anggapan bahwa Petrus adalah Uskup Roma yang pertama, "Tidaklah sukar untuk menunjukkan fakta bahwa statusnya [Petrus] sebagai Uskup Roma didukung banyak sekali bukti sehingga dapat dipastikan secara historis. Sehubungan dengan hal ini, sebaiknya dimulai dengan bukti-bukti dari abad ketiga, manakala rujukan-rujukan mengenai statusnya itu semakin sering muncul, dan setelah itu barulah ditelaah mundur dari titik waktu ini. Pada pertengahan abad ketiga, Santo Siprianus secara terang-terangan menyebut Takhta Keuskupan Roma sebagai Takhta Santo Petrus, dan menyebutkan bahwa Kornelius telah mewarisi "kedudukan Fabianus yang adalah kedudukan Petrus" (Ep 55:8; cf. 59:14). Firmilianus dari Kaisarea mencermati bahwa Stefanus mengklaim berhak menyelesaikan kontroversi baptisan ulang atas dasar statusnya selaku waris jabatan Petrus (Siprianus, Ep. 75:17). Ia tidak menafikan klaim itu: meskipun sudah pasti akan ia nafikan, andaikata mungkin ia lakukan. Jadi, pada tahun 250, status Petrus sebagai Uskup Roma diakui orang-orang yang benar-benar tahu duduk perkaranya, tidak saja di Roma tetapi juga di Gereja-Gereja Afrika dan Asia Kecil. Pada perempat pertama abad itu (sekitar tahun 220), Tertulianus (De Pud. 21) menyebutkan tentang klaim Kalistus bahwa kuasa Petrus untuk mengampuni dosa telah diturunkan secara istimewa kepada dirinya. Andaikata Gereja Roma hanya sekadar didirikan Petrus dan tidak mengakuinya sebagai uskup pertama, maka tidak ada dasar bagi klaim-klaim semacam itu. Tertulianus, sama halnya dengan Firmilianus, punya motif yang kuat untuk menafikan klaim itu. Lagi pula, ia sendiri menetap di Roma, dan tentunya akan tahu persis jika gagasan mengenai status Petrus selaku Uskup Roma itu, sebagaimana yang digembar-gemborkan para penentangnya, baru muncul pada tahun-tahun pertama abad ketiga, sebagai ganti riwayat yang lebih tua bahwasanya Gereja Roma didirikan bersama-sama oleh Petrus dan Paulus, dan bahwasanya Uskup Roma yang pertama adalah Linus. Sekitar waktu yang sama, Hipolitus (karena Lightfoot tentunya telah bertindak benar dengan meyakininya sebagai penulis bagian pertama dari "Catalogus Liberianus" — "Klemens dari Roma", 1:259) mencantumkan nama Petrus dalam daftar Uskup Roma...."[14] - ^ Menurut beberapa sejarawan, termasuk Bart D. Ehrman, "Petrus, singkatnya, tidak mungkin adalah uskup pertama kota Roma, karena Gereja Roma tidak memiliki uskup seorang pun sampai kurang lebih seratus tahun sesudah Petrus wafat."[17]
- ^ Sebagai contoh, Bokenkotter menyebutkan bahwa hari Minggu dijadikan hari libur negara, pelacuran dan zina diganjar hukuman yang lebih berat, serta sejumlah aturan perlindungan ditetapkan atas para budak belian. (Bokenkotter, hlmn. 41–42.)
Rujukan
- ^ "Vatican congregation reaffirms truth, oneness of Catholic Church". Catholic News Service. Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 July 2007. Diakses tanggal 17 March 2012.
- ^ (Inggris) "Paragraph 862", Catechism of the Catholic Church, Second Edition, Libreria Editrice Vaticana, 2012, diakses tanggal 16 November 2014
- ^ Hitchcock, Geography of Religion (2004), hlm. 281, kutipan: "Beberapa (jemaat) di antaranya dibentuk Petrus, murid yang ditetapkan Yesus menjadi pendiri Gereja. Ketika jabatan ini terlembagakan, para sejarawan pun menoleh ke masa silam dan mengakui bahwa Petrus adalah paus pertama umat Kristen di kota Roma"
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 11, 14, kutipan: "Gereja ini didirikan Yesus sendiri semasa hidupnya di dunia.", "Karya kerasulan ini dibentuk di Roma, ibu kota dunia ketika Gereja pertama kali berdiri; jelas-jelas kota inilah yang dijadikan pusat panduan ajaran agama Kristen sedunia–Uskup Romalah yang sejak semula diminta uskup-uskup lain untuk menuntaskan silang pendapat."
- ^ a b c Chadwick, Henry, hlm. 37.
- ^ a b Duffy, hlm. 18.
- ^ a b Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 81
- ^ Kreeft, hlm. 980.
- ^ Bokenkotter, hlm. 30.
- ^ Barry, hlm. 46.
- ^ (Inggris) CCC, 880–881, Vatican.va, diakses tanggal 1 November 2014
- ^ Matius 16:13–20
- ^ "Saint Peter the Apostle: Incidents important in interpretations of Peter". Encyclopædia Britannica. Diakses tanggal 8 November 2014.
- ^ a b Joyce, George (1913). "The Pope". Dalam Herbermann, Charles. Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.
- ^ "Was Peter in Rome?". Catholic Answers. 10 Agustus 2004. Diakses tanggal 9 November 2014.
andaikata Petrus tidak pernah menjejakkan kakinya di kota Roma, ia tetap dapat menjadi paus pertama, karena salah seorang penggantinya dapat saja menjadi pemegang jabatan paus yang pertama kali menetap di Roma. Bagaimanapun juga, kepausan wujud karena dilembagakan Kristus semasa hidupnya, jauh sebelum Petrus diriwayatkan berkunjung ke Roma. Sudah tentu ada rentang waktu selama beberapa tahun manakala lembaga kepausan belum memiliki kaitan dengan kota Roma.
line feed character di|quote=
pada posisi 266 (bantuan) - ^ a b c Raymond E. Brown, 101 Questions and Answers on the Bible (Paulist Press 2003 ISBN 978-0-80914251-4), hlmn. 132–134
- ^ Bart D. Ehrman. "Peter, Paul, and Mary Magdalene: The Followers of Jesus in History and Legend." Oxford University Press, USA. 2006. ISBN 0-19-530013-0. hlm. 84
- ^ Oscar Cullmann (1962), Peter: Disciple, Apostle, Martyr (ed. ke-2), Westminster Press hlm. 234
- ^ Henry Chadwick (1993), The Early Church, Penguin Books hlm. 18
- ^ Bokenkotter, hlm. 24.
- ^ a b Chadwick, Henry, hlmn. 23–24.
- ^ Hitchcock, Geography of Religion (2004), hlm. 281, kutipan: "Pada 100 M, lebih dari 40 jemaat Kristen tumbuh di kota-kota yang tersebar di sekeliling Laut Tengah, termasuk dua jemaat di Afrika Utara, yakni di Aleksandria dan Kirene, serta beberapa jemaat di Italia."
- ^ A.E. Medlycott, India and The Apostle Thomas, hlmn.1-71, 213-97; M.R. James, Apocryphal New Testament, hlmn.364-436; Eusebius, Historia, bab 4:30; J.N. Farquhar, The Apostle Thomas in North India, bab 4:30; V.A. Smith, Early History of India, hlm.235; L.W. Brown, The Indian Christians of St. Thomas, hlmn.49–59
- ^ stthoma.com, stthoma.com, diakses tanggal 8 Agustus 2013
- ^ McMullen, hlmn. 37, 83.
- ^ Davidson, The Birth of the Church (2005), hlm. 115
- ^ MacCulloch, Christianity, hlm. 109.
- ^ Davidson, The Birth of the Church' (2005), hlm. 146
- ^ Davidson, The Birth of the Church (2005), hlm. 149
- ^ MacCulloch, Christianity, hlmn.127–131.
- ^ Duffy, hlmn. 9–10.
- ^ Markus, hlm. 75.
- ^ MacCulloch, Christianity, hlm. 134.
- ^ MacCulloch, Christianity, hlm. 141.
- ^ Davidson, The Birth of the Church (2005), hlmn. 169, 181
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 27–8, quote: "Sejumlah ahli hujah ternama yang muncul satu demi satu kian meningkatkan wibawa intelektual khazanah ajaran yang dimiliki lembaga kepausan, tepat pada waktunya, dalam kurun waktu awal perkembangannya, manakala ketiadaan jawatan pengajaran dapat memecah-belah kesaksian semesta, sehingga menjadi satu kesatuan gagasan yang utuh. Pada penghujung abad pertama, muncul Santo Klemens dari Roma, pengganti Santo Petrus yang ketiga selaku Uskup Roma; pada abad kedua muncul Santo Ignasius dari Antiokhia, Santo Ireneus dari Lyons, dan Santo Yustinus Martir; pada abad keempat muncul Santo Agustinus dari Hipo.
- ^ MacCulloch, Christianity, hlmn. 155–159, 164.
- ^ Chadwick, Henry, hlm. 41.
- ^ Chadwick, Henry, hlmn. 41–42, 55.
- ^ Heikki Räisänen (2010). The Rise of Christian Beliefs: The Thought World of Early Christians. Fortress Press. hlm. 292. ISBN 9781451409536.
- ^ MacCulloch, Christianity, hlm. 174.
- ^ Duffy, hlm. 20.
- ^ Collins, The Story of Christianity (1999), hlmn. 58-59
- ^ Collins, The Story of Christianity (1999), hlm. 59
- ^ Weil, Surat kepada Seorang Imam, kutipan 35
- ^ McMullen, hlm. 44.
- ^ Bokenkotter, hlm. 41.
- ^ a b McMullen, hlm. 49–50.
- ^ Duffy, hlm. 64.
- ^ McMullen, hlm. 54.
- ^ MacCulloch, Christianity, hlm. 199.
- ^ McMullen, hlm. 93.
- ^ Duffy, hlm. 27. Chadwick, Henry, hlm. 56.
- ^ Duffy, hlm. 29. MacCulloch Christianity, hlm. 212.
- ^ MacCulloch, Christianity, hlm. 221.
- ^ MacCulloch, Christianity, hlm. 225.
- ^ Chadwick, Henry, hlmn. 56–57.
- ^ Duffy, hlm. 34.
- ^ MacCulloch, Christianity, hlmn. 185, 212.
- ^ "Lecture 27: Heretics, Heresies and the Church". 2009. Diakses tanggal 24 April 2010. Review of Church policies towards heresy, including capital punishment (lihat Sinode di Saragosa).
- ^ Collins, The Story of Christianity (1999), hlmn. 61–62
- ^ Denzinger 186 menurut penomoran baru, 92 Diarsipkan 18 April 2010 di Wayback Machine. menurut penomoran lama
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 35
- ^ Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 84–93
- ^ McManners, Oxford Illustrated History of Christianity (2002), hlm. 142, Bab 4 Eastern Christendom karya Kallistos Ware
- ^ Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlmn. 5–20
- ^ a b Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlm. 21
- ^ Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlm. 27
- ^ Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlm. 120
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 50–52
- ^ Collins, The Story of Christianity (1999), hlmn. 84–6
- ^ Vidmar, Jedin 34
- ^ a b Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 63, 74
- ^ Franzen 35
- ^ Jedin 36
- ^ Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 107–111
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 78, quote: "Pengganti Paus Paskalis, Paus Eugenius II (824–7), justru terpilih berkat pengaruh kaisar, sehingga menghilangkan sebagian besar dari keuntungan-keuntungan yang sudah dicapai lembaga kepausan. Ia mengakui kedaulatan kaisar atas Negara Gereja, dan menerima undang-undang dasar sodoran dari Lothair yang mengesahkan pengawasan kekaisaran atas tata usaha pemerintahan Roma, memaksa seluruh warga Negara Gereja untuk bersumpah setia kepada kaisar, dan mewajibkan paus terpilih untuk bersumpah setia kepada kaisar sebelum dinobatkan. Bahkan pada masa jabatan Paus Sergius II (844–847), ditetapkan bahwa paus terpilih tidak boleh dinobatkan tanpa mandat kaisar, dan upacara penobatan harus dihadiri wakil kaisar. Pemberlakuan ketetapan ini sama saja dengan menghidupkan kembali sejumlah aturan Kekaisaran Romawi Timur yang jauh lebih merendahkan martabat."
- ^ Franzen. 36–42
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 88–89
- ^ Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlm. 40
- ^ Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlmn. 80–82
- ^ a b Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlmn. 44–48
- ^ a b Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 158–159
- ^ a b Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 91
- ^ Collins, The Story of Christianity (1999), hlm. 103
- ^ a b Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 104
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 119, 131
- ^ "Eastern Catholic". Catholic World News. Trinity Communications. 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 April 2005. Diakses tanggal 30 Mei 2008.
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 278
- ^ Riley-Smith, The First Crusaders (1997), hlm. 8
- ^ Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 130–131
- ^ Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 140 quote: "Jadi ketika Urbanus menyerukan imbauan untuk mengobarkan Perang Salib di Clermont pada tahun 1095, salah satu motifnya adalah memberi bantuan kepada umat Kristen Timur yang sedang dirundung masalah."
- ^ Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 155 quote: "Tersiar pula cerita-cerita tentang perlakuan semena-mena orang kafir terhadap orang-orang Kristen yang sedang berziarah ke Yerusalem. Cerita-cerita ini membangkitkan kemarahan masyarakat Dunia Barat."
- ^ Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlmn. 65–67
- ^ Tyerman, God's War: A New History of the Crusades (2006), hlmn. 525–560
- ^ "Pope sorrow over Constantinople". BBC News. 29 June 2004. Diakses tanggal 6 April 2008.
- ^ a b Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlmn. 119–122
- ^ a b Norman, The Roman Catholic Church (2007), hlm. 62
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 101
- ^ Le Goff, Medieval Civilization (1964), hlm. 87
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 112
- ^ Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 144–147, quote: "Perang Salib yang kelak dikenal dengan sebutan Perang Salib Albigenses ini berlangsung sampai tahun 1219. Selaku seorang ahli hukum, Paus Inosensius III mampu menyadari kenyataan bahwa Perang Salib mudah sekali lepas kendali sekaligus mampu memikirkan cara untuk membendungnya. Ia mengimbau para penguasa lokal untuk mengadopsi undang-undang anti-ahli bidah dan menghadapkan terdakwa ke mahkamah. Pada tahun 1231, lembaga kepausan mulai melancarkan inkuisisi, dan para frater ditugaskan untuk membentuk mahkamah-mahkamah investigasi."
- ^ a b Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 132, quote: "Sebuah Perang Salib dimaklumkan terhadap kaum yang kadang-kadang disebut "Albigenses" ... Dalam rangka Perang Salib inilah lahir sistem inkuisisi lembaga kepausan, yakni mahkamah khusus yang dibentuk atas ketetapan Sri Paus dan bertugas mengusut para ahli bidah. Tanggung jawab tersebut sebelumnya dipercayakan kepada para uskup lokal. Meskipun demikian, Paus Innosensius merasa perlu menanggulangi ancaman kaum Albigenses sehingga mengirim delegasi-delegasi dengan kuasa khusus yang membuat mereka lepas dari kewenangan uskup. Pada tahun 1233, Paus Gregorius IX mengubah lembaga ad hoc ini menjadi sebuah sistem permanen yang dijalankan para inkuisitor, yang lazimnya dipilih dari kaum fakir Kristen, yakni anggota-anggota tarekat Dominikan dan tarekat Fransiskan yang terkenal berani, jujur, arif, dan giat."
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 93
- ^ a b Black, Early Modern Italy (2001), hlmn. 200–202
- ^ Casey, Early Modern Spain: A Social History (2002), hlmn. 229–230
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 122
- ^ McManners, Oxford Illustrated History of Christianity (1990), hlm. 232, Bab 6 Christian Civilization oleh Colin Morris (Universitas Southampton)
- ^ Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 155
- ^ a b McManners, Oxford Illustrated History of Christianity (1990), hlm. 240, Bab 7 Gereja pada Akhir Abad Pertengahan dan Pembaharuannya oleh Patrick Collinson (Universitas Cambridge)
- ^ Koschorke, K. A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlmn. 13, 283
- ^ Dussel, Enrique, A History of the Church in Latin America, Wm B Eerdmans Publishing, 1981, hlmn. 39, 59
- ^ Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlm. 135
- ^ Bruce E. Johansen, The Native Peoples of North America, Rutgers University Press, New Brunswick, 2006, hlmn. 109, 110, quote: "Di Benua Amerika, Bartolomé de Las Casas, seorang imam Katolik, giat mendorong dilakukannya penyelidikan resmi terhadap berbagai macam kekejaman dalam aksi penaklukan yang dilakukan bangsa Spanyol. Las Casas mendata tindakan-tindakan brutal bangsa spanyol terhadap orang-orang pribumi dengan sangat cermat."
- ^ a b c Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlm. 287
- ^ Dussel, Enrique, A History of the Church in Latin America, Wm B Eerdmans Publishing, 1981, hlmn. 45, 52, 53 quote: "Gereja yang misioner ini sejak semula sudah menentang tindakan-tindakan negara tersebut, dan hampir semua hal positif yang dilakukan demi kemaslahatan orang-orang pribumi adalah buah dari imbauan dan seruan para misionaris. Meskipun demikian, kenyataan bahwa ketidakadilan yang merajalela sangat sukar diberantas tetap tidak dapat dipungkiri ... Tokoh yang lebih berjasa daripada Bartolome de Las Casas adalah Uskup Nikaragua, Antonio de Valdeviso, yang wafat sebagai martir karena membela masyarakat Indian."
- ^ Bruce E. Johansen, The Native Peoples of North America, Rutgers University Press, New Brunswick, 2006, hlmn. 109, 110, quote: Sebagian besar karena karya tulis Las Casas, muncul gerakan di Spanyol yang memperjuangkan perlakuan yang lebih manusiawi terhadap orang-orang pribumi.
- ^ Woods, How the Church Built Western Civilization (2005), hlm. 137
- ^ Chadwick, Owen, The Reformation, Penguin, 1990, hlm. 327
- ^ Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlm. 21
- ^ Bruce E. Johansen, The Native Peoples of North America, Rutgers University Press, New Brunswick, 2006, hlm. 110, quote: "Dalam bula Sublimis deus (1537), Paus Paulus III menegaskan bahwa bangsa Indian harus dianggap sungguh-sungguh manusia, dan jiwa-jiwa mereka sama abadinya dengan jiwa-jiwa bangsa Eropa. Penegasan ini juga mengharamkam segala bentuk pembudakan bangsa Indian..."
- ^ Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlm. 290
- ^ Samora dkk., A History of the Mexican-American People (1993), hlm. 20
- ^ Jackson, From Savages to Subjects: Missions in the History of the American Southwest (2000), hlm. 14
- ^ Jackson, From Savages to Subjects: Missions in the History of the American Southwest (2000), hlm. 13
- ^ Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlmn. 3, 17
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 133
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 86
- ^ a b Franzen 65–78
- ^ a b Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 201–205
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 149
- ^ a b Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 184
- ^ a b Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 215
- ^ Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 223–224
- ^ Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 196–200
- ^ a b Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 233
- ^ a b Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 177–178
- ^ Richard R. Henderson; International Council on Monuments and Sites. U.S. Committee; United States. National Park Service (March 1989). A Preliminary inventory of Spanish colonial resources associated with National Park Service units and national historic landmarks, 1987. United States Committee, International Council on Monuments and Sites, for the U.S. Dept. of the Interior, National Park Service. hlm. 87.
- ^ Pleading the Belly: A Sparing Plea? Pregnant Convicts and the Courts in Medieval England oleh Sara M. Butler dalam Crossing Borders: Boundaries and Margins in Medieval and Early Modern Britain DOI: https://doi.org/10.1163/9789004364950_009
- ^ Roger Scruton (1996). A Dictionary of Political Thought. hlm. 470.
Reformasi (Inggris) tidak boleh dicampuradukkan dengan perubahan-perubahan yang diperkenalkan dalam Gereja Inggris sewaktu 'Reformasi Parlemen' tahun 1529 sampai tahun 1536, yang pada hakikatnya bersifat politik alih-alih bersifat keagamaan, dirancang untuk menyatukan sumber kewenangan sekuler dan sumber kewenangan keagamaan menjadi satu kewenangan tunggal: Gereja Anglikan baru kemudian hari memunculkan perubahan-perubahan mendasar dalam doktrin.
- ^ Schama, A History of Britain 1: At the Edge of the World? (2003), hlmn. 309–311
- ^ a b Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 220, quote: "Melihat kegigihan Cranmer dalam mempengaruhinya untuk menjadikan Inggris sebagai negara Lutheran atau Kalvinis, Henry mengambil keputusan pada bulan September 1538 dan mengundangkan Enam Pasal, yang bertujuan memulihkan iman purba, termasuk amalan selibat bagi kaum rohaniwan. Pada tahun 1543, sebagian besar undang-undang Reformasi ditunggangbalikkan. Satu orang, John Lambert, dijadikan contoh pada bulan November 1538. Ia dibakar dengan cara diseret keluar masuk kobaran api karena menganut keyakinan-keyakinan yang sama dengan Cranmer mengenai Ekaristi. Cranmer dipaksa menyaksikan peristiwa brutal itu. Ia juga harus memulangkan istrinya ke Jerman."
- ^ Gonzalez, The Story of Christianity, Jilid 2 (1985), hlm. 75, quote: "Di Inggris, ia mengambil langkah-langkah yang bertujuan sedapat mungkin menyesuaikan gereja di negeri itu dengan agama Kristen Katolik Roma, kecuali dalam urusan ketaatan kepada Sri Paus. Ia juga menolak memulihkan biara-biara, yang sudah ia segel dan sita dengan alasan reformasi, dan yang harta bendanya tidak ingin ia kembalikan."
- ^ a b c d e Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlmn. 225–226
- ^ Haigh, The English Reformation Revised (1987), hlm. 159, quote: "Mary ingin secepat mungkin mengubah Inggris menjadi negara Katolik: menegakkan kembali kewibawaan Sri Paus, membatalkan statuta-statuta parlemen yang telah mengubah hubungan antara Gereja dan negara dengan begitu radikal, serta memulihkan kembali doktrin dan peribadatan Katolik di dalam gereja Inggris. Tidak ada yang boleh menghalangi langkahnya. Baik gerutu, kerusuhan, maupun pemberontakan rakyat, bahkan saran duta besar Spanyol agar tidak bertindak buru-buru, mampu menghentikan usaha sang ratu untuk mewujudkan niatnya. ... Tewas dibakar hidup-hidup di tangan sheriff menjadi hukuman bagi siapa saja yang terbukti menganut ajaran bidah di hadapan mahkamah Gereja dan tidak bersedia mengingkarinya."
- ^ Solt, Church and State in Early Modern England, 1509–1640, (1990), hlm. 149
- ^ Schama, A History of Britain 1: At the Edge of the World? (2003), hlmn. 272–273.
- ^ Jackson, Ireland Her Own (1991), hlm. 514
- ^ a b Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 131–132
- ^ Potemra, Michael (13 July 2004). "Crucible of Freedom". National Review. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 April 2007. Diakses tanggal 21 Juni 2008.
- ^ a b Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 242–244
- ^ Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 237
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 91–92
- ^ Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 251
- ^ Vidmar, The Catholic Church Through the Ages (2005), hlm. 241
- ^ Murray, Dictionary of the Arts (1994), hlm. 45
- ^ a b Koschorke, A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America (2007), hlmn. 31–32
- ^ McManners, Oxford Illustrated History of Christianity (1990), hlm. 318, Bab 9 The Expansion of Christianity oleh John McManners
- ^ Otto Stegmüller, Barock, in Marienkunde, 1967 566
- ^ F Zöpfl, Barocke Frömmigkeit, dalam Marienkunde, 577
- ^ Zöpfl 579
- ^ Lortz, IV, 7–11
- ^ Duffy 188–189
- ^ a b Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 188–191
- ^ Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 267–269
- ^ Franzen 326
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 137
- ^ a b Franzen 328
- ^ Ulrich L. Lehner, The Catholic Enlightenment. The Forgotten History of a Global Movement (Oxford University Press, 2016).
- ^ Franzen, 362
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlmn. 111–112
- ^ King, Mission to Paradise(1975), hlm. 169
- ^ Franzen 362
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 221
- ^ Franzen, 323
- ^ Robert Eric Frykenberg, Christianity in India: From Beginnings to the Present (Oxford University Press, 2008)
- ^ Stephen Neill, A History of Christianity in India (Cambridge University Press, 1984)
- ^ Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlmn. 283–285
- ^ Kenneth Scott Latourette, Christianity in a Revolutionary Age. Jld. I: The 19th Century in Europe; Background and the Roman Catholic Phase (1958) hlmn. 120–127
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 214–216
- ^ Latourette, Jld. I: The 19th Century in Europe; Background and the Roman Catholic Phase (1958) hlmn. 127–129, 399–462
- ^ Robert Gildea, Children of the Revolution: The French, 1799–1914(2008) hlm. 120
- ^ Roger Price, A Social History of Nineteenth-Century France (1987) bab 7
- ^ Kenneth Scott Latourette, Christianity in a Revolutionary Age. Jld. I: The 19th Century in Europe; Background and the Roman Catholic Phase (1958) hlmn. 400–412
- ^ Theodore Zeldin, France, 1848–1945 (1977) Jld. 2, hlmn. 983–1040
- ^ Philippe Rigoulot, "Protestants and the French nation under the Third Republic: Between recognition and assimilation," National Identities, Maret 2009, Jld. 11 Edisi 1, hlmn. 45–57
- ^ Barnett B. Singer, "Minoritarian Religion and the Creation of a Secular School System in France," Third Republic (1976) No. 2 hlmn. 228–259
- ^ Patrick J. Harrigan, "Church, State, and Education in France From the Falloux to the Ferry Laws: A Reassessment," Canadian Journal of History, April 2001, 36#1 hlmn. 51–83
- ^ Frank Tallett dan Nicholas Atkin, Religion, society, and politics in France since 1789 (1991) hlm. 152
- ^ Robert Gildea, Children of the Revolution: The French, 1799–1914 (2010) bab 12
- ^ Hastings, hlmn. 397–410
- ^ John Paul II, General Audience, Vatican.va, Maret 24, 1993, diarsipkan dari versi asli tanggal 10 Agustus 2011, diakses tanggal 8 Agustus 2013
- ^ Pius IX dalam Bäumer, hlm. 245
- ^ dan menambahkan frasa Immaculata pada Litani Loreto.
- ^ Bauer 566
- ^ Civilta Catolica 6 Februari 1869.
- ^ Leith, Creeds of the Churches (1963), p. 143
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 232
- ^ Fahlbusch, The Encyclopedia of Christianity (2001), hlm. 729
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 240
- ^ Duffy 260
- ^ Franzen, 368
- ^ Felicity O'Brien, Pius XII, London 2000, hlm.13
- ^ Geoffrey Blainey; A Short History of Christianity; Penguin Viking; 2011
- ^ 140th anniversary of largest women’s religious institute : News Headlines, Catholic Culture, 3 Mei 2012, diakses tanggal 8 Agustus 2013
- ^ Herbermann, Charles, ed. (1913). "Sisters of Mercy". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton Company.
- ^ Mystici corporis, Lumen gentium dan Redemptoris Mater menyajikan pemahaman Katolik modern mengenai keterkaitan ini.
- ^ lihat Mystici corporis yang dikeluarkan Paus Pius XII, dan Redemptoris Mater yang dikeluarkan Paus Yohanes Paulus II: Konsili Vatikan II, dengan menghadirkan Maria dalam misteri Kristus, juga menemukan jalan untuk memahami misteri Gereja secara lebih mendalam. Maria, sebagai Bunda Kristus, bersatu sedemikian rupa dengan Gereja, "yang didirikan Tuhan sebagai tubuh-Nya sendiri."
- ^ a b Chadwick, Owen, hlmn. 264–265.
- ^ Scheina, hlm. 33.
- ^ Riasanovsky 617
- ^ Riasanovsky 634
- ^ Payne, Stanley G (2008). Franco and Hitler: Spain, Germany and World War II. Yale University Press. hlm. 13. ISBN 0-300-12282-9.
- ^ Fernandez-Alonso, J (2002). The New Catholic Encyclopedia. 13. Catholic University Press/Thomas Gale. hlm. 395–396. ISBN 0-7876-4017-4.
- ^ Mary Vincent, Catholicism in the Second Spanish Republic ISBN 0-19-820613-5 hlm.218
- ^ Emma Fattorini, Hitler, Mussolini and the Vatican: Pope Pius XI and the Speech That was Never Made (2011) Bab 1
- ^ Frank J. Coppa, Controversial concordats: the Vatican's relations with Napoleon, Mussolini, and Hitler (1999)
- ^ Cyprian Blamires (2006). World Fascism: A Historical Encyclopedia. ABC-CLIO. hlm. 120. ISBN 9781576079409.
- ^ Kenneth Scott Latourette, Christianity In a Revolutionary Age A History of Christianity in the 19th and 20th Century: Jld. 4 The 20th Century In Europe (1961) hlmn. 32-35, 153, 156, 371
- ^ Eamon Duffy (2002). Saints and Sinners: A History of the Popes; Edisi ke-2. Yale University Press. hlm. 340. ISBN 0300091656.
- ^ Latourette, Christianity in a Revolutionary Age A History of Christianity in the 19th and 20th Century: Bab 4 The 20th Century in Europe (1961) hlmn. 188-191
- ^ Latourette, Christianity in a Revolutionary Age: A History of Christianity in the 19th and 20th Century: Bab 4 The 20th Century in Europe (1961) hlmn. 176-188
- ^ Mark Edward Russ, "The Nazis' Religionspolitik: An Assessment of Recent Literature," Catholic Historical Review (2006) 92#3 hlmn. 252-267
- ^ Wolfgang Dierker, "Himmlers Glaubenskrieger. Der Sicherheitsdienst der SS, Seine Religionspolitik und die 'Politische Religion' des Nationalsozialismus," Historisches Jahrbuch (2002), Jld. 122, hlmn. 321-344.
- ^ Martyn Housden (1997). Resistance and Conformity in the Third Reich. Psychology Press. hlm. 52. ISBN 9780415121347.
- ^ Cook, hlm. 983
- ^ Bokenkotter hlm. 192
- ^ a b Deák, hlm. 182.
- ^ Eakin, Emily. "New Accusations Of a Vatican Role In Anti-Semitism".
- ^ "Battle Lines Were Drawn After Beatification of Pope Pius IX". The New York Times. 1 September 2001. Diakses tanggal 9 Maret 2008.
- ^ Phayer, hlmn. 50–57
- ^ a b c Duffy, Saints and Sinners (1997), hlmn. 270–6
- ^ J. Derek Holmes; Bernard Bickers (5 Agustus 2002). Short History of the Catholic Church. A&C Black. ISBN 978-0-86012-308-8.
- ^ Paul VI, Pope (1963-12-04). "Sacrosanctum Concilium". Vatican. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-02-21. Diakses tanggal 2008-02-09.
- ^ Duffy, Saints and Sinners (1997), hlm. 274
- ^ "Roman Catholic-Eastern Orthodox Dialogue". Public Broadcasting Service. 2000-07-14. Diakses tanggal 2008-02-16.
- ^ a b Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 410
- ^ Bauckham, Richard, dalam New Dictionary of Theology, oleh Ferguson (penyunting), 1988, hlm. 373
- ^ Surat Apostolik "Motu Proprio data" Summorum Pontificum mengenai penggunaan Liturgi Romawi sebelum pembaharuan tahun 1970 (7 Juli 2007)
- ^ a b "Liberation Theology". BBC. 2005. Diakses tanggal 2008-06-02.
- ^ Aguilar, Mario (2007). The History and Politics of Latin American Theology, Jilid 1. London: SCM Press. hlm. 31. ISBN 978-0-334-04023-1.
- ^ Untuk keterangan lebih lanjut mengenai Uskup Romero dari salah seorang mantan koleganya, lihat Sobrino, Jon (1990). Archbishop Romero: Memories and Reflections. Maryknoll, NY: Orbis. ISBN 978-0-88344-667-6.
- ^ Rohter, Larry (2007-05-07). "As Pope Heads to Brazil, a Rival Theology Persists". The New York Times. Diakses tanggal 2008-02-21. Sebagian besar campur tangan Paus Benediktus XVI dalam usaha penanggulangan teologi pembebasan terjadi ketika ia masih berpangkat Kardinal.
- ^ Aguilar, Mario (2007). The History and Politics of Latin American Theology, Jilid 1. London: SCM Press. hlm. 121. ISBN 978-0-334-04023-1.
- ^ Untuk keterangan lebih lanjut mengenai kegigihan teologi pembebasan untuk bertahan, lihat Rohter, Larry (2007-05-07). "As Pope Heads to Brazil, a Rival Theology Persists". The New York Times. Diakses tanggal 2008-06-02. Mengenai ancaman gerakan Pentakosta, lihat Stoll, David (1990). Is Latin America turning Protestant?: The Politics of Evangelical Growth. Berkeley: University of California Press. ISBN 978-0-520-06499-7.
- ^ Paul VI, Pope (1968). "Humanae Vitae". Vatican. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-19. Diakses tanggal 2008-02-02.
- ^ Norman, The Roman Catholic Church an Illustrated History (2007), hlm. 184
- ^ John Paul II, Pope (1988). "Mulieris Dignitatem". Vatican. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-01-07. Diakses tanggal 2008-02-21.
- ^ Bokenkotter, A Concise History of the Catholic Church (2004), hlm. 467
- ^ Paus Benediktus XVI, Jesus of Nazareth (2008), hlmn. 180–181, kutipan: "Beda antara status murid dari kedua belas Rasul dan status murid dari perempuan-perempuan pengikut Yesus sangatlah jelas; tugas-tugas yang dibebankan kepada kedua kelompok ini cukup berbeda. Akan tetapi Lukas memperjelas—dan Injil-Injil lain juga menunjukkan hal ini dalam berbagai macam cara—bahwasanya 'banyak' perempuan menjadi bagian dari paguyuban umat beriman yang lebih akrab, dan bahwasanya keikutsertaan mereka dengan penuh iman sebagai pengikut Yesus merupakan suatu unsur hakiki dari paguyuban itu, sebagaimana yang tergambarkan dengan begitu hidupnya di kaki salib dan pada peristiwa kebangkitan."
- ^ John Paul II, Pope (1994-05-22). "Apostolic Letter to the Bishops of the Catholic Church on Reserving Priestly Ordination to Men Alone". Vatican. Diakses tanggal 2008-02-02.
- ^ Cowell, Alan (1994-05-31). "Pope Rules Out Debate On Making Women Priests". The New York Times. Diakses tanggal 2008-02-12.
- ^ Laporan Mengenai Hubungan Katolik-Ortodoks
- ^ Presentasi Perayaan Diarsipkan 2004-08-06 di Wayback Machine.
- ^ Pernyataan Bersama
- ^ Missale Romanum 2002 (Buku Misa Romawi dalam bahasa Latin), hlm. 513
- ^ Ρωμαϊκό Λειτουργικό 2006 (Buku Misa Romawi dalam bahasa Yunani), Jld. 1, hlm. 347
- ^ Program PerayaanDiarsipkan 2004-08-06 di Wayback Machine.
- ^ Video rekaman pendarasan syahadat bersama
- ^ Blog pribadi Metropolit Kalavryta, dilaporkan pula oleh kantor berita keagamaan ini dan oleh Gereja Ortodoks Rusia Diarsipkan 2009-09-21 di Wayback Machine.
- ^ a b Bruni, A Gospel of Shame (2002), hlm. 336
- ^ David Willey (15 Juli 2010). "Vatican 'speeds up' abuse cases". BBC News. Diakses tanggal 11 Agustus 2013.
- ^ Newman, Andy (2006-08-31). "A Choice for New York Priests in Abuse Cases". The New York Times. Diakses tanggal 13 Maret 2008.
- ^ Moto Proprio, De Aliquibus Mutationibus, 11 Juni 2007
- ^ Cardinal Walter Kasper Says Pope Francis Will Bring New Life To Vatican II
- ^ Vallely, Paul (14 Maret 2013). "Pope Francis profile: Jorge Mario Bergoglio, a humble man who moved out of a palace into an apartment, cooks his own meals and travels by bus". The Independent. Diakses tanggal 4 Juni 2013.
- ^ Elizabeth Dias, "Pope Francis Willing To 'Evaluate' Civil Unions, But No Embrace of Gay Marriage" TIME 5 Maret 2014
- ^ Mariano Castillo, "Pope Francis reassigns conservative American cardinal," CNN 10 November 2014
Daftar pustaka
- Aguilar, Mario (2007). The History and Politics of Latin American Theology. 1. London: SCM Press. ISBN 978-0-334-04023-1.
- Armstrong, Alastair (2002). The European Reformation. London: Heinemann. ISBN 0-435-32710-0.
- Black, Christopher (2001). Early Modern Italy. Routledge. ISBN 0-415-21434-3.
- Bokenkotter, Thomas (2004). A Concise History of the Catholic Church. Doubleday. ISBN 0-385-50584-1.
- Brown, Stewart J.; Tackett, Timothy, ed. (2007). Cambridge History of Christianity: Jilid 7, Enlightenment, Reawakening and Revolution 1660-1815. ISBN 052181605X.
- Bruni, Frank; Burkett, Elinor (2002). A Gospel of Shame: Children, Sexual Abuse, and the Catholic Church. Harper Perennial. hlm. 336. ISBN 978-0-06-052232-2.
- Casey, James (1999). Early Modern Spain: A Social History (Social History of Modern Europe). Routledge. ISBN 0-415-20687-1.
- Chadwick, Henry (1990). "The Early Christian Community". Dalam McManners, John. The Oxford Illustrated History of Christianity. Oxford University Press. hlm. 20–61. ISBN 0-19-822928-3.
- Chadwick, Owen (1995). A History of Christianity. Barnes & Noble. ISBN 0-7607-7332-7.
- Chadwick, Owen (1990) [1964]. The Reformation. Penguin. ISBN 0-14-013757-2.
- Collins, Michael; Price, Mathew A. (1999). The Story of Christianity. Dorling Kindersley. ISBN 0-7513-0467-0.
- Duffy, Eamon (1997). Saints and Sinners, a History of the Popes. Yale University Press. ISBN 0-300-07332-1.
- Dussel, Enrique (1981). A History of the Church in Latin America. Wm. B. Eerdmans. ISBN 0-8028-2131-6.
- Edward, John Emerich (1908). The Cambridge Modern History. Macmillan & Co. ltd., original from Harvard University. ISBN 0-674-02585-7.
- Fahlbusch, Erwin (2007). The Encyclopedia of Christianity. Wm. B. Eerdmans. ISBN 0-8028-2415-3.
- Franzen, August; Bäumer, Remigius; Fröhlich, Roland (2000). Kleine Kirchengeschichte (dalam bahasa German). Freiburg: Herder. ISBN 978-3-451-26896-0. (quoted as Franzen)
- Franzen, August; Bäumer, Remigius (1988). Papstgeschichte (dalam bahasa German). Freiburg: Herder. ISBN 3-451-08578-X. (quoted as Franzen, Papstgeschichte)
- Haigh, Christopher (1987). The English Reformation Revised. Cambridge University Press. ISBN 0-521-33631-7.
- Hitchcock, Susan Tyler; Esposito, John (2004). Geography of Religion. National Geographic Society. ISBN 0-7922-7313-3.
- Jackson, Robert H. (2000). From Savages to Subjects: Missions in the History of the American Southwest. ME Sharpe, Inc. ISBN 978-0-7656-0597-9.
- Jackson, T.A. (1991). Ireland Her Own. Lawrence & Wishart. ISBN 0-85315-735-9.
- Bruce E. Johansen (2006). The Native Peoples of North America. Rutgers University Press. ISBN 0-8135-3899-8.
- Kamen, Henry (1997). The Spanish Inquisition. London: Weidenfeld & Nicolson. ISBN 0-297-81719-1.
- King, Kenneth (1975). Mission to Paradise: The Story of Junipero Serra and the Missions of California. Society of California Pioneers.
- Koschorke, Klaus; Ludwig, Frieder; Delgado, Mariano (2007). A History of Christianity in Asia, Africa, and Latin America, 1450–1990. Wm B Eerdmans Publishing Co. ISBN 978-0-8028-2889-7.
- Langan, Thomas (1998). The Catholic Tradition. University of Missouri Press. ISBN 978-0-8262-6096-3.
- Le Goff, Jacques (2000). Medieval Civilization. Barnes & Noble. ISBN 978-0-7607-1652-6.
- Leith, John (1963). Creeds of the Churches. Aldine Publishing Co. ISBN 0-664-24057-7.
- MacCulloch, Diarmaid (2010). Christianity: The First Three Thousand Years. Viking. ISBN 978-0-670-02126-0. (originally published 2009 by Allen Lane, as A History of Christianity)
- MacMullen, Ramsay (1984). Christianizing the Roman Empire: (A.D. 100–400). New Haven, CT: Yale University Press. ISBN 978-0-585-38120-6.
- Markus, Robert (1990). "From Rome to the Barbarian Kingdom (339–700)". Dalam McManners, John. The Oxford Illustrated History of Christianity. Oxford University Press. hlm. 62–91. ISBN 0-19-822928-3.
- McManners, John (1990). The Oxford Illustrated History of Christianity. Oxford University Press. ISBN 0-19-822928-3.
- Norman, Edward (2007). The Roman Catholic Church, An Illustrated History. University of California Press. ISBN 978-0-520-25251-6.
- Orlandis, Jose (1993). A Short History of the Catholic Church. Scepter Publishers. ISBN 1-85182-125-2.
- Pham, John Peter (2006). Heirs of the Fisherman: Behind the Scenes of Papal Death and Succession. Oxford University Press. ISBN 0-19-517834-3.
- Riley-Smith, Jonathan (1997). The First Crusaders. Cambridge University Press. ISBN 978-0-511-00308-0.
- Samora, Julian; Simon, Patricia Vandel; Candelaria, Cordelia; Pulido, Alberto L (1993). A History of the Mexican-American People. University of Notre Dame Press. ISBN 978-0-268-01097-3.
- Schama, Simon (2003) [2000]. "Burning Convictions". A History of Britain 1: At the Edge of the World?. London: BBC Worldwide. hlm. 309–11. ISBN 0-563-48714-3.
- Scheina, Robert L. (2007). Latin America's Wars: The Age of the Caudillo. Brassey's. ISBN 1-57488-452-2.
- Scruton, Roger (1996). A Dictionary of Political Thought. Macmillan. ISBN 0-330-28099-6.
- Solt, Leo Frank (1990). Church and State in Early Modern England, 1509-1640. Oxford University Press. ISBN 0-19-505979-4.
- Stacy, Lee (2003). Mexico and the United States. Marshall Cavendish. ISBN 0-7614-7402-1.
- Steinfels, Peter (2003). A People Adrift: The Crisis of the Roman Catholic Church in America. Simon & Schuster. ISBN 0-684-83663-7.
- Tyerman, Christopher (2006). God's War: A New History of the Crusades. Harvard University Press. ISBN 0-674-02387-0.
- Vidmar, John (2005). The Catholic Church Through the Ages. Paulist Press. ISBN 0-8091-4234-1.
- Walsh, Mary Ann; Thavis, John (2003). John Paul II: A Light for the World, Essays and Reflections on the Papacy of. Rowman & Littlefield. ISBN 1-58051-142-2.
- Woods Jr, Thomas (2005). How the Catholic Church Built Western Civilization. Regnery Publishing, Inc. ISBN 0-89526-038-7.
- Woolner, David (2003). FDR, The Vatican and the Roman Catholic Church in America, 1933–1945. Macmillan. ISBN 978-88-209-7908-9.